Oleh: Fahmi Salim
Hidayatullah.com | MAJELIS Rasululloh dikenal kiprah dakwahnya sebagai majelis dzikir dan shalawat. Pengajiannya selalu dipadati oleh anak-anak muda ibu kota, dengan ciri khas mengenakan kopiah putih dan sarungan. Fenomena unik sebagai gerakan dakwah perkotaan. Puncaknya ketika dipimpin Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa rahimahulloh, yang sekaligus sebagai pendiri majelis ini.
Dahulu, hampir setiap tahun, Majelis Rasululloh menggelar peringatatan Maulid Nabi di kawasan Monas, Jakarta Pusat. Bahkan, kala itu dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sejumlah menteri. Namun, Alloh Ta’ala lebih cepat memanggil Habib Munzir, beliau wafat pada 15 September 2013, di usianya yang masih muda, 40 tahun. Qaddarallahu wa maa sya’a fa’al.
Sepeninggal beliau, Sayyid Habib Umar Al Hafidz, yang merupakan guru beliau di Tarim, Yaman menunjuk beberapa orang sebagai dewan pembina untuk melanjutkan misi dakwah Majelis Rasululloh, salah satunya adalah Habib Nabiel Al Musawa, yang merupakan kakak tertua dari Almarhum Habib Munzir.
Kegiatan rutin Majelis Rasulullah tak berhenti, meskipun sang pendiri telah wafat. Jejak amal sholehnya terus mengalir, untuk mengajak umat bertobat kepada Allah ta’ala dan mencintai Rasululloh .ﷺ
Namun, gaya dakwah Habib Munzir sulit ditiru. Ia biasa mendekati anak-anak muda secara langsung, berdialog dan mengajak mereka untuk mengaji. “Banyak preman yang akhirnya bertobat,” ungkap Habib Nabiel, mengenang sang adik, seperti diungkapnya dalam program Ngaji Syar’ie (NGESHARE), “Ngaji Dulu, Alim Kemudian”. Simak dialog selengkapnya di link ini: https://youtu.be/4i0w8O8LPe4
Menurut Habib Nabiel, diantara lima saudaranya, Habib Munzir lebih memilih mendalami agama secara khusus dan langsung belajar di Darul Musthafa, pimpinan Al-Allamah Al-Habib Umar bin Hafidz di Tarim Hadramaut, Yaman selama 6 tahun. Setelah lulus, ia kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan memulai berdakwah dari rumah ke rumah. Beliau sempat dipercaya untuk memimpin Ma’had Assa’adah di Cipayung, tapi kemudian ia memilih berdakwah dengan menghadiri majelis-majelis ta’lim di sekitar Jakarta.
Supaya tidak terpecah-pecah, akhirnya Habib Munzir menggabungkan semua majelis yang dibinanya dalam sebuah majelis. Saat ditanya, apa nama majelisnya, beliau menjawabnya singkat, “Majelis Rasulullah”. Nama ini dipilihnya, menurut Habib Nabiel sebagai wujud kecintaannya terhadap Rasululloh. Karena, tak ada yang dibicarakan dalam majelis ini, kecuali ajaran rasululloh dalam rangka membimbing umat untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya. “Saya teringat waktu kecil dulu, kalau giliran Habib Munzir yang mimpin shalat taraweh, selalu yang dibacanya surat Muhammad,” kenangnya.
Surat Muhammad rupanya begitu tertanam kuat pada diri Habib Munzir. Surat ini mengungkap berbagai tema, mulai perlawanan kafir Quraish yang menentang dakwah nabi, perintah untuk menolong agama Alloh, gambaran kenikmatan surga bagi orang-orang bertaqwa hingga perintah untuk berinfaq di jalan Alloh. Dalam ayat ke-19 juga disebutkan tentang keutamaan ‘tahlil’ dan ‘istighfar’, yang menurut Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah (661-728 H/1263-1328 M), tahlil ditujukan untuk menghancurkan dosa besar yang berupa kesyirikan, sementara istighfar merupakan cara untuk menghapus dosa-dosa kecil.
Majelis Rasululloh, menurut Habib Nabiel, begitu peduli dengan anak-anak muda. Dalam tadabbur surat Al Kahfi ayat 13 yang dibacakan beliau, pemuda Ashhabul Kahfi merupakan teladan yang wajib ditiru. Mereka disebut ‘fityah’ atau pemuda pada usia awal, yang dikenal sebagai remaja, namun memiliki sikap istiqomah dalam keimanan, sehingga Alloh memberikan ‘karomah’ untuk mereka. Saat melarikan diri dari penguasa yang dzolim, kemudian mereka bersembunyi di sebuah gua, Alloh tidurkan mereka selama 309 tahun. Menurut Habib Nabiel, mereka bukan sembarang anak baru gede (ABG), tapi mereka beriman kepada Tuhannya, maka Alloh tambahkan untuk mereka petunjukNya. Mereka sudah menjadi ‘wali’ (kekasih) Alloh di usia yang masih sangat muda.
Pemuda merupakan usia yang sangat penting. Peran mereka begitu besar, yang sudah dibuktikan dalam sejarah nabi, hingga sejarah bangsa ini dalam perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajah. Salah satunya, pemuda dari keturunan Arab. Setelah para pemuda melebur dalam satu identitas kebangsaan, yang dikenal dengan Sumpah Pemuda, pada 28 Oktober 1928, para pemuda keturunan Arab bersumpah setia mengikrarkan Sumpah Pemudanya pada 4 Oktober 1934, saat pembentukan Partai Arab Indonesia (PAI), yang saat itu terpilih sebagai ketua adalah AR Baswedan, kakek Gubernur DKI Anies Rasyid Baswedan. Ikrar yang dinamai ‘Hari Kesadaran Arab-Indonesia’ ini sekaligus menyatukan kembali kelompok Rabithah ‘Alawiyyin dengan Al-Irsyad yang sebelumnya berseteru. Mereka menyatakan sebagai bangsa Indonesia, tempat mereka lahir.
Pada masa penjajah Jepang, PAI dibubarkan. Namun, para aktivis keturunan Arab menolak politik golongan berdasarkan minoritas. Mereka akhirnya bergabung dengan berbagai partai politik, sehingga dalam pemilu, banyak kaum peranakan Arab yang menjadi calon dan terpilih menjadi anggota parlemen maupun konstituante. Saat itu, tokoh-tokoh PAI ada yang menjabat ketua DPRD seperti Ali Gathmier di Palembang (Sumatera Selatan), Saleh Sungkar di Lombok, dan Abdullah Salim (Basalamah) menjadi Ketua DPRD Jakarta Raya. Selain itu, Hamid Algadri menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat dan AR Baswedan, diangkat sebagai Menteri Muda Penerangan (1946-1947).
Penyebaran agama Islam di bumi Nusantara tak bisa dilepaskan dari peran para ulama dan pedagang yang datang dari Hadramaut, Yaman, antara lain penyebar Islam yang dikenal dengan nama Wali Songo. Menurut Van Den Berg, kaum Arab Hadramaut yang datang sekitar abad 15 dan sebelumnya mempunyai perbedaan mendasar dengan mereka yang datang pada gelombang berikutnya (abad 18 dan sesudahnya). Untuk mempermudah penyebaran Islam, kaum pendahulu ini banyak berasimilasi dengan penduduk asli, terutama dari keluarga kerajaan Hindu. Setelah itu, mereka mendirikan berbagai kerajaan Islam. Sementara, kaum Arab Hadramaut yang datang pada abad ke-18 dan sesudahnya, tidak banyak melakukan pernikahan dengan penduduk asli. Mereka datang dengan membawa nama marga-marga yang khas, dan masih terjaga hingga saat ini.
Namun, sejak terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mereka sudah meleburkan diri sebagai bangsa Indonesia. Mereka berperan aktif dalam perjuangan bangsa ini. Bahkan, sebelum Boedi Oetomo berdiri (1908), pada 1901 sudah berdiri organisasi Islam modern pertama di Indonesia, Jami’at Kheir. Pendirinya antara lain Sayed Ali bin Ahmad Shahab. “Kalau ada yang masih mempertanyakan peran nasionalisme keturunan Arab, mereka tidak faham dengan sejarah,” tegas Habib Nabiel.
Peran keturunan Arab tercatat pula pada awal kemerdekaan Indonesia, seperti Sultan Hamid Al Ghadri dari Kesultanan Islam Pontianak yang membuat lambang negara berupa Burung Garuda seperti yang kita kenal saat ini. Selain itu, tempat pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, yang bertempat di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta adalah milik Faradj Martak, seorang keturunan Arab, yang kemudian rumah itu dihibahkan kepada Bung Karno.
Warga keturunan Arab, yang silsilah keturunannya menyambung hingga Rasululloh melalui putrinya Fatimah Azzahra dan cucunya, Husein dan Hasan bin Ali bin Abi Tholib-radhiyallahu anhum, dikenal dengan nama Habib atau Sayyid. Mereka lebih banyak berperan dalam bidang keagamaan.
Kebanyakan mereka adalah para dai yang konsisten dalam perjuangan dakwahnya, salah satunya tergabung dalam Majelis Rasulullloh, yang berusaha menegakan Islam Wasathi (garis tengah), “Umat Islam itu harus bersatu tidak boleh bercerai berai karena persoalan furu’iyah,” tegas Habib Nabiel, yang pernah menjadi Anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera ini (2009-2014).
Sebagaimana kebanyakan umat Islam di Indonesia, Majelis Rasululloh juga mengikuti faham akidah Asy’ariyah, sedangkan dalam fikih mengikuti mazhab Imam Syafii dan dalam tasawuf merujuk kepada Imam Al-Ghazali. Persatuan umat akan tegak, menurut Habib Nabiel, jika tidak lagi mempersoalkan furu’iyyah, kecuali kalau sudah keluar dari pemahaman ahlussunnah wal jamaah, seperti Syi’ah, khawarij, muktazilah, murji’ah, jabariyah dll.
Beberapa warga keturunan Arab yang berfaham Syi’ah tidak diterima di kalangan habaib, karena keberadaan leluhur mereka di Yaman Selatan, awal mulanya justru untuk menghindari kekuasaan dinasti Fatiminyah (Syiah). Saat itu, Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut beserta keturunan Rasululloh dan para pengikutnya. “Mereka mengisolasi diri supaya tidak terkontaminasi faham Syi’ah,” jelasnya.
Kiprah Majelis Rasululloh tidak hanya di Jakarta, juga berkembang hingga ke berbagai daerah, bahkan memiliki cabang yang aktif berdakwah di luar negeri seperti Hongkong, Taiwan dll. Peran dakwah yang selalu dinanti oleh umat, sebagaimana para leluhur mereka yang dahulu menyebarkan agama Islam di bumi nusantara. Wallohu ‘alam.*
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI. Artikel merupakan ringkasan program Ngeshare Bersama Habib Nabiel bin Fuad al Musawa