Oleh: Rossem
SEKITAR tahun 80-an dan 90-an banyak media-media Islam dari Indonesia dipasarkan di Malaysia, antara paling yang popular Panji Masyarakat, Qiblat dan Ummat. Namun saat ini, media-media itu tak ada lagi dijual di sini, barangkali di negara asalnya (Indonesia) juga tak ada, sudah berkubur. Yang ada hanya tinggal Majalah Suara Hidayatullah, Sabili dan Suara Muhammadiyah. Hanya saja, di Malaysia Suara Hidayatullah dan Sabili lebih menonjol berbanding Suara Muhammadiyah.
Media cetak lain Indonesia yang memasuki pasar Malaysia adalah majalah mingguan Mingguan Tempo dan Gatra. Pembacanya tertentu akademisi, penyelidik dan kalangan penulis. Terdapat juga di Malaysia Majalah Horison di mana pembaca setianya dari kelompok sasterawan.
Yang menyedihkan dalam hal ini adalah merosotnya media-media Islami. Ke mana perginya media-media itu. Indonesia memiliki jumlah umat Islam paling banyak di dunia, seharusnya ada puluhan majalah Islami dilahirkan, untuk melawan serangan media nasionalis dan bukan Islam yang setiap hari justru “menghantam” Islam sendiri.
Namun tidak dinafikan, penerbit-penerbit Islam seperti Al Kautsar, Gema Insani, Mizan dan beberapa lagi seperti ; Mitra Pustaka, Pustaka Pelajar, Aqwan dan banyak lagi penerbit belum dapat mengedar buku-bukunya dengan baik, karena belum mempunyai toko buku Islam, seperti yang dimiliki oleh Group Kompas, yang mempunyai kedai buku Gramedia-nya di kebanyakan kota-kota utama di Indonesia.
Perkembangan media cetak Indonesia, dikabarkan menlonjak setelah reformasi 1998. Jumlah media cetak keseluruhannya baik yang harian, mingguan maupun yang terbit bulanan mencapai 955 penerbit. Baik surat kabar biasa, tabloid atau majalah. Dari 33 provinsi, di Indonesia hampir semua mempunyai media. Paling tidak mesti ada satu media. Ini tidak lain karena kebebasan media dan kemerdekaan bersuara tanpa batasan dari pihak pemerintah, terutama setelah reformasi. Semua media dimiliki pihak swasta.
Begitu pula dengan radio dan televisi. Jumlah radio ada 378 dan televisi 118 saluran, termasuk beberapa saluran yang dipunyai pemerintah. Laporan pemberitaannya sangat luas. Ketika melawat ke Surabaya, penulis sempat menonton sebuah program televisi pagi. Ditampilkan seorang juara pidato peringkat sekolah menengah. Pidato oleh seorang anak itu sangat bagus sekali, baik suara maupun intinya.
Ia menghujah dengan penuh semangat mengagtakan, “Di negara kita, seorang mencuri sebiji nangka, ditangkap dan dipenjarakan, tapi yang mencuri/merampok miliaran bisa terlepas dari hukuman.”
Ternyata televisi di Indonesia lebih berterus terang dibanding TV Malaysia.
Semu yang disampaikan tidak disembunyikan, mengkritik pemerintah secara terbuka tiada sekatan.
Barangkali itulah nikmat kemerdekaan bersuara dan kebebasan media yang diperolehi hasil dari reformasi 1998. Sayang, peluang yang baik itu kurang direbut umat Islam. Sepatutnya umat Islam Indonesia mengisi peluang itu dengan membangun kekuatan ilmu, terutama dalam bidang penguasaan media dan penerbitan majalah serta buku-buku Islam terbaik.
Saat berkunjung ke sebuah radio Muslim di Surabaya, penulis sempat bertanya salah seorang pengelolanya. “Berapa perbandingan jumlah radio islami dengan radio umum di Indonesia?” Jawabnya, “4 banding 1 untuk radio Muslim.” Satu stastik yang sangat mengkhuatirkan umat Islam, bukan saja di Indonesia bahkan di Malaysia.*
Penulis seorang wartawan, tinggal di Malaysia