Oleh: Fiyaz Mughal
Pidato yang disampaikan di Leicester bulan lalu oleh salah satu ketua Partai Konservatif yang berkuasa, Baroness Sayeeda Warsi, di mana ia menyatakan bahwa “Islamofobia telah masuk dalam obrolan meja makan malam”, menyulut berbagai debat dan diskusi tentang tema obrolan di meja makan orang Inggris. Dengan kata lain, Warsi hendak menegaskan bahwa di sebuah negara yang toleran dan inklusif, yang memiliki sejarah panjang imigran dan integrasi ini; menjadi anti-Muslim ternyata telah menjadi hal yang semakin lumrah.
Kerja yang kami lakukan selama enam tahun terakhir di Faith Matters, sebuah organisasi yang bertujuan untuk menciptakan kohesi masyarakat di antara berbagai komunitas agama di Inggris, menunjukkan bahwa Warsi memang benar – baik tentang sentimen anti-Muslim maupun sejarah integrasi di Inggris.
Kita telah mendengar secara terbuka sentimen anti-Muslim di sebagian masyarakat. Ketika kami mempublikasikan hasil penelitian tentang komunitas Muslim, kami selalu menerima tanggapan dari orang-orang yang mempunyai stereotipe paling buruk tentang Muslim.
Namun, ada juga orang-orang dari komunitas penganut agama maupun bukan-penganut-agama yang mencoba menjalin hubungan dan membangun pengertian dengan komunitas Muslim, karena mereka mengerti bahwa sikap menyalahkan tidak akan mampu membangun masyarakat yang sehat dan berkelanjutan. Namun, yang lebih mengkhawatirkan daripada stereotipe, adalah tren untuk merendahkan status Muslim dalam masyarakat dalam blog, situs dan grup Facebook yang melontarkan retorika anti-Muslim. Saya pernah menghadiri acara kampus dan makan malam di mana Muslim dipandang sebagai masyarakat “bermasalah”, dan topik diskusi sorenya mengupas ekstremisme Muslim – yang kemudian berubah menjadi sekadar diskusi tentang semua orang Muslim.
Membawa isu ini ke tengah perbincangan memang berguna. Meski demikian, sekadar mengangkat isu ini serta membiarkannya ‘menggantung di udara’ dapat merusak kohesi masyarakat. Itulah mengapa sangat penting bagi organisasi sipil dan lainnya yang mendukung hubungan antarkomunitas agar segera mencerna komentar Warsi, dan mengadakan diskusi-diskusi akar rumput dan program-program sosial yang melawan prasangka dan perpecahan yang muncul.
Penting agar pemerintah Inggris mendukung upaya semacam itu melalui agenda Big Society (Masyarakat Besar) yang dirancang untuk memampukan komunitas lokal untuk lebih banyak membuat keputusan sendiri, dan memungkinkan perusahaan swasta dan lembaga amal untuk menyediakan layanan-layanan yang biasanya disediakan oleh negara. Yang lebih penting lagi, pemerintah sendiri seharusnya terus menumbuhkan hubungan komunitas yang kuat dan mendorong integrasi yang sehat dengan bertindak sebagai fasilitator dan penyebar ide-ide sosial yang baik.
Dalam pidatonya, Warsi juga menyatakan bahwa Muslim tengah dikotak-kotakkan dalam kubu “moderat” dan “ekstrem”, dan bukannya dilihat sebagai individu. Ini sangat penting mengingat hal itu memengaruhi komunitas Muslim dan persepsi-diri pemuda Muslim Inggris. Kini, bagi sebagian orang, jika seorang pemuda Muslim minum alkohol, pergi ke klub malam dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan ‘gila’ yang diasosiasikan dengan anak muda, ia dianggap orang moderat, orang yang ’menyesuaikan diri’ dan ‘tidak membahayakan’.
Tapi bayangkan seorang pemuda yang berjenggot. Bayangkanlah ia sebagai orang yang tak pergi ke klub, bar dan kegiatan-kegiatan selepas-kerja pada umumnya. Bagi sebagian orang, orang ini adalah gambaran seorang ekstremis.
Sikap kasar semacam itu tidak saja keliru, tapi juga bisa berbahaya mengingat sensitivitas yang meninggi seputar ekstremisme dan terorisme. Jangan kita merancukan kesalehan beragama atau kebiasaan sosial dalam masyarakat Muslim dengan ekstremisme. Ini dua hal yang berbeda.
Jadi bagaimana kita bisa mengurangi obrolan makan malam yang penuh prasangka?
Penting untuk menunjukkan keberagaman komunitas Muslim guna melawan citra kejam dan rapuh tentang Muslim yang membumbui perbincangan penuh prasangka. Adanya keberagaman komunitas Muslim, entah dalam hal pemikiran, pengamalan agama ataupun latar belakang, perlu ditunjukkan dan disebarluaskan melalui kampanye iklan, pers dan media sosial. Kita tidak boleh meremehkan kekuatan media sosial dalam membentuk pandangan dan persepsi akar rumput.
Selain itu, komunitas yang mempertahankan identitas mono-kultural mereka perlu diberi insentif sosial, seperti anggaran komunitas kecil – yang dikelola di tingkat daerah oleh otoritas setempat yang bermitra dengan warga – untuk menjalin hubungan dengan, dan melibatkan, komunitas-komunitas lain.
Ini juga berarti bahwa para politisi perlu menekankan bahwa, bekerjasama dan mengembangkan hubungan dengan beragam komunitas akan meningkatkan kemampuan kita untuk menghadapi dunia yang semakin mengglobal. Kita semua bisa memainkan peran dengan memerangi prasangka batin kita, meskipun masih banyak hal yang perlu dilakukan sebelum Muslim kehilangan posisi mereka yang bisa menyulut kecemburuan karena telah menjadi penganut agama yang paling sering dibicarakan sekarang ini.
Fiyaz Mughal adalah Pendiri dan Direktur Faith Matters, sebuah organisasi yang berjuang menyelesaikan konflik dan menciptakan kohesi masyarakat di Inggris dan Timur Tengah. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).