Oleh: Nico Andrianto
Agama memiliki peran yang tidak kecil dalam pencapaian kemajuan sebuah negara. Tak kurang, etika Protestan menjadi akar bagi pencapaian kapitalisme di Eropa. Perlawanannya terhadap hegemoni gereja Katholik di abad pertengahan yang jatuh dalam kegelapan dan kekuasaan yang despotik membuatnya menjadi elan bagi spirit baru yang berlandaskan kerja keras dan penumpukan modal. Dengan kaya orang bisa berderma dan memberikan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Meski banyak kritikan terhadap ideologi yang mengagungkan kepemilikan modal sebagai faktor penggerak kemajuan tersebut, tidak bisa diingkari kekuatannya telah menjadi fenomena global saat ini.
Adalah ahistoris upaya memposisikan agama secara diametral dengan kehidupan masyarakat dan negara. Menampilkan sisi agama sebagai asset pembangunan adalah tugas yang mendesak saat ini. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, memiliki pengalaman pasang surut dalam hubungan agama dan negara. Di tengah kegalauan akan peran agama (Islam) yang di media massa di-framing dalam gambar yang compang-camping saat ini, perlu dibuat terobosan bagi perbaikan kondisi ummat. Saat urusan-urusan politik telah terselesaikan, maka urusan meningkatkan kesejahteraan ummat menuntut segera ditunaikan.
Upaya-upaya membangkitkan semangat dan motivasi haruslah diapresiasi. Kegiatan semacam pelatihan motivasi dan meningkatkan etos kerja yang bersumber pada nilai-nilai al-Quran dan al-Hadits semisal ESQ, cukup memberikan harapan akan Indonesia emas kedepan.
Novel-novel Habiburahman El Sirazy yang membangun jiwa, melihat dunia secara positif adalah contoh lainnya. Islam sebenarnya memberikan begitu banyak motivasi untuk memajukan peradaban, sebagai perwujudan fungsi khalifah diatas bumi. “Ilmu adalah harta karun umat islam yang hilang”, kata Nabi, dan “muslim di manapun yang menjumpainya haruslah memungutnya”.
Lebih dari sekedar ilmu dan teori, perlu diarusutamakan peran para tokoh agama yang memberikan teladan kewirausahaan seperti A’a Gym atau Muhammad Syafi’i Antonio. Kewirausahaan bermotivasi agama, atau dakwah dengan pendekatan wirausaha adalah jalan utama bagi kemajuan umat. Banyak momen religious celebration seperti bulan Ramadhan dan hari besar islam lainnya yang bisa dijadikan economic driving bagi kewirausahaan muslim. Selain itu, bisnis muslim tidak hanya berorientasi profit seperti dalam kapitalisme, namun maksimalisasi zakat. Lebih jauh, bahkan konsep sedekah seperti yang dipopulerkan kembali oleh Ustadz Yusuf Mansyur adalah bentuk pemerataan dalam level yang sangat praksis.
Contoh sederhananya, bermula dari kebutuhan busana muslim lalu menjelma usaha garment busana muslim yang mampu memenuhi kebutuhan pakaian penutup aurat tuntutan agama serta menyerap tenaga kerja. Bermula dari upaya menyebarkan pemahaman keislaman, penerbit muslim saat ini eksis setiap tahun menyelenggarakan islamic book fair yang sangat memiliki bobot acara yang menggema dalam skala nasional. Film-film islami tidak hanya menjadi hiburan serta tuntunan budaya, namun juga turut menggerakkan bisnis perfilman di tanah air yang sempat mati suri. Bermula dari penolakan terhadap sistem bunga, bank syariah di Indonesia saat ini memiliki share pasar dan masa depan yang tidak bisa diangap remeh dalam hitungan bisnis.
Kemiskinan sebenarnya adalah refleksi dari sikap mental yang mudah menyerah serta berputus asa. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak berusaha untuk merubah nasibnya. Telah tersedia 9 dari 10 pintu rezeki dari jalan wirausaha. Dari pengalaman empiris telah dibuktikan, negara-negara dengan tingkat pencapaian ekonomi tinggi seperti China, Singapura, Amerika, Uni Emirat Arab mencapainya dari jalan berwirausaha, baik melalui produksi barang maupun penyedia jasa. Saat ini sistem bisnis islami seperti profit sharing dan mata uang berbasis emas dan perak bukan hanya membawa berkah ekonomi, namun juga memberi alternatif sistem yang lebih tahan terhadap krisis.
Tentu pembangunan tidak hanya identik dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa pemerataan akan memunculkan masalah baru. Pembangunan adalah kemajuan tingkat kualitas kehidupan masyarakat yang biasanya diukur dengan human development index (HDI). Di negara seperti Bhutan yang berakar pada ajaran Budha, kesejahteraan rakyatnya diukur dengan human happiness index (HHI). Islam seharusnya juga bisa menawarkan ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat yang berakar pada khasanah Islam yang kaya dan universal.
Pasar dan Mustadh’afin
Telah lama islam berkontribusi dalam isu-isu pembangunan di Indonesia. Pada tahun-tahun 1980-an di jaman Orde Baru MUI mendukung program KB, sebuah upaya pengaturan tingkat kelahiran anak keluarga muslim yang dilandasi pemikiran untuk meningkatkan kualitas hidup. Islam masih memiliki banyak stok nilai-nilai yang bisa mendorong pembangunan, seperti kewajiban untuk membayar buruh dengan layak dan adil, kewajiban konservasi alam lingkungan, penghormatan terhadap hukum dan keadilan, serta nilai-nilai antikorupsi yang sangat kuat. Lembaga-lembaga pendidikan berbasis islam dan pesantren yang menjangkau sebaran masyarakat yang begitu luas bisa dijadikan mitra utama pemerintah dalam hal pembangunan. Sinergi adalah kata kuncinya.
Memang peran negara sangat menentukan dalam kebijakan publik, namun nilai-nilai agama sangat mungkin mewarnai proses pengambilan keputusan itu, misalnya mengangkat peran pesantren dalam pembangunan. Pemerintah juga bisa membatasi transnational corporation yang hanya berorientasi penghisapan buruh murah atau bisa membunuh pasar tradisional, atau memastikan bisnis kecil berkembang lebih modern dalam proses modernisasi pasar.
Di negara seperti Australia, pembangunan fasilitas publik (jalan, bus umum) tetap memperhatikan keterjangkauan masyarakat berkebutuhan khusus (sectional interest) seperti orang cacat. Adalah sebuah sekulerisme pemikiran, jika kita memisahkan antara nilai agama dengan kehidupan sehari-hari, misalnya tertib berlalu-lintas.
Dalam hal pendidikan untuk membentuk karakter yang baik, kejujuran, serta kerja keras, semangat mau berkorban, serta pembelaan terhadap mustad’afin nilai-nilai agama bisa sangat berperan. Di negara seperti Australia, peran organisasi keagamaan seperti Salvos sangat membantu dalam menyediakan makanan bagi orang miskin yang dibiayai dari penjualan barang-barang bekas yang murah hasil donasi yang dikelola dengan menggabungkan antara konsep charity dan pasar.
Dalam ajaran Islam pelaksanaan zakat adalah bentuk dari penanganan kegagalan pasar, alias untuk membantu orang-orang yang lemah yang tidak mampu bersaing dalam mekanisme pasar yang kompetitif, seperti orangtua renta dan orang cacat (delapan asnaf). Lebih dari itu, banyak lembaga zakat jauh lebih transparan daripada lembaga pemerintah, dengan mencantumkan laporan keuangannya di situs resminya.
Akhirnya, pencapaian politik tanpa penguasaan ekonomi adalah seperti rumah pasir yang mungkin saja megah tetapi mudah runtuh. Umat yang kuat secara ekonomi, berpengaruh secara politik, mewarnai secara budaya adalah kondisi ideal sebuah peradaban islam. Lebih dari itu, islam sangat anti-korupsi sehingga merupakan obat bagi penyakit negara yang sangat akut saat ini. Wallohu a’lam bissawab.
Mahasiswa Master of Policy and Governance Program, Crawford School of Economics and Government, Australian National University (ANU), Canberra, Australia