Oleh: Jon Pahl
APA sebenarnya yang mengerikan dari syariat Islam? Menurut sebuah putusan Peradilan Banding Pusat AS – yang setingkat di bawah Mahkamah Agung – baru-baru ini, tidak banyak yang perlu ditakuti.
Putusan dari Sidang Keliling ke-10 baru-baru ini secara efektif memblokir penerapan Undang-Undang Oklahoma 755, yang juga disebut sebagai undang-undang “Selamatkan Negara Kita”. Undang-Undang 755 dikeluarkan sebagai amandemen konstitusi oleh 70 persen pemilih Oklahoma pada November 2010. Seiring dengan pelarangan peradilan untuk menggunakan “hukum internasional”, undang-undang tersebut juga secara tegas “melarang peradilan mempertimbangkan atau menggunakan hukum syariat”. Undang-undang serupa telah dikeluarkan di Tennessee dan Louisiana, sementara di setidaknya 20 negara bagian rancangan yang sebanding tengah menanti keputusan.
Sidang Keliling ke-10 membuat putusan tersebut setelah Hakim Distrik Vicki Miles-LaGrange memutuskan mendukung Muneer Awad, Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relations, Oklahoma, yang telah menggugat diblokirnya undang-undang tersebut. Ia mengklaim Undang-Undang 755 melanggar hak kebebasan beragamanya, yang dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS.
Ketiga hakim mengeluarkan putusan menentang Undang-Undang 755 itu terutama karena beberapa alasan prosedural, dan menyatakan bahwa Awad punya alasan kuat untuk mengangkat isu Amandemen Pertama. Mereka sepakat bahwa Undang-Undang 755 secara tegas mengecam hanya satu agama, yakni Islam, sehingga melanggar klausul Konstitusi AS, yang menggariskan bahwa pemerintah tidah boleh memihak suatu agama. Akhirnya, para hakim tersebut juga menyatakan bahwa hanya ada sedikit sekali alasan diperlukannya Undang-Undang 755. Para pendukung Undang-Undang 755 sendiri mengaku, “mereka tidak tahu satu contoh pun di mana suatu peradilan Oklahoma telah menerapkan syariat Islam.”
Arti penting isu ini di sini di Amerika Serikat lebih bersifat simbolik dan tidak benar-benar terkait dengan hukum. Meski istilah “syariat Islam” terdengar menakutkan bagi banyak orang Amerika, ironisnya banyak orang yang menentang syariat Islam sebenarnya akan sangat senang mendukung banyak pernyataan umumnya. Misalnya, mereka yang mengaku curiga pada syariat akan sering kali senang kalau orang Amerika (dan mungkin para pengacara dan hakim pada khususnya) memberi perhatian lebih pada Sepuluh Perintah – sebuah dasar pertimbangan yang justru didukung oleh syariat Islam.
Beberapa dasawarsa yang lalu, guru besar Princeton University, Edward S. Corwin, menerbitkan sebuah buku ringkas yang masih menjadi rujukan yang berjudul, The “Higher Law” Background of American Constitutional Law, yang semestinya wajib dibaca oleh siapa saja yang khawatir dengan syariat Islam. Menurut Corwin, hukum konstitusional Amerika didasarkan tidak saja pada ide-ide filosofis Pencerahan, tetapi juga afirmasi-afirmasi teologis. Bahkan, ia menyatakan, yurisprudensi Amerika bersandar pada suatu etika esoteris yang sangat sesuai dengan dasar pertimbangan “tinggi” yang transenden.
Pada akarnya, syariat Islam juga menegaskan fakta ini. Inilah yang coba dikatakan oleh Uskup Agung Anglikan dari Canterbury, Rowan Williams, pada 2008 ketika ia dalam suatu wawancara BBC menyatakan bahwa “ada cara-cara yang sepenuhnya tepat agar hukum di negeri ini menghargai adat dan masyarakat; itu sudah ada.”
Seperti Williams dapati, kehebohan atas komentarnya umumnya terfokus pada masalah yang cenderung ke sensasionalisme. Kebiasaan yang berbeda telah berkembang di negara-negara demokrasi Barat dan negara-negara mayoritas Muslim menyangkut harta benda (khususnya pinjam-meminjam) dan kehidupan keluarga (khususnya monogami dan perceraian). tetapi perbedaan-perbedaan ini bisa dengan mudah dilihat pada perbandingan Inggris dan Amerika Serikat seabad yang lalu dengan Inggris dan Amerika sekarang. Undang-undang perceraian khususnya telah berubah drastis.
Dalam sebagian besar masalah, tidak ada benturan antara ajaran-ajaran hukum Islam dan yurisprudensi hukum adat Inggris dan hukum konstitusional Amerika. Salah satu alasannya adalah bahwa latar belakang “hukum tinggi” berbagai tradisi yang berbeda ini sebetulnya sama-sama berasal dari etika Abrahamik: kontrak sosial untuk memerintahkan yang baik dan melarang yang buruk. Seperti dituangkan dalam A Common Word, sebuah dokumen permufakatan antara para tokoh agama Muslim dan Kristen, Muslim sama seperti halnya orang Yahudi dan Kristen, juga memiliki dua ajaran etika mendasar: cinta Tuhan dan cinta sesama – serta nilai-nilai inti lainnya.
Peradilan AS memiliki tanggung jawab untuk menjunjung tinggi hak-hak konstitusional. Para sarjana dan profesional lainnya memiliki tanggung jawab untuk mendidik masyarakat dan mengenyahkan mitos tentang syariat Islam.
Misalnya, American Bar Association baru-baru ini mensponsori sebuah webinar (seminar lewat web) bertajuk Dispelling the Sharia Threat Myth (Menepis Mitos Ancaman Syariat Islam). Dan para sarjana Muslim telah memberikan penjelasan, di antaranya Dispelling Myths about Sharia (Menepis Mitos tentang Syariat Islam) oleh Imam Mustapha Elturk. Menurut Elturk, syariat adalah sekumpulan ajaran yang memandu Muslim untuk memperoleh lima “perlindungan”: terhadap agama, nyawa, keluarga, harta benda, dan akal. Dalam hal ini, syariat Islam serupa dengan latar belakang “hukum tinggi” hukum konstitusional Amerika. Tantangannya ada pada penerapannya. Coba telaah debat dalam tradisi Barat tentang bagaimana menerapkan perintah “Kamu tidak boleh membunuh.”
Isu syariat akan kembali mengemuka pada kampanye presiden AS 2012. Cara untuk melangkah maju adalah dengan mengungkap para penghasut dan meredakan ketakutan orang-orang yang risau. Debat tentang syariat Islam boleh jadi membantu kita mendefinisikan peran yang jelas bagi ajaran keagamaan dalam kehidupan publik. Ringkasnya, ini bisa membantu kita menemukan titik kesamaan.
Jon Pahl, Ph.D adalah guru besar Sejarah Kristen Amerika Utara dan Direktur Program Magister di Lutheran Theological Seminary, Philadelphia. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews)
Keterangan foto: bentuk phobi syariah di Barat