Oleh: Dr. Adian Husaini
PEMBUKAAN UUD 1945 menegaskan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”. Rumusan itu sungguh indah; sesuai dengan rumusan aqidah ahlus sunnah; memadukan aspek rahmat Allah dan usaha manusia. Bangsa Indonesia berjuang merebut kemerdekaan dan kita mengakui, bahwa Allah Subhanahu Wata’ala adalah yang menganugerahi kemerdekaan. Pengakuan itu kita letakkan dalam Pembukaan Konstitusi, dan biasanya dibaca setiap upacara bendera.
Dengan pemahaman seperti itu, sepatutnya bangsa Indonesia, dan kaum Muslim khususnya, tidak boleh merasa angkuh, bahwa kemerdekaan itu diraih semata-mata karena usaha perjuangan rakyat Indonesia. Tapi, kemerdekaan adalah anugerah Allah, sehingga kemerdekaan kita pahami sebagai nikmat dari Allah yang wajib kita syukuri. Syukur, maknanya, menggunakan nikmat itu sesuai dengan Yang Memberi Nikmat; bukan menurut hawa nafsu kita. Semoga kita dan para pemimpin kita sadar akan makna penting dari kemerdekaan.
Rumusan penting itu memang dihasilkan dari goresan tinta ulama dan cendekiawan Muslim yang berunding dalam Panitia Sembilan dalam BPUPK tahun 1945 yang menghasilkan dokumen sejarah penting, yaitu Piagam Jakarta. Syukurlah, rumusan “Atas berkat rahmat Allah… “ itu tidak dituntut untuk dicoret sebagaimana rumusan tujuh kata “(Ketuhanan)… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Seperti kita pahami, “tujuh kata” itu kemudian dicoret dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945. Bung Hatta mengaku, ia mendapat telepon dari seorang perwira Jepang yang mengaku menyampaikan aspirasi kaum Kristen Indonesia Timur. Bahwa, mereka tidak mau bergabung dengan NKRI jika “tujuh kata” itu tidak dihapus. Hingga kini, peristiwa seputar pencoretan “tujuh kata” itu masih misterius, sebab sampai meninggalnya, Bung Hatta tidak membuka siapa sebenarnya perwira Jepang yang meneleponnya tersebut.
Tapi, bagaimana pun, peristiwa itu telah menjadi sejarah. Kita ambil hikmahnya. Bagi umat Islam, tanggal 17 Agustus 1945, adalah hari yang patut disyukuri sebagai rahmat Allah Subhanahu Wata’ala, dan tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari yang jangan dilupakan. Itulah hari dimana para tokoh Islam menerima tuntutan kaum Kristen Indonesia Timur, demi terpeliharanya kemerdekaan dan juga demi persatuan dan kesatuan NKRI.
Kita perlu mengingat kembali, bahwa setelah Puagam Jakarta ditetapkan, masih ada sebagian anggota BPUPK yang menggugatnya. Akhirnya, Bung Karno sendiri menegaskan: “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima Panitia ini.”
Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan (preambule) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia merdeka. Ketika naskah pembukaan itu sudah disepakati, maka naskah-naskah rincian pasal-pasal dalam UUD 1945 masih menjadi masalah yang diperdebatkan.
Dalam sidang BPUPK tanggal 13 Juli 1945, KH Wahid Hasyim mengusulkan, agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Kata Kyai Wahid Hasyim: “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.”
Usul KH Wahid Hasyim disokong oleh Soekiman. Tapi, Haji Agus Salim mengingatkan, bahwa usul itu berarti mementahkan kembali kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Usulan Wahid Hasyim akhirnya ditolak. Tapi, pada sidang tanggal 14 Juli 1945, Ki Bagus Hadikoesoemo, tokoh Muhammadiyah kembali mengangkat usul Kyai Sanusi yang meminta agar frase “bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta dihapuskan saja. Jadi, bunyinya menjadi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.”
Menanggapi permintaan KIai Sanusi dan Ki Bagus Hadikoesoemo, Soekarno kembali mengingatkan akan adanya kesepakatan yang telah dicapai dalam Panitia Sembilan. Soekarno, lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI:
“Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar memberi dan mengambil… Pendek kata, inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan anggota Soekiman, gentlemen agreement, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.” (Tentang perdebatan dalam BPUPK, lihat A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Uiversitas Indonesia, 2004).
Semangat jihad
Peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 membuktikan kebesaran jiwa para ulama dan tokoh Islam dalam menyikapi persatuan dan kesatuan bangsa. Tentunya, sikap itu merupakan rangkaian panjang dari keterlibatan para ulama dalam berbagai perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah. Memang, sejarah mencatat, goresan tinta ulama memiliki andil signifikan dalam meraih kemerdekaan NKRI.
Bahkan, perjuangan mengusir penjajah, sering kali memadukan goresan tinta ulama dan kucuran darah syuhada. Penjajahan bukan soal politik dan ekonomi, tetapi juga masalah iman. Sebab, penjajah membawa misi “Gospel”, yakni menyebarkan agama mereka dan merusak keagamaan penduduk muslim. Karena itu, sepanjang sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, peranan para ulama Islam sangat menonjol.
Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII&XVIII, (2005), Azyumardi Azra mengungkap sejumlah contoh perjuangan para ulama dalam melawan penjajah. Sebutlah contoh Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-1629M). Ulama terkenal ini bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan, tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah. Tahun 1683, setelah tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf Maqassari memimpin sekitar 4.000 pasukan di hampir seluruh wilayah Jawa Barat.
Menurut satu versi, Syekh Yusuf berhasil ditangkap setelah komandan pasukan Belanda, van Happel, berhasil menyusup ke markas Syekh Yusuf, dengan menyamar sebagai Muslim dengan pakaian Arab. Syekh Yusuf pun dibuang ke Srilanka dan Afrika Selatan untuk mengurangi pengaruhnya. Tapi, justru di kedua tempat itu, Syekh Yusuf berhasil mengembangkan Islam dengan mengajar dan menulis. Usaha Belanda untuk mengkristenkan Syekh Yusuf juga gagal. Sarjana Evangelis Belanda, Samuel Zwemer, mengkritik Petrus Kalden, pendeta dari Gereja Belanda Tua Cape Town, yang gagal menjadikan Syekh Yusuf sebagai pemeluk Kristen.
Ulama lain, Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-1789), dikenal sebagai ulama paling terkemuka dari wilayah Palembang. Meskipun menetap Mekkah, Syekh Abd al-Shamad memiliki kepedulian kuat terhadap kondisi Nusantara dan mendorong kaum Muslim untuk melaksanakan jihad melawan penjajah.
Sebuah kitab berbahasa Arab tentang keutamaan jihad fi-sabilillah ditulisnya dengan judul, Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah. Melalui kitabnya ini, Syekh al-Palimbani menjelaskan bahwa wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk melakukan jihad melawan kaum kafir.
Dalam The Achehnese, seperti dikutip Azra, Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa karya Syekh al-Palimbani merupakan sumber rujukan utama berbagai karya mengenai jihad dalam Perang Aceh yang sangat panjang melawan Belanda, mulai 1873 sampai awal abad ke-20. Kitab ini menjadi model imbauan agar kaum Muslim berjuang melawan kaum kafir.
Bahkan, setelah kemerdekaan diraih, para ulama tetap mengawal kemerdekaan Indonesia. Itu ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya, pada 14 September1945.
Isi Resolusi Jihad yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa Madura itu antara lain berbunyi: (1) Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, (2) Umat Islam, terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia, (5) Kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam (fardhu ain) yang berada dalam jarak radius 94 km (yakni jarak dimana umat Islam boleh melakukan shalat jama’ dan qasar). Adapun bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, wajib membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut. Dalam teks lain, ada tambahan: “Kaki tangan musuh adalah pemecah belah kebulatan tekad dan kehendak rakyat dan harus dibinasakan; menurut hukum Islam sabda hadits (Nabi) riwayat Muslim.”
Dampak dari Resolusi Jihad itu sungguh luar biasa. Puluhan ribu kyai dan santri berperang melawan tentara Sekutu, yang baru saja memenangkan Perang Dunia kedua. Lima belas ribu tentara Sekutu dengan persenjataan serba canggih tak mampu menghadapi pasukan perlawanan pasukan kyai dan santri. Bahkan, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di tangan laskar santri. (Lihat, el-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, 2010).
Dimana ulama kini?
Fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari – yang ketika itu juga sebagai pemimpin tertinggi umat Islam di Indonesia, sebagai Ketua Majelis Syuro Masyumi — menunjukkan kebesaran jiwa para ulama dalam menyikapi kemerdekaan Indonesia. Sikap itu juga menunjukkan kedewasaan berpolitik dalam bingkai NKRI. Meskipun tidak seluruh tuntutan dan cita-cita para ulama itu terpenuhi dalam memperjuangkan dasar negara, tetapi mereka “tidak ngambek” atau lari dari NKRI. Fatwa bahwa mempertahankan kemerdekaan RI adalah wajib hukumnya, menunjukkan pembelaan hidup-mati umat Islam Indonesia terhadap kemerdekaan Indonesia.
Merenungkan sejarah perjuangan para ulama dalam memperjuangkan dan membela kemerdekaan Indonesia itu, kita patut bertanya sekarang, di mana para ulama itu ditempatkan? Dalam upacara peringatan kemerdekaan, biasanya ulama ditempatkan dalam posisi “terhormat” sebagai “tukang baca doa”. Lumayan! Daripada tidak sama sekali! Akan tetapi, apakah ulama diajak rembukan untuk memusyawarahkan, bagaimana seharusnya bangsa kita ini mensyukuri nikmat kemerdekaan yang katanya diraih “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” itu?
Mengapa memperingati kemerdekaan yang resmi dan diakui oleh institusi kenegaraan hanya berupa upacara bendera? Bagaimana jika bentuk peringatan resmi kemerdekaan RI itu dilakukan dengan khataman al-Quran dan pembacaan kisah-kisah perjuangan para pahlawan di seluruh masjid di Indonesia? Bukankah itu sesuatu yang bagus? Silakan yang melaksanakan lomba makan kerupuk, lomba balap karung, lomba panjat pinang; tetapi tidak ada salahnya jika Presiden bersama para ulama memberi contoh memperingati kemerdekaan dengan acara ibadah di masjid. Agak aneh, bahwa masjid-masjid di Indonesia belum terdengar menyelenggarakan acara peringatan kemerdekaan RI, padahal, kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan yang panjang oleh para ulama dan para syuhada.
Lebih menyedihkan, setelah kemerdekaan, ada usaha – sadar atau tidak – untuk menyingkirkan ulama dari perumusan konsep-konsep pembangunan untuk mengisi kemerdekaan. Ulama dijadikan sebagai makhluk yang berharga terutama saat menjelang pilihan presiden atau pilkada. Saat diperlukan – kadang ulama didatangi; diminta doa, restu, atau dukungan politik, agar jabatan politik diraih; agar hujan turun saat kekeringan; agar krisis berlalu saat dilanda krisis. Setelah semua kebutuhan terpenuhi, ulama ditinggalkan, diposisikan sebagai “pendorong mobil mogok”.
Tapi, itu pun masih lumayan; daripada para pejabat datang ke dukun-dukun klenik. Ulama adalah pewaris Nabi. Mereka wajib menjaga diri. Tugas utamanya adalah melanjutkan perjuangan menegakkan misi kenabian. Ulama tidak perlu minta dihormati, apalagi sampai “gila hormat”. Kata Imam al-Ghazali, jika ulama rusak, cinta harta dan kehormatan (hubbul mal wal-jah), maka rusaklah penguasa. Jika penguasa rusak, maka rakyat pun binasa.
Sejarah telah membuktikan, bagaimana para ulama kita begitu hebat perjuangannya dalam menyebarkan dan menjaga Islam di seluruh negeri. Begitu hebat dan cerdiknya para Wali Songo yang mendidik dan kemudian mengangkat Raden Patah sebagai Raja Muslim pertama di Tanah Jawa. Jika ulama setia pada perjuangan menegakkan cita-cita mulia para anbiya, pasti para penguasa tak akan memandang mereka hina! Wallahu A’lam.*/Jakarta, 21 Agustus 2015
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com