Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Muhammad Iswardani Chaniago*
Bila kubu sekular menyandarkan konten dan tafsir Pancasila sesuai Dekrit 5 Juli 1959, itu sama saja dengan bunuh diri. Sebab, Pancasila 5 Juli 1959 memberi tempat khusus pada Piagam Jakarta yang jauh dari kesan sekular. (Lihat Endang Saifuddin Anshari, The Jakarta Charter of June 1945: A History of the Gentleman’s Agreement between the Islamic and the Secular Nationalists in Modern Indonesia, hal 113-114)
Dengan dua penjelasan ini membuat kita makin paham mengapa kubu sekular ngotot mempertahankan Pancasila sesuai dengan pidato Soekarno 1 Juni 1945 daripada Dekrit Presiden 5 Juli 1959, meskipun argumen itu sangat lemah dan terkesan mereduksi sejarah.
Menafsir Pancasila dan Konstitusi
Pernyataan Mega, “secara resmi negara telah mengakui, bahwa Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa Indonesia” secara implisit menegaskan bahwa dalam menafsir Pancasila haruslah sesuai dengan tafsir Soekarno terutama pidatonya pada 1 Juni 1945.
Permasalahannya adalah sejauh mana gagasan para pendiri bangsa termasuk Soekarno bisa dijadikan tafsir atas Pancasila. Dalam studi konstitusi bagaimana peran gagasan pendiri bangsa dalam mewarnai konstitusi dibahas dalam tema originalism dan non-originalism. Originalism menghendaki agar poin konstitusi yang tidak dijelaskan dengan jelas oleh pembentuk kontitusi bisa dijelaskan oleh pembentuk undang-undang. Sehingga pendukung originalism menghendaki makna konstitusi berevolusi melalui amandemen. Adapun non-originalism tidak membatasi makna konstitusi pada pemahaman pembentuk konstitusi. Bahkan bisa jadi pendukung aliran ini melampaui pemahaman pembentuk konstitusi itu sendiri. (Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, hal 17)
Dalam praktiknya pemahaman originalism dan non-oroginalism tidak selalu dianut penuh saat menafsirkan Undang-Undang Dasar 1945. Adakalanya pemahaman pendiri bangsa, termasuk Soekarno, tidak dipakai dengan sejumlah alasan. Misalnya pemahaman sekular Soekarno yang dianutnya tahun 1930-an tidak bisa dijadikan tafsir atas Pancasila dan pasal-pasal UUD 1945. Ini yang terjadi saat Mahkamah Konstitusi dalam banyak putusannya menyatakan bahwa Indonesia bukan negara sekular.
Begitu juga makna mufakat yang Soekarno jelaskan dalam pidato 1 Juni 1945 tidak dapat dijadikan tafsir sila keempat atau pasal dalam batang tubuh konstitusi karena bertentangan dengan prinsip negara konstitutionalisme.
Akan tetapi, bukan berarti pendapat pembentuk konstitusi diabaikan begitu saja. Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusannya kerap kali mempertimbangkan argumen pembentuk konstitusi dalam memutuskan perkara judicial review.
Misalnya, putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002. Lembaga penguji konstitusionalitas ini mempertimbangkan pendapat Mohammad Hatta saat memutuskan bahwa Undang-Undang Ketenagalistrikan Nomor 20 Tahun 2002 itu inskosntitusional. (Lihat PERKARA NOMOR 001-021-022/PUU-I/2003, hal 348).
Hal serupa dapat pula ditemukan terkait konstitusionalitas pasal 3 ayat 5 Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Nomor 42 tahun 2008 terkait pemilihan presiden dan pemilihan legislatif yang dipisah. Mahkamah Konstitusi menjadikan original intent (maksud pembentuk konstitusi) sebagai salah satu pertimbangan penting dalam putusannya. Akibatnya, pasal tersebut dipandang inkonstitusional dan pemiliham presiden dan pemilihan legislatif dilakukan secara serentak dan tidak lagi terpisah. (Lihat PUTUSAN Nomor 14/PUU-XI/2013, hal 78)
Ini menandakan bahwa tidak semua pendapat pembentuk konstitusi harus diikuti. Ada bagian yang diikuti ada pula yang tidak. Sebab bisa jadi pendapat pembentuk konstitusi bertentangan dengan konstitusi itu sendiri atau dengan tujuan pasal yang dibentuknya sendiri.
Konsekuensi dari bersikap moderat terhadap posisi pembentuk konstitusi menjadi sesuatu yang penting. Tidak tepat jika menjadikan seorang tokoh bangsa menjadi satu-satunya penafsir ideologi atau konstitusi negara. Mengingat ideologi bangsa bukanlah produk seorang tokoh melainkan kesepakatan yang telah disepakati bersama.
Apa Ideologi tertutup?
Megawati juga mengatakan: “Apa yang saya sampaikan di atas tentang ideologi tertutup, jelas bertentangan dengan Pancasila. Pancasila bukan suatu ideologi yang dipaksakan oleh Bung Karno atau pendiri bangsa lainnya.”
Apa yang dimaksud Mega dengan ideologi tertutup? Apakah Islam dengan pemahaman syariat (termasuk di dalamnya pelarangan non Muslim menjadi pemimpin) dianggap sebagai ideologi tertutup. Sejumlah kalangan berpendapat demikian. Apalagi Mega dalam pidatonya menyinggung fenomena di penghujung tahun 2015 (maksudnya tahun 2016) yang mengarah pada Aksi 411 dan Aksi 212.
Bila benar bahwa yang dimaksud ketua umum PDIP itu dengan ideologi tertutup, pertanyaannya adalah apakah penerapan syariat dan keyakinan Muslim bahwa non Muslim haram dipilih sebagai pemimpin merupakan perwujudan ideologi tertutup?
Bila iya, bukankah salah satu sumber hukum materil dalam sistem hukum Indonesia adalah norma hukum Islam (syariat)? Bukankah yang menghendaki pemimpin harus beragama Islam adalah K.H. Wahid Hasyim yang juga salah satu bapak pendiri bangsa.
“Buat Masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu diusulkan pasal 4 ayat 2 ditambah dengan kata-kata: yang beragama Islam. Jika presiden orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya ,” tegas KH. Wahid Hasyim dalam sebuah rapat BPUPKI (Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia, hal 224).
Apakah Megawati ingin mempredikatkan K.H.Wahid Hasyim sebagai penyebar ideologi tertutup?
Tampaknya pidato Megawati pada HUT PDIP tidak hanya diwarnai dengan tuduhan anti Islam dan peremehan terhadap Arab, namun juga beraroma mitos terkait pemahamannya terhadap Pancasila, konstitusi dan kebhinekaan. Parahnya lagi banyak yang mengamini mitos ini dan menyakininya sebagai sebuah realitas bahkan dogma. Wallahu a’lam.*
Mahasiswa S2 konsentrasi Agama dan Politik, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta