Sambungan artikel KEDUA
Oleh: Guntara Nugraha Adiana Poetra
Ajaran Millah Ibrahim sebenarnya
Akal dan hati nurani seseorang seharusnya memudahkannya memahami agama Allah yang penuh dengan kemudahan dan bisa menjadikannya lebih dekat ajaran Al Qur’an, bukan menjadi pembantah yang hebat. Al Qur’an telah menggambarkan karakter manusia, sebagian besar dari mereka senang berbantah-bantahan.
“Apakah kamu tidak memperhatikan kepada orang-orang yang (selalu) membantah ayat-ayat Allah? Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan?
“(Yaitu) orang-orang yang mendustakan kitab (Al Quran) dan wahyu yang dibawa oleh Rasul-rasul Kami yang telah Kami utus.” (QS. Ghafir: 69-70)
Kemudahan memahami Al Qur’an bisa menjadi pelajaran bagi kalangan berakal. Agama yang lurus ialah yang benar dan mudah difahami, bukan penuh kerancuan. Al Qur’an bukan satu-satunya sumber hukum Islam, tapi ada juga yang lain seperti Sunnah Nabi, Ijma para ulama dan Qiyas. Ketiga perangkat ini memudahkan manusia mengenal ajaran Tuhan lebih dekat. Jika tiada Sunnah Nabi, maka fungsi Nabi dipertanyakan, karena itulah fungsi utusan Tuhan, mereka memberi informasi yang tidak diketahui manusia dan menjabarkan Al Kitab.
Dengan demikian memahami konsep Tuhan, utusanNya, hambaNya, bahkan hakikat kehidupan. Hal tersebut bisa dikembalikan kepada kitabNya, akal sehat dan hati nurani. Hakikat Beragama yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Jika akal benar-benar difungsikan, maka tabir yang selama ini tersembunyi bisa terkupas, bukan dengan menduga apalagi doktrin dan dogma semata. Beragamalah dengan mudah, karena ia bisa dimengerti.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Agama itu mudah, agama yang disenangi Allah (ialah) yang benar lagi mudah.” (HR. Bukhari)
Dalam hadist lainnya,“Mudahkanlah dan jangan mempersukar.” (HR. Bukhari)
Sabda Nabi tersebut senada dengan firman Allah Ta’ala di surat Al Hajj ayat 78, “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”
Dalam beberapa ayat lainnya;
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,” (QS. At Taghaabun: 16)
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maa-idah: 6)
Beragama sesuai syariat Tuhan
Kata tauhid berasal dari bahasa Arab, asal katanya yaitu “wahhada yuwahhidu tauhidan” (وحد – يوحد – توحيدا), bermakna mengesakan, ajaran para Nabi menyeru kepada ke-Esaan Tuhan. Adapun menyeru kepada selainNya bukan dikatakan ajaran tauhid, apalagi menjadikan sekutu bagi Allah, memiliki anak dan perkataan yang tidak patut lainnya.
Pada dasarnya syariat yang dibawa para Nabi sama, yaitu meninggikan kalimat Allah Ta’ala di atas segalanya, menyeru kepada tauhid, menjauhi kemusyrikan, penyembahan terhadap setan, patung dan segala jenis kejahilan lainnya.
Tugas inilah yang sejatinya menjadi sebuah ikatan antara Allah Ta’ala dan para Nabi yang mengemban amanat untuk menyampaikan risalah Ilahi, mengajak manusia kepada kebaikan serta menjauhi kepada keburukan.
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi-Nabi dan dari kamu (sendiri, Muhamad) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. Al Ahzab: 7)
Diantara perjanjian Allah Ta’ala dengan para Nabi dikenal dengan perjanjian yang amat kokoh, bahkan ia begitu sakral, karena hal ini menyangkut hak dan kewajiban manusia sebagai hambaNya, diantara kewajiban manusia yaitu mengagungkanNya dengan benar, adapun haknya mendapat ganjaran berupa surga.
Amanat yang dibawa para Nabi juga menyangkut keselamatan di dunia dan di akherat kelak. Hanya dengan beragama yang benar yaitu sesuai tuntunan para Nabi, maka manusia akan selamat dari murka TuhanNya. Hal ini dijelaskan dalam ayatNya yang panjang.
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari Para Nabi: “Sungguh, apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai Para Nabi) dan aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”.
“Barang siapa yang berpaling sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik[.
“Maka mengapa mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal apa yang di langit dan di bumi berserah diri kepadaNya, (baik) dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.
“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami berserah diri.”
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran: 81-85)
Adanya perjanjian yang kokoh antara Allah Ta’ala dengan seluruh Nabi, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Isa (Yesus) yaitu menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diutus, maka mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama’. Hal demikian dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya dengan menyertakan keterangan dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. (Tafsir Al Qur’an Al Adhim. Hal. 435).
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa sejak Nabi Adam para Nabi telah diinformasikan akan datangnya penutup para Nabi bernama Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang akan membenarkan apa yang dibawa oleh para Nabi sebelumnya. Dari keterangan menjelaskan bahwa seluruh Nabi sejatinya beragama Islam.
Sebagai penutup catatan sederhana ini, kami akan lampirkan sebuah ayat sebagai bahan renungan bersama. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan urusan kita semua. Ya Robbana
“Katakanlah (Muhammad): “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk“. (QS. Al A’raaf: 158)
Bersama ini kami haturkan doa, meski kita terpisahkan oleh ruang, jarak dan dinding waktu, semoga ukhuwah kan terjalin, indah dan kekal abadi selamanya.*
Hormat kami,
Saudaramu yang merindukan perbaikan
Dosen Komunikasi & Penyiaran Islam Faklutas Dakwah UNISBA, PIMRED kajian dunia Islam progresif di www.infoisco.com