Oleh: Ady C. Effendy, MA
IBU Kota Jakarta sekarang ini sedang riuh rendah oleh fenomena seorang Basuki ‘Ahok’ Purnama yang kabar terakhirnya telah menistakan ayat Al Quran Surat Al Maidah 51 atau ‘paling ringan’ sudah merendahkan keagungan satu ayat suci didalam Kitab umat Islam.
Peristiwa ini agaknya merupakan puncak dari rangkaian ‘peremehan’ tatanan sosio-relijius yang sudah ada di tanah air. Mulai dari melarang takbiran keliling, menghancurkan masjid-masjid di Jakarta, meremehkan simbol-simbol Islam dan organisasi-organisasi Islam, serta serangkaian aksi-aksi yang tidak mungkin dilakukan terkecuali oleh seorang yang memang sengaja mencoba menghapus tradisi Islam di tanah air.
Ahok melancarkan berbagai aksi-aksinya dengan bungkus sekularisme, sementara disatu sisi melancarkan kebjiakan yang membela kultur dari agama yang dianutnya.
Pun sudah menjadi rahasia umum bahwa para pendukungnya berasal dari fundamentalis kristen. Berbagai aksi yang dilakukannya tidak ayal membuat seseorang dapat membaca bahwa petahana Gubernur jakarta ini sedang hendak melabrak tatanan sosial-keagamaan yang ada. Prilaku kasar dan tidak beradab pun sudah sangat memprihatinkan. Budayawan dan tokoh Tionghoa, Jaya Suprana, pun tergerak untuk menuliskan surat terbuka menegur tingkah laku dan kekasaran Ahok terhadap masyarakat dinilai menciderai sopan santun yang berlaku di masyarkat Indonesia.
Begitu pula aktivis medsos Zeng Wei Jian yang tegas dan konsisten mengungkap kebobrokan politikus asal Bengkulu ini. Alhasil, Keberadaan seorang Basuki (Ahok) ini telah banyak merugikan citra dan imej warga Tionghoa di tanah air. Sebegitu buruknya tindak tanduk Ahok sehingga mantan jubir Gus Dur pun memperingatkan bahwa segala tindakannya dapat menimbulkan sikap anti-Tionghoa dan tidak mau memilih dikarenakan sikap elitist dan anti-rakyat ala Ahok.
Kembali ke kurun lampau sekitar enam abad lalu, sejarah persentuhan komunitas Tionghoa dan tanah air Indonesia diwarnai oleh sinergi dan keharmonisan ketika Laksamana Zheng He (1371 s/d 1435) meluncurkan ekspedisi untuk diplomasi dengan kerajaan-kerajaan yang ada di tanah air.
Sebegitu besarnya jasa Zheng He sampai-sampai ulama sekaliber Prof. Hamka menilainya sebagai seorang yang berjasa terhadap Islamisasi tanah air. Kapalnya yang membawa banyak diplomat dan awak kapal Muslim asal negeri China akhirnya dapat menyebarkan pemahaman tentang Islam kepada raja-raja kerajaan nusantara pada masa itu. Banyak diantara awak kapal ini yang kemudian menetap dan menikah dengan penduduk nusantara membangun komunitas Muslim tanah air. Dalam sebuah riwayat, pada tahun 1416, awak kapalnya yang Muslim bernama Ma Huan mengungkapkan bahwa mayoritas keturunan China yang tinggal di Jawa berasal dari China selatan, dan kebanyakan beragama Islam.
Namun sejarah dan citra yang positif ini seakan ternodai oleh ‘kecelakaan sejarah’ sekarang ini yaitu dengan keberadaan petahana gubernur yang sepertinya terlalu ‘kagetan’, ‘dadakan’, ‘emosional’ dan ‘overacting’ sehingga tidak menggubris kesopanan dan tatanan masyarakat yang seharusnya dijunjung tinggi. Figur model seperti ini pun sebenarnya tidaklah masuk dalam figur ideal seorang pemimpin dalam tradisi China kuno.
Falsafah kuno China mengapresiasi figur yang terpelajar, berilmu pengetahuan, sopan santun dan membela kepentingan rakyat. Namun kemunculan seorang Ahok asal Bengkulu yang menjadi wagub jakarta dan kemudian petahana Gubernur jakarta saat ini dapat dilihat sebagai fenomena ‘karbitan’ yang pada akhirnya merusak dirinya dan citra masyarakat Tionghoa tanah air. Kepentingan politis dan ekonomis segelintir pihak tampaknya telah mendorong kemunculan seorang oportunis seperti Ahok, namun celakanya ketidaksiapan dan mendadak tenarnya membuat dirinya melakukan kesalahan-kesalahan besar menindas rakyat dan yang terbesar melecehkan ayat suci Al Quran.
Terlepas dari berbagai keburukan ini, di lain sisi kemunculan seorang seperti Ahok juga mengajarkan ibroh yang menyadarkan kita bahwa berbagai upaya terus dilancarkan orang-orang yang berusaha mengikis Islam dan syiar tradisinya dari tanah air. Sebuah ironi, mengingat perjuangan membangun negeri ini justru dipersembahkan oleh darah-darah pejuang dan pahlawan yang Muslim.*
Penulis pemerhati peradaban dan agama