Oleh: Sastrawan Tarigan
BELAKANGAN pemerintah disibukkan dengan program pendidikan berkarakter. Semua pihak mulai dari orangtua, guru, sampai pemerintah ingin agar para pelajar mampu memiliki kepribadian berkarakter dan berakhlak mulia. Namun sejauh ini belum ada tanda-tanda impian tersebut menjadi kenyataan, malah sebaliknya, moral pelajar semakin ambruk dan tak punya jati diri.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal sudah berkali-kali kurikulum pendidikan kita diganti. Namun kenyataannya pemerintah masih sibuk dengan pendidikan berkarakter ala dia yang telah terbukti gagal dan tak mau mengakui bahwa selama ini yang menjadi pokok permasalahannya adalah sistem pendidikan Indonesia yang telah diliberalisasi, lalu terbentuklah kurikulum yang kaku serta tenaga pendidik yang tidak kompeten, sehingga terbentuk pendidikan yang begitu terpusat di sekolah dan terjadilah pendikotomian antara ilmu pengetahuan/sains dengan agama.
Pemerintah nampaknya masih keukeuh dengan konsep “pendidikan berkarakternya’ yang gagal itu. Tampaknya pemerintah tak memahami atau tak mau paham bahwa sejatinya pendidikan itu bukan sekedar mendapatkan ilmu dan mampu menguasai satu bidang tertentu saja. Namun juga mampu mencetak karakter-karakter unggul yang beradab dan tidak nyeleneh dalam hal keilmuan.
Islam dan Adab
Adalah dunia keilmuan dalam Islam yang dikenal sangat menjunjung tinggi adab. Bahkan terdapat kaidah dalam keilmuan Islam yang bunyinya, “al-‘adabu fawaul ‘ilmi” (adab itu lebih tinggi daripada ilmu).
Maka dalam tradisi keilmuan Islam selalu dituntut agar para penuntut ilmu terlebih dahulu belajar adab. Agar ia mengetahui adab kepada Tuhannya, adab kepada utusan Tuhannya, adab kepada gurunya, serta adab kepada ilmu itu sendiri. Karena hakikatnya mencetak manusia yang beradab adalah salah satu tujuan utama pendidikan itu sendiri.
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu menjelaskan makna adab, sebagai “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.”
Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu.
”Keduanya sia-sia kerana yang satu mennyifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi menyifatkan ketiadasedaran dan kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC)
Karakter Penting tapi Tak Cukup
Maka sudah jelaslah, jika seorang yang memiliki ilmu namun tanpa adab maka ia akan menjadi orang yang angkuh dan ingkar. Sehingga tak heran ketika kita melihat tokoh yang memiliki ilmu tapi suka mencela, mencaci, dan menghujat serta nyeleneh. Yang dihujatnya bukan hanya manusia saja, namun Tuhan dan kitab suci pun menjadi bahan hujatannya. Karena ia hanya berilmu, namun tak memilik adab. Jadi bisa dikatakan, siapa yang memiliki ilmu namun tak memiliki adab, maka sia-sialah seluruh ilmu yang ia miliki.
Di sisi lain, Islam tidak mendikotomikan ilmu dengan agama. Islam tidak mengenal pendidikan yang parsial (juz’iy), namun sebaliknya, konsep pendidikan Islam adalah integral (kully). Oleh karena itu Islam tidak mengenal pendidikan yang mendikotomikan antara ilmu pengetahuan dan agama. Sistem pendidikan Islam yang terintegrasi bertujuan mewujudkan individu yang kenal dengan dirinya, kenal Tuhannya, kenal utusan Tuhannya, mengerti akan kewajibannya hidup di dunia, sehingga ia paham bahwa seluruh aktivitasnya di muka bumi ini memiliki tujuan utama yaitu beribadah kepada Allah ( Q.S. adz-Dzariyat: 56).
Bukankah aktifitas pendidikan di universitas dikenal dengan istilah “kulliyah” bukan “juz’iyyah”. Hal ini mengindikasikan bahwa seharusnya intelektual-intelektual muda dapat menjadi manusia yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dengan tujuan membuatnya semakin ta’at kepada Allah Subhanahu Wata’ala, bukan malah semakin menjauhkan dirinya dari Allah, bahkan malah menjadi penghujat, pencaci, dan penghina Allah, kitab-kitabNya, dan utusan-utusanNya. Karena pendikotomian ini malah mendistorsikan tujuan pendidikan itu sendiri.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya tak terpaku dengan pendidikan yang menghasilkan individu yang hanya mampu menguasai satu bidang saja, tapi juga dalam bidang-bidang lainnya, misalnya seorang dokter yang juga paham ilmu fiqih, seorang pakar matematika yang paham ilmu tafsir al-Qur’an dan lain-lain yang kesemuanya itu telah dicontohkan para ulama-ulama besar terdahulu seperti al-Khwarizmi, Ibnu Sina, al-Kindi, ar-Razi dan sebagainya. Bahkan, menurut Jacques Maritain, pemikir Katolik asal Prancis menyatakan bahwa pendidikan yang terlalu cenderung ke arah spesialisasi sebenarnya melatih manusia untuk menjadi binatang, sebab binatang memang mempunyai kemahiran sangat khusus dalam suatu bidang tertentu. Lebih lanjut Prof. Wan Mohd Nor mengatakan Islam tidak mengenal sifat “spesialisasi buta” seperti ini. (Buku Filsafat Ilmu Perspektif Islam dan Barat, Dr. Adian Husaini, Gema Insani , 2013)
Dengan semua kegagalan yang ada, sudah seharusnya pemerintah kembali menata dan membenahi sistem pendidikan. Pendidikan karakter memang bagus, namun pendidikan karakter saja tidak cukup. Konsep pendidikan karakter yang ditawarkan harus jelas dan memenuhi syarat seperti yang telah dipaparkan di atas. Pendidikan di sekolah memang baik, namun pendidikan yang dipusatkan di sekolah saja tentu perlu dikaji ulang. Ditambah dengan tenaga pengajar yang masih jauh dari standar kompetensi serta kurikulum yang tak pernah baku dan begitu kaku, selalu berubah setiap menterinya berubah. Kita harus mulai melirik pendidikan diluar ruangan (outdoor).
Karena itu, pemerintah harus serius untuk menyelaraskan antara ilmu pengetahuan umum dan agama. Agar nanti menghasilkan manusia-manusia yang mampu mengenal ilmu pengetahuan secara luas, namun tidak meninggalkan Allah yang telah memberi kehidupan baginya.
Pemerintah juga harus bisa mencetak individu yang tidak hanya ahli dalam satu bidang saja, namun ia bisa menguasai berbagai bidang lainnya. Sehingga nantinya kita memiliki manusia-manusia yang unggul baik dari segi keilmuan maupun agamanya.*
Penulis adalah mubaligh dan kristolog muda FSRMM