Oleh: Adnin Armas
Hidayatullah.com | DUNIA Barat modern memiliki pengalaman traumatis terhadap sejarah masa lalunya. Trauma ketika Dark Ages (Zaman Kegelapan) atau Medieval Ages (Zaman Pertengahan) menyebabkan dunia Barat menceraikan agama dari politik.
Di Zaman Pertengahan, gereja berada dalam zaman keemasan. Kekuasaan Paus ketika itu mutlak dan tidak tertandingi. Paus bahkan menentukan kekuasaan para raja di Eropa. Perintah Paus ditaati oleh para raja dan masyarakat.
Namun dalam perjalanan waktu, Paus tidak sanggup menjaga reputasi dan pengaruhnya. Paus tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan yang muncul. Bahkan permasalahan internal dalam ajaran Katolik menjadi persoalan tersendiri yang tidak bisa diatasi.
Kritik-kritik pun bermunculan terhadap ajaran Paus. Tokoh teologi, Martin Luther, bahkan menganggap Paus sebagai Anti-Kristus. Kritik-kritik semacam itu tentunya melemahkan kekuasaan Paus.
Saat gereja berkuasa, kebebasan masyarakat Barat dibungkam, perbedaan pendapat diinkuisi atau dipersekusi secara radikal, wanita ditindas, dan masyarakat dizhalimi. Berbagai kehidupan sosial yang buruk terjadi. Akhirnya, manusia modern Barat meyakini bahwa kebenaran, kebebasan, kemakmuran, dan kemajuan hanya bisa diraih dengan melepaskan pengaruh kekuasaan gereja.
Gereja yang begitu mencengkeram di Zaman Pertengahan berubah statusnya menjadi terpinggirkan di Zaman Modern Barat. Gereja tidak boleh lagi mencampuri politik. Gereja atau agama dianggap keyakinan individu yang menjadi urusan masing-masing dengan Tuhannya dan tidak boleh lagi mengatur kehidupan sosial.
Kehidupan sosial menjadi “penguasa baru”. Aturan-aturan yang berlaku dan ditaati adalah kontrak sosial yang disepakati mayoritas masyarakat. “Kedaulatan rakyat” sekarang menjadi “suara Tuhan”. Jadi, politik sekular –politik yang bercerai dari agama– bersumber dari pengalaman traumatis masyarakat Barat terhadap sejarah kelam mereka.
Dalam perkembangannya, bukan saja politik yang diceraikan dari agama. Tapi ilmu pengetahuan alam dan sosial –sumber bagi pandangan manusia tentang kehidupan dan nilai nilai kemanusiaan– juga dilepaskan dari agama. Sumbernya berasal dari rasio, bukan lagi berasal dari gereja atau agama.
Kuatnya pengaruh peradaban Barat modern memunculkan hegemoni stigma politisasi agama. Tatkala agama muncul dalam ranah politik, maka stigma politisasi agama diberikan.
Agama dianggap tidak tepat masuk ke ranah politik karena justru dianggap akan mencederai agama itu sendiri. Selain itu, penafsiran terhadap ajaran agama dianggap sangat beragam alias tidak ada penafsiran tunggal. Ranah publik juga dianggap tidak boleh diwarnai dengan satu agama yang partikular.
Berbagai perilaku dan contoh negatif politisasi agama ditonjolkan. Tujuannya untuk menunjukkan kesalahan gagasan politisasi agama. Penolakan politisasi gereja/agama yang awalnya berasal dari pengalaman traumatis masyarakat Barat, kemudian dijadikan gagasan yang universal.
Islamisasi Politik
Islam bersumber dari Wahyu. Jadi, Islam merupakan agama Wahyu. Bukan agama budaya.
Sebagai agama Wahyu, ada ajaran Islam yang pasti dan tetap. Contohnya shalat Shubuh pasti 2 rakaat. Pasti dikerjakan saat Shubuh, bukan waktu Isya’. Pasti imam berada di depan makmun. Pasti berwudhu atau bertayammum dulu sebelum shalat.
Puasa wajib pasti di bulan Ramadhan. Thawaf pasti mengitari Ka’bah. Haji pasti di daerah Makkah dan sekitarnya. Banyak lagi contoh-contoh kepastian dan ketetapan lainnya.
Perbedaan zaman dulu, sekarang, dan akan datang tidak akan pernah mengubah kepastian-kepastian tersebut. Perbedaan ruang geografis juga tidak akan mengubahnya. Sebabnya, sumber ajaran ini berasal dari Wahyu, yang universalitasnya diyakini kebenarannya oleh umat Islam di segala ruang dari zaman ke zaman, hingga ke akhir zaman.
Islam juga “pasti” terkait dengan politik. Jika Islam dijauhkan, dipinggirkan, dan diceraikan dari politik, maka justru kekeliruan-kekeliruan yang pasti terjadi.
Saat ini, sebagian politikus Barat dengan kekuasaan politiknya telah melegalkan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), minuman keras, prostitusi, dan sebagainya. Ini contoh nyata jika politik diceraikan dari Islam, maka akan muncul nilai dan aturan yang bertentangan dengan ajaran Islam serta merusak kehidupan manusia yang beradab.
Politik yang terpisah dari ajaran Islam memiliki daya rusak yang tinggi dalam kehidupan kemanusiaan. Para politikus sekular bisa menyetujui berbagai undang-undang yang merusak nilai-nilai luhur dalam masyarakat.
Di Indonesia, undang-undang mengenai perbuatan homoseksual dan lesbian serta prostitusi masih abu-abu. Politik yang sekular memang menghalalkan segala cara. Semua menjadi halal demi meraih kekuasaan.
Dalam politik sekular, parameter baik dan buruk, adil dan zhalim, semuanya bukan karena berdasarkan ajaran syar’i, tapi karena nilai-nilai rasional yang hidup dan yang menjadi keinginan masyarakat. Politik sekular berpotensi menghapus ketetapan-ketetapan Wahyu.
Oleh karena itu, Islam yang memuat nilai-nilai luhur perlu mewarnai politik agar politik menjadi mulia dan bermartabat.
Baca: Syamsuddin Arif: Politik Islam berbeda dengan ‘Islam Politik’
Imam al-Ghazali menyatakan bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Menceraikan Islam dari politik akan melemahkan ajaran Islam. Kata al-Ghazali, “Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Dengan demikian, agama adalah fondasi, sedangkan penguasa adalah penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki fondasi akan hancur, dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan hilang (musnah).”
Ungkapan al-Ghazali tersebut bukanlah politisasi Islam, tapi Islamisasi politik. Yakni menjadikan politik sebagai alat untuk menjaga ajaran Islam. Politik Islam berupaya agar undang-undang, peraturan, sistem sosial masyarakat tidak membawa manusia kepada kerusakan nilai kehidupan, tapi membawa kepada kehidupan yang adil dan beradab berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Politikus Muslim harus memperjuangkan nilai-nilai Islam supaya bisa berlaku dalam kehidupan sosial. Sungguh ironis jika politikus Muslim justru berperilaku seperti para politikus sekular.
Jika para politikus Muslim tidak mengubah perilaku politik sekularnya, maka masyarakat lambat laun akan muak dengan agama Islam. Contoh-contoh buruk perilaku mereka menyebabkan munculnya tuduhan politisasi Islam alias menggunakan Islam untuk kepentingan politik. Padahal, tujuan utama berpolitik adalah menegakkan ajaran Islam, agar terbentuk sistem sosial masyarakat yang adil dan beradab dalam berkah Allah Yang Maha Esa.*
Pemerhati politik dan pemikiran