Oleh: Amran Nasution
Hidayatullah.com–Konferensi Uskup Jerman akan membuka sebuah fasilitas saluran telepon siaga (phone line) sejak 30 Maret ini. Ada informasi persekutuan doa? Ternyata tidak. Seperti diumumkan institusi Gereja Katolik Jerman itu kepada pers belum lama ini, saluran telepon dimaksudkan guna menghimpun informasi tentang kejahatan seksual (sexual abuse) yang melibatkan pelayan gereja, seperti pastor atau biarawati. Jadi barang siapa merasa pernah menjadi korban perkosaan atau pelecehan seksual oleh aparat gereja diharapkan melapor.
Saluran telepon dibuka pula untuk para profesional yang ingin menyampaikan sesuatu atau bahkan untuk para pemerkosa atau pelaku pelecehan yang ingin melaporkan diri.
“Ini menyakitkan tapi harus dilakukan. Bisul ini harus dibuka dan dikeringkan sehingga bisa sembuh,’’ ujar Uskup Ludwig Schick dari Bamberg seperti disiarkan Radio Bavaria, Jerman, pertengahan bulan ini.
Setelah sekitar satu dekade lalu melanda Amerika Serikat, skandal perkosaan atau pelecehan seksual oleh petugas gereja terhadap anak-anak dan remaja kini mengguncang Eropa. Ratusan pengaduan bermunculan di Irlandia, Austria, Belanda, Swiss, dan Jerman. Malah lebih repot lagi dalam kasus di Jerman nama Paus Benedict XVI, pemimpin tertinggi umat Katolik, sempat terserempet.
Dikabarkan adik kandung Paus Benedict XVI, Monsignor Georg Ratzinger (kini berusia 86 tahun), sempat dituduh terlibat kekerasan fisik dan pelecehan seksual ketika memimpin kelompok paduan suara di dua sekolah berasrama (boarding school) di Bavaria selama 30 tahun dari 1964 sampai 1994. Tuduhan berasal dari bekas siswa.
Tapi majalah berita Jerman yang amat berpengaruh Der Spiegel, awal Maret lalu, berhasil mewawancarai salah seorang mantan siswa sekolah dimaksud, Franz Wittenbrink, dan membantah keterlibatan Georg Ratzinger. Wittenbrink menceritakan di sekolahnya waktu itu, Etterzhausen boarding school, memang terjadi penghukuman fisik kepada siswa-siswi, dikombinasikan dengan pelecehan seksual. ‘’Tapi saudara dari Paus, Georg Ratzinger, tak tahu-menahu tentang itu,’’ kata Wittenbrink di Der Spiegel.
Ratzinger sendiri kepada sebuah koran di Bavaria menjelaskan bahwa pelecehan seksual yang dituduhkan itu terjadi di sekolah tadi sebelum ia terlibat di sana. Tapi dia mengaku pernah memukul siswa sebelum 1980, saat mana pemukulan terhadap siswa belum dinyatakan melanggar hukum di Bavaria.
Lalu mencuat kasus lain. Pada waktu itu, 1980, Pastor Peter Hullermann dari Keuskupan Essen tersangkut pelecehan seksual terhadap anak-anak, di antara korbannya terdapat seorang anak lelaki berusia 11 tahun. Kasus ini ditangani Keuskupan Agung Munich dan Freising dan diputuskan memindahkah Pastor Hullermann ke Munich guna menjalani pengobatan (terapi). Keuskupan Agung tak melaporkan kasus itu ke polisi.
Bukan itu saja. Hullermann kemudian kembali ditugasi sebagai pastor. Artinya, ia kembali bergaul dengan anak-anak altar di gereja atau remaja di sekolah-sekolah yang dikelola Gereja. Dan pada Juni 1986, atau enam tahun kemudian, ketika bertugas di Grafing, sebuah kota di Bavaria, Hullermann divonis pengadilan18 bulan penjara dengan masa percobaan 5 tahun ditambah denda 4000 marks, serta diwajibkan menjalani pengobatan. Kesalahannya: pelecehan seksual terhadap sejumlah anak. Anehnya setelah peristiwa itu pun Hullermann masih tetap ditugaskan seperti biasa tanpa catatan apa-apa.
Kasus Hullermann belakangan ramai menjadi berita di berbagai media Jerman sebagai contoh peristiwa pembiaran tanpa hukuman (impunity) dari Gereja, dalam hal ini oleh Keuskupan Agung Munich dan Freising, yang ketika peristiwa terjadi dipimpin Uskup Agung Joseph Ratzinger. Pada tahun 2005, Joseph Ratzinger terpilih menjadi Paus Benedict XVI.
Sebelum menjadi Paus, sebagai Kardinal yang mengepalai Kongregasi Doktrin Kepercayaan di Vatikan, Joseph Ratzinger selama 3 tahun sempat memimpin penyelidikan atas berbagai pelecehan seksual yang mulai merebak dan menjadi masalah bagi Gereja Katolik.
Bagaimana Pastor Hullermann? Ternyata baru awal bulan ini ia diberhentikan sebagai petugas Gereja setelah kasus impunity itu meledak. Dan seperti diungkapkan Keuskupan Agung di Munich, 24 Maret lalu, ada bukti-bukti yang kredibel bahwa Pastor Hullermann (kini berusia 62 tahun) terlibat lagi dalam setidaknya dua kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak. Ia pun penikmat alkohol.
Dr Werner Huth, psikiater yang pernah mengobati Pastor Hullermann sejak 1980 sampai 1992, dalam wawancara dengan surat kabar The New York Time, mengatakan bahwa sejak awal ia sudah berkali-kali mengingatkan aparat Gereja agar pastor itu dijauhkan dari anak-anak. Sewaktu Hullermann diadili pada 1986, Dr Huth dipanggil untuk memberi keterangan sebagai saksi ahli. Ketika itu ia berkata, ‘’Saya nyatakan bagaimana pun adalah tak mungkin lagi Hullermann dibiarkan bekerja bersama anak-anak.’’ (The New York Times, 24 Maret 2020).
Melecehkan 100 Anak
Tapi kasus ini tak sepenuhnya bisa dibebankan kepada Uskup Agung Joseph Ratzinger. Dalam hal mempekerjakan Sang Pastor setelah ia melecehkan anak-anak, ternyata adalah tanggungjawab Sekretaris Keuskupan Agung waktu itu, Gerhard Gruber. “Saya sangat menyesal bahwa keputusan itu menyebabkan terjadi serangan terhadap anak-anak dan minta maaf kepada siapa saja yang dirugikan atas keputusan tersebut,’’ katanya di website Keuskupan Agung.
Ternyata banyak yang meragukan pernyataan itu. Di antaranya, Pastor Thomas P. Doyle yang pernah bekerja di Kedutaan Besar Vatikan di Washington dan sekarang aktif membongkar pelecehan seksual terhadap anak-anak selaku peniup pluit (whistle-blower). Dalam sejumlah perkara di pengadilan Thomas P.Doyle menjadi saksi ahli.
“Omong kosong. Paus Benedict seorang mikromanager. Dia bergaya lama. Segala sesuatu yang berada di bawah koordinasinya akan dia ketahui dengan baik. Katakan pada Sekretaris Keuskupan Agung untuk bicara yang lebih baik. Apa yang dia lakukan dengan pernyataan itu adalah untuk melindungi Paus,’’ ujar Thomas Doyle (The New York Times, 12 Maret 2010).
Seperti sudah disebut di atas, skandal yang sedang mengguncang Gereja Katolik ini tak hanya terjadi di Jerman. Ledakan lebih dulu terjadi justru di Irlandia, negeri dengan mayoritas penduduknya penganut Katolik.
Pada 26 November 2009, sebuah komisi yang dibentuk pemerintah membuat laporan 720 halaman tentang skandal pelecehan seksual sampai perkosaan yang dilakukan aparat Gereja terhadap anak-anak yang aktif di Gereja (anak altar) sejak 1975 sampai 2004. Komisi menemukan lebih dari 400 kasus.
Lebih parah lagi laporan Komisi Murphy – dijuluki begitu karena dipimpin hakim Yvonne Murphy — menyebutkan selama satu dekade ini perbuatan tercela tadi dilindungi polisi dan pimpinan Gereja di ibu kota Dublin. Salah satu contoh, kasus Pastor Brendan Smyth yang pada 1990-an telah terbukti dan mengaku melecehkan 100 anak, tapi kasusnya tak pernah dibawa ke polisi.
Beberapa bulan sebelumnya, sebuah komisi sejenis yang disebut Komisi Ryan (dipimpin Sean Ryan, juga seorang hakim) telah melaporkan skandal seks para pastor yang mengorbankan anak-anak di sekolah-sekolah yang dikelola Gereja. Bila kelak terbukti benar, laporan ini sesungguhnya mengerikan bila diingat sekolah yang dikelola Gereja bertebaran di seluruh dunia.
Di Jerman, misalnya, akhir Januari lalu, kasus pertama kali meletus justru di sebuah sekolah elitis, SMA Kanisius-Jesuit di Berlin. Dikabarkan tiga pastor di sekolah itu telah melecehkan sejumlah siswa di tahun 1970-an dan 1980-an. Bulan berikutnya pimpinan Aloisiuskolleg, sekolah setingkat SMA di Bad Godesberg, kawasan kaya tak jauh dari Bonn, bekas ibukota Jerman Timur, mengundurkan diri karena dituduh bertanggung jawab atas terjadinya pelecehan seksual terhadap siswa sekolah itu oleh para guru.
Kembali ke Irlandia, laporan kedua komisi itu betul-betul mengguncang wibawa Gereja Katolik di sana. Soalnya, laporan itu dipublikasikan semua media di Irlandia, bahkan media internasional. Sebanyak 4 Uskup – dari 23 Uskup di Irlandia – yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa itu menyatakan mundur dari jabatannya. Tapi seperti diberitakan kantor berita The Associated Press pertengahan Februari lalu, Paus hanya menyetujui pengunduran diri seorang Uskup.
Paus pun belum memberikan reaksi atas pernyataan pemimpin Gereja Katolik Irlandia Kardinal Sean Brady, yang siap mundur bila diminta Paus. Seperti diketahui, sejak meletusnya peristiwa ini banyak tuntutan muncul agar Kardinal Sean Brady mengundurkan diri.
Pada Minggu, 21 Maret lalu, seluruh gereja Katolik di Irlandia membacakan surat Paus Benedict XVI yang meminta maaf langsung kepada para korban pelecehan dan keluarganya di seluruh Irlandia. Paus menyatakan malu dan menyesal atas perbuatan dosa dan tindak kriminal yang dilakukan para petugas agama. ‘’Kepercayaanmu telah dikhianati dan martabatmu telah dilecehkan,’’ tulis Paus di dalam surat pastoral kepada ummat Katolik Irlandia, setebal 8 halaman. Ia juga menyebutkan akan mengirim utusan khusus ke Irlandia guna menyelidiki pelecehan.
Banyak juga yang kurang puas pada surat Paus. Utusan khusus yang disebut Paus, misalnya, bagi sementara orang justru membingungkan. Soalnya, pemerintah Irlandia sudah membentuk dua komisi dan hasil penyelidikannya sudah dilaporkan secara terbuka, tapi tiba-tiba Paus masih mau mengirim utusan khusus untuk penyelidikan.
“Kontribusi terbesar yang bisa dilakukan Paus adalah menyetop perkosaan dan pelecehan yang terjadi. Dan ia tak melakukan itu,’’ kata Colm O’Gorman, salah seorang pemimpin kelompok korban Irlandia yang mengaku diperkosa seorang pastor ketika masih berusia belasan tahun pada 1980-an (The New York Times, 20 Maret 2010).
Yang Abnormal Bergabung
Permohonan maaf pernah disampaikan Paus langsung kepada korban di tahun 2008, ketika ia bertemu dengan para korban di Amerika Serikat. Selain itu skandal di Amerika Serikat mengakibatkan sampai saat ini Gereja Katolik di negeri Paman Sam itu mengeluarkan dana sekitar 2 milyar dollar (sekitar Rp 18 triliun) untuk penyelesaian damai dengan para korban di luar pengadilan.
Monsignor Charles Scicluna, penuntut internal Vatikan (Vatikan’s internal prosecutor), mengungkapkan di L’Avvenire, koran Gereja Katolik Italia, edisi tengah Maret lalu, bahwa sepanjang dekade terakhir ada sekitar 3000 kasus pelecehan seksual yang ditangani kantornya. Sebagian besar atau sekitar 80% dari kasus itu terjadi di Amerika Serikat.
Maka ketika dulu peristiwa yang memalukan Gereja Katolik itu meletus di Amerika Serikat, Vatikan sempat berpendapat kasus ini khas Amerika. Artinya, ia tak akan merembet ke Eropa atau daerah lain.
“Ternyata manusia tetap manusia, maka tak logis mengatakan kasus ini hanya eksis di negara common-law. Sistem hukum kami memang menyebabkan kasus itu lebih cepat terbongkar. Tapi faktanya kasus ini adalah problem manusia yang bisa terjadi di mana saja,’’ kata Nicholas Cafardi, ahli hukum Gereja dari Duquesne University di Pittsburgh, Pennsylvania. Itu memang yang terjadi. Kasus ini sekarang menghebohkan Austria, Belanda, dan Swiss, selain mengguncang Jerman dan Irlandia.
Di Austria, misalnya, setiap hari bermunculan berita anak-anak dilecehkan di lingkungan institusi Gereja Katolik. Malah koran Inggris The Telegraph 12 Maret lalu, memberitakan pernyataan seorang pejabat Gereja di Salzburg, tentang adanya laporan seorang lelaki bahwa di masa kanak-kanak ia telah diperkosa seorang biarawati. Luar biasa.
Maka dua pejabat senior Gereja Katolik Austria, menyarankan agar kehidupan para pastor atau pemuka agama Katolik yang melakukan selibat (celibacy) alias tak kawin, bisa didiskusikan untuk dimengerti dan skandal yang meletus di Eropa dan Amerika Serikat bisa diakhiri.
Dalam artikel yang ditulisnya di sebuah majalah Katolik, Uskup Agung Vienna Christoph Schonborn menyatakan, sekarang waktunya Gereja melakukan pemeriksaan penyebab para pemuka agama yang melakukan selibat terlibat pelecehan kepada anak-anak.
Kemudian 12 Maret lalu, Uskup Agung Salzburg Alois Kothgasser mengatakan di sebuah interviu televisi, dengan kondisi Gereja seperti sekarang adalah waktunya mempertanyakan apakah selibat merupakan jalan hidup yang tepat untuk pemuka agama atau untuk umat.
Hukum Gereja digugat? Agaknya begitu. Tapi terlihat kehati-hatian pada dua tokoh penting Gereja Austria itu dalam menyampaikan kritik. Uskup Agung Schonborn, misalnya, membantah dia berpendapat selibat menyebabkan terjadinya pedophilia alias para pemerkosa anak-anak. ‘’Jika selibat penyebab kekerasan seksual, tak ada perkosaan anak-anak di masyarakat sana,’’ ujarnya.
Menarik disimak pernyataan Uskup Hamburg (Jerman) Hans-Jochen Jaschk. Kepada sebuah radio Jerman, pertengahan Maret, Uskup Jaschk menyatakan bahwa gaya hidup selibat dapat menarik orang-orang dengan seksualitas yang abnormal untuk bergabung. ‘’Ketika itulah situasi berbahaya tumbuh,’’ kata Uskup itu. Soalnya, hanya karena seseorang tak berminat pada satu model hubungan seks (yang normal), tak berarti ia tak punya minat (pada anak-anak).
Tapi agaknya belum akan ada perubahan drastis dalam soal ini. Paus tampaknya masih mempertahankan nilai-nilai suci selibat. Dalam sebuah pernyataan Paus mengatakan bahwa hukum kuno tak harus diubah hanya karena untuk menampung budaya mode.[hidayatullah.com]
Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta