Oleh: Azwir Nazar
MATA dunia kembali tertuju pada Turki usai percobaan kudeta fiksi militer gagal. Tragedi berdarah dan dramatis tersebut berlangsung cepat dan mengerikan.
Diawali dengan penutupan jembatan Bogazici dan Fatih Sultan Mehmet yang menghubungkan Asia dan Eropa oleh militer di selat Bosphorus hingga menyebabkan kemacetan dan kepanikan.
Masyarakat mulai menyerbu market untuk antri membeli makanan takut Turki bakal lumpuh total. Jet tempur yang terbang rendah dengan meledakkan bom sonic di udara di beberapa titik di Istanbul membuat gedung dan rumah bergetar. Tank militer keluar barak dan suara tembakan di banyak tempat menjadikan malam 15 Juli kemarin paling menakutkan.
Di Ibukota Ankara para pengkudeta juga membom Istana Presiden, kantor parlemen, MIT (Milli Istihbarat Teşkilatı) dan mengusai televisi Pemerintah TRT.
Untung saja kudeta itu berhasil dipatahkan meski mengakibatkan ratusan tewas dan dalam semalam lebih 6000 orang ditangkap. Presiden Recep Tayyib Erdogan yang sedang liburan di sebuah destinasi wisata Marmaris, meminta rakyat Turki melawan kudeta dan turun ke jalan. Aksi heroik dan patriotik rakyat Turki dipandang sebagai alasan utama gagalnya kudeta militer. Untuk kesekian kali supremasi sipil dan demokrasi menang dan trauma rezim militer masih membekas di benak warga Turki.
Bagi Turki, peristiwa kudeta militer sudah 4 kali terjadi. 27 Mei 1960 militer Turki mengulingkan PM Menderes dan dihukum mati, lalu Jenderal Cemal Gursel tampil berkuasa hingga 1965. 12 Maret 1971 militer kembali melakukan kudeta dengan alasan mengendalikan ketertiban masyarakat dan memaksa PM Suleyman Demirel mundur. Kudeta ketiga terjadi 12 September 1980 saat Laksamana Bulend Ulusu hingga 1983 mengambil alih pemerintahan. Perdana Menteri Necmettin Erbakan sahabat BJ Habibie juga didatangi petinggi militer pada 28 Februari 1997 dan dipaksa turun 1998. Terakhir peristiwa kudeta yang gagal 15 Juli kemarin.
Dalam sejarahnya, militer memposisikan diri sebagai pemilik sah Turki. Sehingga merasa pantas menggulingkan tiap penguasa yang melenceng dari asas dasar pendirian Republik Turki 1923 oleh Kemal Attarturk. Erdogan pasti telah belajar banyak dari seniornya Erbakan yang di kudeta militer yang bermuara pelarangan partai Refah. Sehingga Adalet ve Kankinma Partisi (AKP) dan Erdogan dapat berkuasa hingga 13 tahun.
Tak dipungkiri, kepemimpinan Erdogan menoreh banyak prestasi bagi kemajuan Turki. Erdogan memasang target ‘Turki Baru’ (Yeni Turkiye) tahun 2023 sebagai raksasa baru dunia pas 100 tahun runtuhnya Imperium Usmani.
Agaknya Erdogan lupa kepemimpinannya 13 tahun telah menendang kaum Kemalis dan tak mendapat panggung dalam percaturan politik kekinian Turki. Padahal aktor dan simpatisan Kemalis menunggu momentum tepat untuk kembali dan ideologinya belum habis. Kekisruhan yang melanda Turki setahun terakhir dengan rentetan peristiwa bom dan teror baik dilakukan oleh ISIS maupun PKK (Partiya Karkerên Kurdistan’ın – Partai Buruh Kurdistan) di berbagai kota menempatkan elit Partai berkuasa AKP terbelah dalam menghadapi persoalan internal dan geopolitik kawasan.
Mundurnya PM Davutoglu 22 Mei lalu ditengarai juga karena silang pandangan dengan Erdogan. Davutoglu dengan latar belakang akademis dan intelektual lebih mengedepan soft diplomacy dalam penyelesaain konflik di Turki. Sementara Erdogan cenderung menghukum berat musuhnya dan memilih pendekatan militer.
Celakanya, hal demikian harus dibayar mahal karena makin tumbuh dan suburnya pelaku teror di Turki. Akibat terdesak oleh gempuran masif tentara Turki di perbatasan dan kantung teroris, justru pola pelaku teror (ISIS dan PKK) berubah menjadi lebih liar dan sporadis. Targetnyapun bergeser bukan saja kepentingan asing, instansi militer, tapi juga fasilitas publik seperti bandara, bus umum dan pusat belanja.
Dalang Kudeta
Tudingan Erdogan terhadap Fethullah Gulen sebagai dalang kudeta rupanya mengundang diskursus panjang. Walau diketahui sejak kasus tuduhan korupsi yang menimpa kolega Erdogan pada 2013, Erdogan mulai menyebut Gulen sebagai pengkhianat dan duri dalam daging.
Pilihan politik Gulenis pada pemilu 2015 yang melarang pengikutnya memilih partai Erdogan berujung panjang karena justru AKP kembali menang dalam pemilu parlemen.
Perseteruan keduanya terus menajam hingga Erdogan melabelkan Hizmet (simpatisan Gulen) sebagai gerakan terlarang dan Mei lalu melabelkanya sebagai organisasi teroris atau FETO (Fethullah Gülen Terör örgütü). Operasi yang dilancarkan Erdogan di berbagai kota terhadap gerakan Hizmet juga mengakibatkan seorang WNI berinisial HL ditangkap di kota Gaziantep (3/6/2016) yang hingga sekarang belum dibebaskan.
Maka bisa dipahami saat terjadi kudeta (15/07/2016), Erdogan langsung menuding Gulen yang tinggal di pengasingan Amerika Serikat sejak 1999 sebagai dalangnya. Tak berhenti disana, Erdogan juga melancarkan operasi perburuan tersangka kudeta dan organisasi ‘teroris’ baik di instansi militer, pemerintahan, peradilan, hingga dosen, guru dan warga sipil yang terlibat. Melalui rapat kabinet dengan Majelis Keamanan Nasional di Istana Presiden, Rabu (20/07/2016) Erdogan mengumunkan Turki dalam keadaan darurat selama tiga bulan.
Turki Berlakukan Keadaan Darurat, Erdogan Yakini Ada Negara Lain Terlibat
Perdebatan antara pihak pro Erdogan maupun Gulen tak terhindarkan. Keduanya dibenturkan bukan saja secara ideologis tapi saling membangun pembenaran bagi para pengikut dan simpatisannya.
Gerakan Gulen atau Hizmet (Arab; pelayanan) sendiri bukan organisasi baru di Turki. Sebagai gerakan sosial dan pendidikan mereka telah berubah menjadi kekuatan politik yang mampu mempengaruhi kebijakan publik.
Sejak kelahirannya pada tahun 1960-an, kini telah memiliki pengikut di berbagai lapisan. Gagasan Gulen tentang toleransi agama dan promosi budaya telah menjadi daya tarik bagi modernitas Islam dan dialog peradaban. Sehingga sekolahnya menyebar dan berkembang di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Di pengasingannya, Gulen juga menulis sejumlah buku yang menjadi bacaan wajib doktrinasi ajaran pagi penerima beasiswa yang diwajibkan tinggal di rumah Hizmet.
Di lembaga pendidikan (darshane) milik simpatisan Gulen sebelum ditutup Erdogan juga disiapkan kader terbaik untuk bisa masuk polisi, militer, kejaksaan, PNS, hingga MIT (BIN-nya Turki) sebagai pusat informasi dan rahasia negara.
Makanya Erdogan pada tahun 2013 ketika tudingan korupsi dialamatkan pada koleganya sebaliknya menuding Gulen menusuk dari belakang. Sebab ada andil Erdogan merekomendasi pengikut Gulen masuk dengan mudah di berbagai instansi negara. Sangat beralasan dalam logika seorang Erdogan kemudian menyebut Gulenis menjalankan Paralel State (pemerintahan bayangan) yang merongrong pemerintahan.
Padahal Paralel State baik langsung atau tidak juga dimainkan oleh Kemalis sebagai akar tertua militer Republik meski Erdogan-Gulen saat masih bersekutu berusaha mengikisnya. Terutama dalam struktur MIT yang menjadi salah satu pilar paling penting kemana arah politik Turki dimainkan.
Pelajar Indonesia
Pemerintah Indonesia melalui otoritas terkait penting menyiapkan kontijensi plan, berupa langkah dan upaya yang mesti dilakukan bila terjadi chaos, keadaan kritis atau situasi tak terkendali dalam keadaan darurat. Termasuk upaya lebih serius pemerintah kita melakukan advokasi dan pembebasan WNI yang ditangkap atau bisa saja akan ditangkap. Terutama pelajar Indonesia di Turki yang lebih 30 persen adalah penerima beasiswa yayasan Gulen. Bukan saja upaya hukum bagi yang ditangkap, tapi juga langkah politik lebih kongrit sebagai win-win solution bagaimana penanganan nasib Pelajar Indonesia yang kian tak menentu di bawah Hizmet.
Bagaimanapun pelajar kita kini juga terjebak di tengah tengah kisruh politik Erdogan-Gulen. Nasib pendidikan dan beasiswa mereka bakal tak tertolong bila meninggalkan hizmet, sebaliknya mendapat ancaman diperiksa atau ditangkap bila tak segera pindah.
Bisa saja pemerintah Indonesia mengupayakan rumah tinggal atau asrama Pelajar Indonesia di Turki untuk menampung para pelajar dari rumah Hizmet, dengan menarik semua mereka keluar Hizmet dan atau mendorong Pemerintah Turki memberi solusi beasiswa bagi pelajar kita yang harus meninggalkan Hizmet.
Melihat gaya kepemimpinan Erdogan yang keras dan tanpa kompromi, berbagai kemungkinan terburuk dapat saja terjadi pasca kudeta, apalagi adanya penangkapan besar-besaran Gulenis dan simpatisannya.
Mengingat dalam realitas politik tak semua simpatisan Gulen membenci Erdogan, provokasi Barat, Rusia, media-media anti Erdogan, Kemalis, ancaman ISIS maupun PKK, menjadikan masa darurat tiga bulan ke depan akan sangat menentukan masa depan Turki.
Tiap langkah dan upaya apapun yang diambil Erdogan beserta PM Binali Yıldırım akan sangat mempengaruhi stabilitas Turki dan kawasan, bila tidak penuh hati-hati bakal menghantar negeri dua benua itu ke jurang yang lebih ‘menakutkan’. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah alumnus UI Salemba, peneliti Komunikasi Politik dan Presiden PPI Turki 2016-2017