Hidayatullah.com | BELAKANGAN sering kita dengar ungkapan di beberapa media sosial bahwa generasi paling bahagia adalah generasi 90-an. Mengapa demikian, sebab pada masa itu masyarakat masih mudah mencari kebahagiaan dengan variasi media yang banyak dan sederhana.
Jangan bayangkan bahwa media yang dimaksud adalah sama seperti di zaman milenial ini yang serba canggih dan instan, tidak. Malahan media kebahagiaan saat itu bisa dikatakan sangat sederhana jika tidak ingin menyebutnya dengan ketinggalan zaman.
Jika manusia hidup untuk waktu yang lama dalam kesendirian, maka dia adalah dewa atau binatang bukan manusia. Dan itu mulai terjadi di zaman ini. Dimana fenomena perkumpulan “jasad kosong” kian menjamur.
Apa itu perkumpulan “jasad kosong”? Yaitu berkumpulnya manusia secara jasadi dalam satu tempat namun fikiran dan jiwanya tidak berada di tempat itu, melainkan di dalam galaksi lain yakni media sosial. Bukti sederhana adalah jika zaman dulu orang-orang berkumpul di warung untuk mengobrol secara langsung sembari menyeruput kopi.
Tapi kini jamak kita lihat fenomena ngopi sambil diam terpekur menatap gawainya masing-masing. Sehingga suasana kebersamaan tidak terasa sebab kontak sosial tidak berjalan.
Kemudian di rumah, jika dulu masih banyak didapati semua anggota keluarga berkumpul bersama menonton TV, makan bersama sembari bercengkerama, kini perlahan mulai berubah. Sebab masing-masing anggota keluarga meskipun berada satu tempat di dalam rumah namun mereka sejatinya sedang di dunianya masing-masing di media sosial.
Bersama tapi tidak Bersatu
Indonesia yang merupakan negeri ketimuran tentu memiliki standar kebahagiaan yang khas yang terikat oleh pandangan alam (worldview) Islam yang mendominasi keyakinan warganya. Di dalam Islam ada ajaran qona’ah atau neriman dalam budaya Jawa yang merupakan salah satu kunci kebahagiaan dalam mengarungi kehidupan di dunia yang sementara ini.
Diriwayatkan dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary dari Nabi ﷺ, beliau bersabda;
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR: Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141).
Hadits di atas menunjukkan bahwa tiga nikmat tersebut jika telah ada pada diri seorang Muslim, maka itu sudah jadi nikmat yang besar. Siapa yang di pagi hari mendapatkan tiga nikmat tersebut berarti ia telah memiliki dunia seisinya. (Rosysyul Barod Syarh Al Adab Al Mufrod, hal. 160).
Dan diriwayatkan dari ’Abdullah bin ’Amr bin Al ’Ash, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ
”Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rizki yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rizki tersebut.” (HR: Ibnu Majah).
Qona’ah inilah yang perlahan mulai hilang di zaman ini. Dulu di zaman 90-an, ada gambaran ideal bahwa seorang ayah pergi bekerja (ke pabrik, sawah, beternak, mengajar dll), ibu mengurus rumah tangga.
Zaman dulu, umumnya anak lebih fokus sekolah dan mengaji. Jika mereka bermain, mereka bermaik yang sehat bagi jiwa dan raga. Seperti renang, mencari ikan di kali, main gobak sodor, petak umpet, karambol dsb.
Begitu juga ayah, ibu di rumah. Mereka lebih suka berkumpul bersama di dalam rumah, mengobrol. Mereka makan bersama (sering seadanya), ibadah bersama, nonton TV bersama, bercengkerama bersama.
Ada juga Bapak-bapak berjaga di pos ronda bersama dan ngopi di warung kopi sembari ngobrol ngalur- ngidul. Kemudian di bulan Ramadhan anak-anak merasa bahagia kala tarawih dan tadarusan bersama kemudian tidur di surau dan menjelang sahur mereka berkeliling kampung untuk membangunkan masyarakat.
Semua kehangatan sosial itu dilakukan bersama.
Sayangnya gambaran itu kini mulai hilang terutama setelah manusia mulai ber-evolusi dari fitrahnya yang semula sebagai makhluk sosial menjadi makhluk media sosial. Banyak keluarga hari ini bertemu, bersama, tapi pikiran dan hatinya tidak bersatu.
Mereka sama-sama duduk tapi tapi tidak saling sapa, apalagi bercengkrama. Sebab tangan dan pikiran berkelana pada kepentingan masing-masing, lebih fokus pada handphone dan media sosial. Wallahu A’lam Bis Showab.*/Muhammad Syafii Kudo, generasi yang pernah merasakan “kegembiraan” masa 90–an