Oleh: Mahmud Budi Setiawan
PASCA Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditetapkan sebagai terpidana dengan hukuman: penahanan selama 2 tahun (09/05/2017), polarisasi golongan semakin tak terelakkan.
Malah konflik tajam sisa-sisa Pilgub di dunia maya seakan mau dipindah ke alam nyata. Demo di Cipinang (09/05/2017), pengiriman bunga, aksi solidaritas menyalakan lilin oleh pendukung Basuki, serta keikut campuran PBB dan Negara Belanda terhadap kasus ini semakin mempertajam pertikaian dua golongan ini.
Konflik yang berkepanjangan semacam ini, bila tidak segera diatasi akan mengorbankan persatuan dan kesatuan anak bangsa. Kalau persatuan porak poranda, maka pihak yang berkepentingan akan leluasa meluluskan niat busuknya di negeri pertiwi ini. Kondisi demikian mengingatkan kita pada politik devide en impera baik pada sebelum maupun sesudah kemerdekaan yang dilancarkan Kolonial Belanda untuk membelah kekuatan Islam secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum.
Lima contoh sejarah -akibat trik busuk Belanda dengan senjata devide et impera- berikut perlu dibaca kembali agar bangsa ini tidak mengalami kesalahan yang sama. Karena selama mereka mau diadu domba, maka akan semakin mudah dijajah oleh asing dan aseng.
Pertama, Belanda melalui VOC mengadu Sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa dengan Arus Palaka dari kerajaan Bone. Pada waktu itu, Belanda berpihak kepada Arus Palaka. Pada tahun 1660 –disokong oleh VOC- ia mulai melakukan pemberontakan kepada Sultan Hasanudin, walau pada akhirnya mengalami kegagalan. Baru pada tahun 1666 kolaborasi keduanya bisa berhasil dan menghasilkan perjanjian Bongaya (18 November 1667) yang isinya sangat merugikan Gowa. Akhirnya dengan mudah daerah ini bisa dikuasai (Prawoto, 2007: 16).
Kedua, politik devide et impera (belah bambu) yang diinisiasi VOC terhadap kesultanan Banten. Sultan Ageng yang waktu itu menjadi raja Banten diadu domba dengan puteranya sendiri Sultan Haji. Waktu itu, VOC berpihak kepada Sultan Haji. Pada pertempuran tersebut (1682) Keraton Surosowan hancur. Kemudian Sultan Haji harus memenuhi perjanjian yang diajukan oleh Kompeni Belanda (Michrob, 1993: 59).
Ketiga, kegigihan perjuangan Pangeran Diponegoro (Singa Mataram) pada Perang Jawa (1825-1830) baru bisa berhasil ditundukkan oleh Belanda melalui strategi licik. Clerrens mendekati anak Pangeran Diponegoro yaitu Dipokusumo yang akhirnya menyerah. Dengan menyerahnya Dipokusumo, akhirnya pada bulan Maret 1830, Pangeran Diponegoro mau berunding dengan De Kock dan harus menelan pil pahit karena ia dikhianati Belanda, ia ditangkap dan dibuang ke Manado (Nunik Utami, 2001: 85-89).
Keempat, Muhammad Sahab atau yang lebih dikenal dengan Imam Bonjol (1772-1864) pun juga berhasil diadu domba oleh Belanda. Kaum Paderi (agama) pada tahun 1821 berhasil diadu dengan kaum adat di Minangkabau, sehingga meletuslah Perang Paderi. Saat itu Belanda mendukung kaum adat. Pada 1837, praktis wilayah Imam Bonjol dikuasai Belanda. Meski Imam Bonjol bisa melarikan diri, tapi dengan siasat licik Belanda atas nama perundingan akhirnya Imam Bonjol tertangkap pada 25 Oktober 1837 dan diasingkan ke Cianjur, Amobon hingga Manado (Astutiningsih, 2011: 14-15).
Kelima, karena keberhasilan agresi militer kedua Belanda pada 19 Desember 1948 dalam menjatuhkan Kabinet Amir Sjarifufoeddin, akhirnya Van Mook mendirikan negara boneka. Tujuannya jelas, yaitu: untuk memecah belah Republik Indonesia (Suryanegara, 2014: 263). Tapi dengan mosi integral Natsi yang dibacakan di parleman pada tanggal 3 April 1950, akhirnya negara boneka bisa diatasi dan Indonesia menjadi Negara Kesatuan yang diumumkan Soekarno pada 15 Agustus 1950 (Wildan, 1997: 69-76).
Agar terhindar dari politik belah bambu ini, umat Islam bisa belajar kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyelesaikan konflik akibat politik adu domba. Ada dua kisah yang bisa diangkat dalam tulisan ini.
Pertama, Jabir binAbdullah menceritakan, pada pertempuran Bani Musthaliq, seorang sahabat dari golongan Muhajirin mendorong sahabat dari golongan Anshar. Kondisi ini berbuntut konflik menegangkan yang didasarkan pada fanatisme golongan. Terutama setelah dibumbui oleh orang-orang munafik. Kedua pihak akhirnya memanggil kawannya masing-masing. Ketika nabi mendengar perbedaaan kontradiktif tersebut, beliau segera meredamnya dengan menegaskan bahwa hal itu adalah propaganda buruk jahiliah (HR. Bukhari). Konflik ini pun akhirnya bisa diredam.
Kedua, suatu saat, Sya`s bin Qais, seorang tua renta kafir dan sangat dengki terhadap Islam, mencoba mengadu domba antara suku Aus dan Khazraj yang sedang berkumpul dalam suatu majlis dengan harmonis. Disurulah pemuda dari Yahudi untuk memprovokasi mereka dengan mengobarkan kembali dendam kusumat dalam pertempuran Buâts. Cara yang digunakan ternyata ampuh. Masing-masing bangga dengan sukunya bahkan sudah siap bertempur di waktu zuhur.
Sampailah berita ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Melihat perbedaan kontradiktif tersebut, beliau lekas meredamnya, “Wahai sekalian orang muslim, ingat Allah! Ingat Allah! Apa kalian (kembali) terprovokasi dengan propaganda Jahiliah padahal aku di hadapan kalian setelah kalian dibimbing Allah kepada Islam?” Mereka pun pada akhirnya sadar sembari menangis dan saling berpelukan (Muhammad Shallabi, al-Sîrah al-Nabawiyyah, II/10).
5 Solusi
Dari kedua cerita tersebut, ada setidaknya lima solusi agar umat Islam secara khusus, dan umat lain secara umum yang tinggal di Indonesia tidak termakan adu domba.
Pertama, dibutuhkan pemimpin sekelas negarawan yang mampu merekatkan umat.
Kedua, masing-masing golongan secara dewasa harus mengenyampingkan kepenting golongan demi terawatnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Ketiga, menghadapi perbedaan secara arif.
Keempat, menepis fanatisme golongan.
Kelima, membangun kesadaran mengenai “musuh bersama” yang sedang mengadu domba. Dengan begitu, insyaallah umat tidak gampang terprovokasi.
Sebagai penutup, hadits nabi berikut bisa dijadikan refleksi:
لاَ يُلْدَغُ المُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ
“Orang beriman itu tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali.” (HR. Buhari, Muslim). Jadi, jangan mau lagi diadu domba. Wallahu a’lam.*
Penulis alumnus Al Azhar Mesir, alumni peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014