Sambungan artikel PERTAMA
Hal itu mengandung pesan filosofis, bahwa kehidupan berbangsa — sejak sebelum merdeka hingga meraih kemerdekaan — bercorak kehidupan religius. Watak bangsa yang berketuhanan ini dirumuskan secara yuridis-filosofis dalam bentuk butir-butir sila Pancasila. Apalagi, kemerdekaan negara ini tidak lepas dari perjuangan para pemimpin agama, yang dalam hal ini banyak dibantu oleh ulama dan santrinya. Karakter bangsa yang berketuhanan ini yang ingin diteruskan oleh para pendiri bangsa ini sejak awal perumusannya. Maka, aplikasi nilai-nilai ketuhanan dalam wadah agama oleh bangsa ini bukan hanya legal namun merupakan kewajiban. Lebih penting dari itu, nilai-nilai ini harus dipraktikkan dalam setiap sudut kehidupan rakyat Indonesia. Para pendiri bangsa ini sadar, bahwa untuk mengantar bangsa ini menjadi bangsa bermartabat dan beradab harus dengan mempraktikkan nilai-nilai ketuhanan bukan nilai anti-ketuhanan.
Maka, agama di negeri ini bukan hanya berhak dilindungi tapi wajib dilindungi negara. Sehingga, diperlukan kerja sama pemerintah dan pemuka agama untuk menciptakan kehidupan religius, mengamlakan nilai-nilai ketuhanan. Bahwa diperlukan peran agama yang kuat dalam membentuk karakter dan moral bangsa.
Sehingga tidak terjadi penyimpangan perilaku akibat degradasi moral. Para pemuka agama senantiasa dapat menjelaskan pencerahan terhadap umat, sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh sesuatu yang negatif sebagai akibat perkembangan lingkungan modern yang sangat dinamis. Negara ini terjaga oleh nilai-nilai agama yang menjunjung nilai ibadah sosial dan ritual.
Jadi, umat Islam merupakan saham terbesar Indonesia. Kaum Muslimin lah yang berperang besar dalam misi pembebasan Indonesia dari cengkraman penjajah Kristen Belanda.
Sehingga, tentu bisa dimaklumi ketika perumusan Piagam Jakarta, disepakati sila pertama itu Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya. Para pendiri bangsa Indonesia sangat mempedulikan aspirasi kerajaan-kerajaan Islam di seluruh pelosok tanah air. Puluhan kesultanan Islam menyatakan diri bergabung dengan Indonesia. Andaikan puluhan bahkan lebih dari seratus kesultanan itu tidak bergabung, tidak akan ada NKRI seperti seperti ini.
Karena itu, Pancasila merupakan rumusan negara yang berdasarkan agama. Jika melihat sejarah awal, Pancasila tidak boleh ditafsirkan secara sekuler. Cukup jelas sila pertama itu. Bahwa negara Indonesia adalah negara bertuhan, bukan negara anti agama, atau negara sekuler.
Makanya, kaum sekularis harus belajar nasionalisme kepada kaum Muslimin. Sebabnya, yang menggerakkan spirit nasionalis pertama kali itu pejuang hizbullah dan sabilillah. Fatwa Jihad KH Hasyim Asy’ari pada perang Surabaya ’45 bukan semata cinta tanah air, tetapi cinta agama. Karena, nasionalisme yang dibina oleh pejuang dahulu adalah nasionalisme berdasarkan ukhuwah Islamiyah.
Hal lainnya, sudah saatnya kaum santri mendapatkan tempat yang pantas di kehidupan negara ini. Bangsa yang hebat adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah. Batu-bata negara ini sudah dibangun oleh para ulama dan santri, saatnya generasi sekarang melanjutkan dan menghormati pendahulu-pendahulu dari para pejuang. Pondok pesantren yang dahulu menjadi basis perjuangan bangsa sudah sangat layak untuk diberi penghargaan. Bahkan pendidikan di pesantren juga melahirkan pemimpin dan intelektual yang bisa berjuang bersama membangun negeri tercinta.*
Penulis Anggota Komisi Pengkajian MUI Jatim dan pengajar di Institut Agama Islam Darullugah Wadda’wah (INI Dalwa)