Oleh: Rudi Agung
ARYADI Noersaid blogger Kompasiana pernah menulis kisah pamanya seorang polisi bernama Royadin. Cerita polisi itu menjadi viral hingga Tribun Jogja menelusuri dan mewartakannya, 12/4/2012, bertajuk: Kisah Brigadir Royadin dan Sultan HB IX. Royadin wafat 14 Februari 2007, pangkat terakhirnya Pembantu Letnan Satu.
Begini kisahnya, medio 60-an saat ramai gejolak PKI, Royadin bertugas di Semarang. Saat itu Royadin bertugas di pos sekitar pertigaan depan Stasiun Poncol Semarang atau daerah Jalan MT Haryono. Royadin melihat ada mobil melanggar jalan searah.
Ia mencegat. Royadin tersentak, ternyata pengemudinya orang besar. Ragu, tapi tetap pilih menilang orang besar yang dihentikannya itu: Sultan HB IX! Royadin kaget, saat mobil dihentikan, Sultan berhenti dan mau memberi surat kelengkapan yang diminta.
Bahkan Sultan mengakui kesalahan dan rela ditilang aparat pangkat rendah. Rebuwes atau SIM disorongkan ke tangan Ngarso Dalem sapaan hormat untuk raja-raja Yogya, yang tengah menyetir sendirian dan melanggar di jalan satu arah di tahun 60an itu. Bukannya marah, Sultan HB IX menerima rebuwes itu dan melanjutkan perjalanan.
Hari berikutnya Royadin didamprat komandannya. Tapi polisi teguh itu bersikukuh hanya menjalankan peraturan. Tak lama berselang Sultan HB IX berkirim surat, minta Royadin dipindah tugaskan ke Yogya agar dekat dengan beliau. Sultan juga meminta supaya Royadin dinaikan pangkatnya!
Sultan butuh polisi jujur, berani, komit, dan tegas. Saat mendapat tawaran Sultan, Royadin menolak lantaran tak bisa meninggalkan kampung halaman. Royadin lahir di Batang, 1 Desember 1926. Terakhir menjabat sebagai Kapolsek Warungasem, Batang hingga pensiun. Keluarga dan warga mengenangnya sebagai sosok yang bersahaja dan sederhana. Di usianya ke-81, Royadin menutup mata selamanya di rumah yang dibangun dengan hasil keringatnya sendiri. Itu penggalan kisahnya, dilansir Tribun.
Hari-hari seperti ini, masyarakat Indonesia sangat butuh suplemen kisah-kisah seperti Royadin. Rakyat jenuh varian pemberitaan memilukan ihwal ketidakadilan hukum. Ditambah kenyataan krismon berkepanjangan dan aneka kegaduhan yang dibumbui provokasi hingga memantik perpecahan. Masyarakat sangat lelah.
Tiga tahun lalu, Kompas menurunkan berita berjudul: Jokowi Tak Perpanjang Izin Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Kutipannya: “Izin satu pulau reklamasi sudah habis. Saya enggak perpanjang izinnya,” ujar Jokowi di sela-sela rapat kerja bersama dengan Komisi IV DPR RI di kompleks parlemen, Kamis (12/12/2013). Tapi, Ahok nekat memberi izin dan membawa bangsa ini terkuras energinya hanya untuk reklamasi.
Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan, seluk-beluk kehidupan hendaknya mengacu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Agus menjelaskan, di bawah Peraturan Presiden adalah peraturan daerah, sementara posisi surat keputusan gubernur berada di urutan bawah. “Yang mengerikan, SK ada tapi perda tidak ada,” ujarnya (Republika Online, 7 April 2016).
Mandulnya hukum menjadikan rakyat sangat letih dengan suguhan dugaan kasus yang melibatkan Ahok. Mulai kasus di Beltim, TransJakarta, Taman BMW, UPS, Sumber Waras, sampai terhangat tsunami Reklamasi. Belum lagi temuan BPKP soal Ahok Center dan CSR. Pun dengan dana teka teki Teman Ahok, per 6 April 2016 capai Rp 797.376.000. Dari mana uang itu?
Ketika banyak kepala daerah terjerat hukum atas laporan dari BPK, namun dalam kasus Ahok kenapa berbeda. Bahkan KPK harus berargumen mencari niat jahatnya. Ini pembodohan atau sinyal ketakutan. Teramat banyak media, pengamat, sampai tokoh membeberkan bukti kasus Ahok. Tapi KPK belum juga mencokoknya.
Dalihnya, masih mendalami. Padahal berapa banyak kasus hanya menyalahi aturan sudah bisa dikategorikan lalai dan langsung diproses hukum. Kenapa Ahok tak ditangkap juga? Bahkan, ia berani melampaui kewenangannya. Begitu pula KKN nya.
KKN dan Kedustaan
Bagaimana tidak KKN, kalau di kasus Sumber Waras, media menelusuri adik ketiga Ahok, Fify Lefty sebagai notarisnya. Lalu belakangan diganti. Bagaimana Natanael, akuntan keuangan keluarga Ahok bisa ditarik menjadi Pengawas Rusunawa Marunda.
Sunny Tanuwidjaja (CSIS) dan Natanael aktif di CDT 31, lembaga milik Ahok. Natanael juga membuatkan laporan biaya penunjang operasional semasa Ahok jadi wagub. Kok bisa? Apa karena jadi pembela saat terjadi keributan warisan di keluarga Ahok, lalu bisa seenaknya Natanel diangkat ke posisi penting di DKI.
Pun Sunny yang namanya geger itu, sang dosen Universitas Pelita Harapan itu, kok enak bisa jadi pengatur jadwal Ahok (cuitan twitter Ahok, 15/7/2012). Ahok boleh beralibi anak magang, tapi ia lupa masyarakat menangkap jejak digitalnya. Enak ya orang-orang CDT 31 diangkat Ahok. KPK pun mencekalnya. Kenapa cuma dicekal?
Citra bersih, anti KKN, profesionalitas Ahok sangat bertolak belakang. Semua hanya polesan media. Apalagi saat menelusuri investigasi rekening offshore yang dirilis konsorsium jurnalis investigatif internasional, ICIJ. Tercatat nama firma hukum adiknya Ahok di surga para pemain dana gelap. Sila baca: Sumber Waras, Reklamasi dan Dinasti Ahok (Hidayatullah, 2/4/2016).* (BERSAMBUNG)
Penulis adalah wartawan, Tim Tujuh Kaltara