Oleh: Donny Syofyan
SEBELUM ini polemik jilbab bagi Polisi Wanita (Polwan) Muslimah sempat berlangsung. Mabes Polri masih enggan mengabulkan keinginan Polwan yang ingin mengenakan jilbab.
Kapolri Jenderal Sutarman tetap bersikukuh agar Polwan tetap tidak menggunakan jilbab sampai peraturan keluar. Dan mengimbau agar Polwan mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Ia pun menampik telah adanya peraturan tentang jilbab sekalipun keluarnya peraturan tersebut sempat ditunda oleh telegram rahasia.
Penundaan pemberlakuan kebijakan pembolehan pemakaian jilbab bagi polisi wanita merupakan blunder luar biasa yang dipertontonkan oleh Polri. Alasan penundaan karena belum adanya anggaran penyediaan jilbab yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat jelas menjadi sebuah langkah mundur dan terkesan mengada-ada.
Sebelumnya keputusan Kapolri Jenderal Sutarman disambut dengan rasa syukur oleh banyak pihak. Sejak Juni lalu, sejumlah ormas dan politisi Islam memberikan tekanan keras kepada Kapolri waktu itu Jenderal Timur Pradopo untuk mencabut keputusan tersebut karena dianggap melanggar hak-hak dasar dan kebebasan perempuan Muslim. Derasnya aspirasi tersebut membuat Jenderal Timur Pradopo membentuk sebuah tim guna membahas pencabutan SK larangan itu. Instruksi ini belum bisa dicabut hingga terpilihnya Kapolri baru Jenderal Sutarman pada Oktober lalu.
Keputusan membolehkan penggunaan jilbab atau hijab bagi Polwan sesungguhnya memberikan penandaan (‘semiotikanisasi’) yang luar biasa. Keputusan Polwan berjilbab ini menandakan bahwa ekspresi dan model kebergamaan universal tak lagi bisa dibendung. Penggunaan jilbab dan busana Muslim bukan saja menjadiisu lokal tapi telah mewujud sebagai eskalasi tren global di kalangan umat Islam. Globalisasi hijab yang terjadi di belahan Eropa dan Amerika, pencabutan larangan mengenakan hijab di parlemen Turki, tingginya animo para mualaf untuk mengenakan busana Muslimah maupun meluasnya kesadaran generasi Muslimah untuk berbusana tertutup menjadi bola salju yang melaju kian cepat dengan ukuran yang makin besar.
Penggunaan jilbab adalah fenomena dunia tidak hanya di Dunia Islam tapi seantero jagad, termasuk kawasan yang selama ini dipersepsi sebagai ladang-ladang pembiakan sekularisme yang subur. Karenanya, keputusan Polwan berjilbab bukanlah fenomena lokal dan periodik. Ia menjustifikasi bagaimana keberagamaan seorang Polwan Muslimah berbanding lurus dengan identitas dan identifikasi dirinya. Secara kelembagaan, larangan penggunaan jilbab di instusi Polri jelas berseberangan tatanan nilai yang hendak ditegakkan oleh Polri yakni hak asasi manusia. Secara personal, larangan ini hanya berdampak munculnya esoterisme kebeargamaan di kalangan Polwan yang hanya memperhatikan isi daripada kulit. Sebagai agama universal, Islam menekankan kesatuan ibadah secara esoteris dan eksoteris.
Tak kalah pentingnya, Polwan berjilbab meneguhkan distingsi antara ruang privat dan ruang publik dalam beragama. Ini bukan berarti bahwa meningkatnya sekularisme keberagamaan. Sebaliknya, ini bermakna bahwa ekspresi dan ritual keberagamaan sangat bersifat personal.
Pihak pemegang otoritas, semisal pemerintah atau Polri, tidak boleh mendikte model interpretasi dan aktualisasi keberagamaan karena beragama melibatkan ruang ijtihad, kesadaran dan pemahaman yang inheren dengan kepribadian seseorang. Pemerintah hanya bisa bergerak dalam struktur permukaan (surface structure) sebagai ruang publik dalam tata aturan, misal pakaian yang digunakan seyogianya tidak menghalangi profesionalisme dan mengurangi produktivitas kerja.
Dalam ranah privat, keinginan untuk berhijab sepenuhnya bagian dari perwujudan permukaan dalam (deep structure) keberagamaan seseorang yang tak boleh diamputasi oleh pihak manapun.
Larangan berjilbab di lingkungan Polri boleh jadi berakibat munculnya sosok-sosok Polwan yang kering kerontang dengan identitas spiritualisme keberagamaan yang pada gilirannya bakal melahirkan para penegak hukum dengan kepribadian yang terbelah (split personality).
Larangan berjilbab tersebut akan mereduksi Islam sebagai sistem keyakinan yang kehilangan pesona simbolis lewat ornament dan aksesoris fisik, semisal hijab sebagai simbol pakaian. Larangan hijab bakal menjadi bom waktu yang siap meledak di institusi Polri karena represi kedirian dalam beragama sama saja dengan menentang hukum alam yang bersumberkan legitimasi ilahiyah, sehingga yang tersisa hanyalah destruksi diri.
Akhirnya, siapapun dengan mudah menarik benang merah bahwa pencabutan larangan berjilbab di Polri memperlihatkan leburnya unsur-unsur Islamphobia yang punya sejarah melekat di banyak kelembagaan negara, termasuk Polri.
Pada awal dan pertengahan rezim Orde Baru, menjadi polisi atau tentara bermakna tidak menjadi islami. Kemestian apel pagi dengan meninggalkan shalat subuh dan tekanan untuk menangkap aktivis Muslim di kalangan TNI maupun larangan demonstrasi ormas Islam dan pergelaran kesenian Muslim oleh Polri menjadi profil wajib di sebagian besar pemerintahan Soeharto.
Larangan berjilbab, sungguhpun secara legal formal dikukuhkan pada 2005, sesungguhnya memiliki talian sejarah panjang semenjak tiga dekade silam. Keterlibatan opresi politik dalam mengekang keberislaman kaum Muslimin, semisal larangan hijab, ternyata menjadi blessing in disguise berupa eskalasi pemahaman dan kebangkitan Islam secara intelektual dan kultural.
Perlu menjadi catatan penting bahwa munculnya gairah keislaman di lingkungan TNI atau Polri sejatinya bukan titipan pihak luar sebagai jualan kecap menjelang Pemilu 2014. Sebaliknya, ia lebih merupakan derasnya arus dalam dari kalangan Polwan sendiri yang memang berkeinginan untuk mengamalkan ajaran Islam—kulit ataupun isi.*
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas