Oleh: Muh. Abdus Syakur
BAGI sebagaian orang, sepakbola adalah hiburan utama yang tidak tergantikan dengan hiburan lain. Tapi bagi sebagian orang, sepakbola telah dituduh sebagai biang perusak ibadah. Maklum, umumnya pertandingan sepakbola diputar tengah malam, di mana seseorang seharusnya menyendiri dan menangis di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Sementara, para penggemar bola, tertawa dan berteriak-teriak (kalau perlu menjelang Subuh) hingga diperkirakan banyak di antara mereka yang tak sempat shalat Subuh. [baca pula; Sepakbola dan Propaganda Perusakan Nilai-Nilai Islami]
Terlepas dari fenomena polemik itu, sesungguhnya antara sepakbola dan dakwah ada kemiripan.
Pergulatan Emosi
Dalam pertandingan sepakbola, di sana syarat dengan pergulatan emosi, skill dan strategi. Ketiga hal itu berperan sangat penting bagi sebuah tim dalam melakoni pertarungan di lapangan hijau.
Emosi para pemain –termasuk pelatih dan ofisial– mengalami pasang surut saat pertandingan berlangsung. Seorang Kapten akan marah habis-habisan kala wasit tidak memberikan hadiah penalti bagi timnya saat pemain lawan tampak jelas kedapatan handsball di kotak terlarang. Namun, begitu rekannya berhasil membobol gawang musuh, Kapten tadi berganti senang dengan luapan kegembiraan yang tak terkira. Apalagi jika gol tersebut adalah momen penentu kemenangan. Apa jadinya jika saat sedang marah sebelumnya, sang kapten lantas memukul wasit? Mungkin, timnya bukan meraih kemenangan, tapi justru terpuruk kalah. Emosi, dalam sepakbola benar-benar harus terkontrol.
Begitupula dalam sepak terjang di dunia dakwah. Seorang da’i haruslah pandai-pandai mengendalikan emosinya saat mengemban amanah sebagai juru dakwah (sebagai murabbi) di tengah masyarakatnya. Suatu saat ia akan dihadapkan pada situasi yang menguras emosi melelahkan. Satu contoh nyata adlah kejadian yang menimpa Ustad Abdullah Gymnastiar atau akrab dipanggil Aa Gym. Bagaimana ketika awalnya ia dipuja, disanjung dan diburu ibu-ibu (hanya untuk ingin berfoto) tapi mendadak dicaci, dikecam bahkan didemo ketika ia memilih untuk menikah lagi.
Tak hanya masyarakat yang berdemo, bahkan media massa yang dulu membesarkan namanya, ikut andil mengecam. Akibat musibah ini, konon, jumlah jama’ah pengajian Aa Gym di Ponpes Daarut Tauhid Bandung berkurang drastis.
Apakah kejadian ini harus dibalas Aa Gym dengan marah-marah terhadap media yang pernah membesar-besarkannya? Tapi rupanya tidak! Di sinilah letak emosi seorang da’i yang terkontrol dalam menghadapi setiap persoalan.
Bagaimanapun pilihan Aa Gym dengan menikah pasti telah dipikirkan. Jika keputusan itu memang diniatkan karena Allah Subhanahu Wata’ala, insyaAllah, Allah akan bersamanya. Hanya saja, persoalan tidaklah sampai di situ. Ia harus perlu mengendalikan emosi dan sabar mengelola semua ini, hatta, andaikata karene kebencian media itu ia tak lagi memiliki jamaah. Karena seoang dai yang benar, ia harus berdiri di atas tauhid yang kokoh. Meski jamaahnya harus hilang tinggal satu, ia tetap bisa mengelola emosi dan keyakinannya pada Allah tak berubah.
Skill dan ketrampilan
Dalam sepakbola, peran skill (keterampilan) juga teramat penting. Skill individu pemain sangat membantu sebuah tim untuk menciptakan gol. Seringkali kebuntuan serangan tim sepakbola dapat terpecahkan oleh aksi individu pemain. Pada Final Liga Champion Eropa 2012 lalu, Chelsea FC berhasil menghempaskan Bayern Muenchen lewat aksi cemerlang Didier Drogba yang menyamakan kedudukan menjadi 1-1 melalui sundulan mautnya di penghujung pertandingan, lalu memenangkan The Blues lewat gol terakhirnya pada sesi adu penalti.
Seorang da’i, wajib terampil dalam membawakan ceramah. Itu tak bisa dipungkiri lagi. Sudah rahasia umum bahwa ada sekelompok orang yang menjalankan misi dakwah Islam dengan sikap yang kurang bersahabat. Sedikit-sedikit mengkafirkan orang lain yang berbeda gaya. Hasilnya, jangankan diterima, justru sebagian masyarakat lari dari ajakan dakwah yang isi sebenarnya sangat baik dan bermanfaat.
Dalam perjuangan memenangkan kompetisi peradaban agama (Islam, red), umat Islam juga dituntut untuk menerapkan strategi yang mumpuni. Musuh-musuh Islam saat ini sudah jauh memiliki taktik yang hebat dalam mengemban misi mereka. Para da’i, sudah sepatutnya memainkan strategi baru dalam berdakwah. Kepiawaian Messi dalam menggiring dan melesakkan bola ke gawang lawan ternyata tak mampu menghantarkan negaranya untuk menjuarai Copa Amerika 2011. Menurut para pakar, hal itu karena strategi (permainan) dan kerjasama tim Argentina tak mendukung penuh bagi efektifitas seorang Messi.
Selihai-lihainya seorang ustadz berceramah, tentu tak cukup jika dia tidak terorganisasi dalam sebuah jama’ah. Kata Sahabat Ali r.a, “Kejahatan yang terorganiasasi akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisasi.”
Di saat musuh gencar menyerang umat Islam dengan berbagai serangan, di saat bersamaan para pejuang syari’at harus piawai memainkan strategi. Taktik apa yang akan dipakai saat musuh menyerang dengan senjata? Bagaimana menghadang gempuran budaya Barat? Itu perlu strategi yang matang.
Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassalam, di awal-awal dakwah beliau tidak serta merta mengangkat pedang menyambut perang. Beliau memainkan strategi “tikitaka”: dari kaki ke kaki, dari kepala ke kepala, dari kerabat ke kerabat, dari rumah ke rumah, dari gunung ke gunung, dan seterusnya. Pelan-pelan tapi pasti. Saat perintah perang dikumandangkan, barulah pedang diayunkan. Saat dakwah dalam posisi aman, perang kembali disarungkan. Benar-benar strategi yang matang. Hasilnya, Islam tersyi’ar hingga ke berbagai penjuru jazirah Arab dan dunia hingga saat ini.
Dan sudah barang tentu, sepakbola memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan “Sepak (terjang) dakwah”. Sepakbola lebih pada urusan nafsu kesenangan, sedangkan “Sepak (terjang) dakwah” merupakan kerja atas dorongan keimanan dan panggilan Tuhan.
Supporter sebagai pendukung tim sepakbola, – menginginkan hasil kemenangan tim (kemenangan dunia). Sementara jamaah dakwah (umat) sebagai bagian hasil “sepak (terjang) dakwah”, menuntut hasil jauh lebih besar dari urusan dunia, yakni tegaknya peradaban Islam itu sendiri.
Alhasil, “sepakbola” dan “sepak(terjang)dakwah” jelas dua hal berbeda. Oleh karena itulah, di tengah gagap gempitanya kita sibuk mengikuti perhelatan Euro 2012, ingat satu hal, “Silahkan sibuk menonton bola, jangan sekali-kali terlena –apalagi– menduakan ibadah dan dakwah.”
Penulis adalah penikmat sepakbola