Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: A. Kholili Hasib
Hal yang pokok dalam kisah nabi Luth di atas adalah kaum Luth ini melakukan fahisyah, melawan dakwan Nabi dan kemudian diadzab oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Inilah faktanya. Tidak seorang pun mufassir berpendapat mereka tidak diadzab karena berbuat homoseks. Jadi super aneh jika kemudian ada yang membolehkan homoseks dengan alasan kaum nabi Luth diadzab bukan karena perilaku homoseksual itu. Apakah semua sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, mufassir, ulama, sarjana Islam adalah orang bodoh tidak tahu kandungan ayat-ayat tersebut?
Tentang kejinya perbuatan homoseksual itu, mari kita telaah satu persatu dari hadis Nabi Saw sampai pendapat para ulama. Ibnu Mas’ud meriwayatkan: “Janganlah seorang perempuan bersentuhan kulit dengan perempuan lain (dalam satu kain/berhubungan seks) lalu ia membayangkan bahwa dia itu suaminya (padahal seorang perempuan) yang melihatnya” (HR. Bukhari). Dari Abu Musa berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Apabila lelaki menggauli lelaki, maka keduanya berzina . Dan apabila wanita menggauli wanita, maka keduanya berzina.” (HR. Al-Baihaqi). Dari Watsilah ibn Al-Asqa’ berkata: “Hubungan seksual wanita dengan sesama wanita itu zina” (HR. al-Baihaqi).
Begitu pula terdapat hadis shahih yang menjelaskan hukuman bagi orang yang berperilaku seperti perilaku kaum nabi Luth. “Dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw bersabda: ‘Barang siapa yang menemui mereka berperilaku seperti perilaku kaum nabi Luth, maka hukumlah dengan hukum mati pelakunya” (HR. Tirmidzi). Selain Tirmidzi, hadis ini juga ditransmisi dari jalur Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud hadis no. 4462, Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah hadis no. 2561. Hadis-hadis tersebut di atas menjelaskan tentang kejahatan keji yang dikisahkan dalam beberapa ayat al-Qur’an di atas.
Jika pun, kaum pro homoseks menilai ayat al-Qur’an yang berkisah tentang kisah nabi Luth sebagaian kalimatnya dzanni (ambigu), maka ada jalan keluar metodologis yaitu merujuk kepada penjelasan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam melalu hadis). Karena fungsi hadis adalah menjelaskan makna ayat al-Qur’an. Jika ada jalan metodologis, kenapa kaum pro homoseks menolak fungsionalisasi hadis ini? Di sinilah saya membaca ada kepentingan ideologis kaum pro homoseks. Akibatnya a-metodologis (tidak sesuai metodologi yang berlaku). Menafsir al-Qur’an itu bukan seperti membaca Koran. Ada ilmu dan metodologinya. Seorang sarjana semestinya berargumen berdasar ilmu dan metodologi. Ketika tiba-tiba a-metodologis, maka patut diragukan kesarjanaannya.
Ibnu Hazm — ulama madzhab Malikiyah asal Andalusia — disebut-sebut menolak pandangan yang mengaitkan azab kaum Luth dengan perbuatan seks sesama laki-laki, tapi justeru karena penolakan mereka terhadap ajakan Nabi Lut dan misi kenabiannya. Benarkah demikian?
Lagi-lagi, cendekiawan yang pro homoseks ini pura-pura tidak tahu fatwa Ibnu Hazm ataukah sengaja melakukan manipulasi? Mari kita buka lembar per lembar Kitab Al-Muhalla karya Ibnu Hazm. Bagi yang bisa membaca bahasa Arab, silahkan dipelajari kalimat per kalimat fatwa tersebut.
Padahal, dalam Kitab Al-Muhalla itu, Ibnu Hazm tegas menyatakan bahwa perilaku homoseksual itu haram dan dosa besar. Bahkan dikatakan barangsiapa yang menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan Allah Swt maka dia kafir, musyrik. Ternyata, Ibnu Hazm dalam kitab tersebut mendiskusikan hukuman bagi pelaku homoseks. Apakah dita’zir ataukan hudud atau cambuk. Di sinilah Ibnu Hazm berbeda dengan ulama lain. Karena sudah ma’lum para ulama memang ikhtilaf (berbeda) dalam soal jenis hukuman yang diberikan, bukan soal hukum perilaku homoseks itu sendiri. Semua mufakat homoseks adalah haram, kejahatan yang keji. Tetapi hukuman pelakunya yang berbeda-beda pandangan. Ibnu Hazm berpendapat bahwa hukumannya adalah ta’zir (Baca Ibnu Hazm, al-Muhalla jilid 12 tentang hukuman ta’zir).
Namun mayoritas berpendapat hukumannya adalah hukuman mati. Beliau melemahkan hukuman hudud dan bakar yang difatwakan beberapa ulama lainnya. Ini persoalan ijtihad, bukan perkara yang aksiomatis. Sehingga, tidak perlu dibesar-besarkan.
Jadi, cukup disayangkan, masih ada orang cendekiawan Muslim yang terbilang terdidik, memeras daya otak, kecerdasan dan kepintarannya hanya sekedar untuk melegitimasi “horor kaum homo” ini. Suatu pemerasan otak yang sia-sia, bahkan menghina kepintarannya. Ada kemaslahan yang jauh lebih besar jika kepintarannya itu digunakan secara positif. Terbukti, ada manipulasi terang-terangan penjelasan tentang fatwa Ibnu Hazm. Maka ini merupakan sebuah keprihatinan, memanipulasi teks-teks keagamaan demi membela mati-matian kelamin kaum homoseks. Wallahu a’lam bis showab.*
Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya