Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Bom meledak di Gereja Katedral Makassar, Ahad (28/3), dan lalu muncul siapa kelompok pelaku pengeboman itu. Ternyata laporan menyebut Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Begitu cepat kesimpulan itu diambil. Hebat pisan kerja Densus 88 itu.
Bahkan terekam dua pasangan suami istri, yang disimpulkan sebagai pelaku bom bunuh diri, berboncengan motor matic. Yang laki dengan jacket coklat dengan kepala ditutup syal, dan yang perempuan mengenakan burkah hitam.
Bahkan ditemukan juga surat wasiat, bahwa mereka ingin mati syahid. Apakah mati syahid yang diinginkan mereka itu dengan bom bunuh diri, atau syahid dalam makna yang lebih luas. Tidak ada yang tahu. Tapi dikesankan dari surat itu membenarkan bahwa pilihan syahid itu seolah dengan bom bunuh diri tadi. Mereka pasangan suami istri, yang baru enam bulan menikah.
Adalah sesat jika syahid itu dikonotasikan dengan mati bunuh diri. Atau mengebom rumah ibadah lain, yang itu dalam Islam dianggap sebagai perbuatan keji dan terlarang. Bunuh diri dengan cara apapun, itu dosa besar yang tidak terampuni. Maka pelaku bom bunuh diri itu mati dalam keadaan nista.
Para netizen Indonesia yang pintar-pintar, tidak lalu mempercayainya begitu saja temuan foto pasangan suami istri tadi, yang konon diambil lewat CCTV. Kesimpulan yang muncul, bahwa sang istri, jika itu benar, jika terbiasa pakai pakaian muslimah, harusnya duduk menyamping dengan posisi wajah ada di sebelah kiri. Tapi yang ada menghadap sebelah kanan. Itu dianggapnya tidak wajar.
Baca: Habib Rizieq, Itu Seperti Juga Soekarno Saat Mencari Keadilan dengan “Indonesia Menggugat”
Juga posisi pengambilan foto dari CCTV, jika itu benar, maka hasil yang ada menunjukkan tidak sebagaimana biasanya. Sepertinya foto itu diambil dengan menggunakan foto tustel biasa. Dan foto hasil CCTV pastinya tidak sebersih yang diedarkan pihak kepolisian. Juga jalan yang dilalui pasangan itu bukan aspal, sebagaimana jalanan yang ada di sekitar lokasi kejadian yang beraspal mulus. Lalu di mana foto itu diambil, yang memastikan itu pelakunya.
Setelah itu, Senin (29/3), muncul pengembangan kasus, itu dengan ditangkapnya dua teroris di Bekasi dan Condet, Jakarta Timur. Lalu bom Makassar coba dikaitkan dengan mereka. Baik di Bekasi dan Condet. Ditemukan rakitan bom dan pakaian khas FPI, dan tanda pengenal sebagai anggota FPI.
Lalu coba dikait-kaitkan, apakah ada korelasi bom Makassar dengan dua orang tadi. Bukannya sudah disebutkan sejak awal, bahwa JAD lah pelaku bom bunuh diri itu. Lalu di mana pertemuan itu bisa disambungkan antara JAD dan FPI. Sulit bisa dikaitkan antara keduanya, dan tampak mustahil.
Memang semua bisa disambung-sambungkan sesuka sutradara, seperti sinetron yang episodenya dibuat absurd di luar nalar. Sebagaimana kehadiran teroris yang juga selalu muncul pada momen-momen tertentu, yang sedikitpun tidak pernah bekerja untuk kepentingan Islam. Justru merusak nama Islam.
Baca: Jangan Zalimi Habib Rizieq
Jangan Mengada-ada
Penangkapan dua teroris di Bekasi dan Condet, ini seperti diada-adakan, jika itu coba dikaitkan dengan FPI. Jika opini itu ditautkan pada FPI, itu tidak terlepas dari kasus disidangkannya Habib Rizieq Shihab.
Bahkan spekulasi menyebut, bahwa tidak mustahil FPI ingin di stempel sebagai gerakan teroris. Setidaknya itu yang disampaikan Munarman, tokoh FPI, yang diunggah dalam video dan beredar luas. Ia katakan, maka dengan demikian, jika ia ditembak di jalan, menjadi hal yang lalu bisa dibenarkan. Tentu jika stempel organisasi teroris, itu disematkan pada FPI.
Menautkan FPI dengan teroris itu jauh panggang dari api. FPI itu lahir dan dibesarkan sampai dibubarkan paksa sebagai Ormas Islam, tidak sedikit pun punya gen teroris. Tidak punya tampang teroris. Semua aktivitas yang dilakukan FPI, itu di ruang terbuka, bukan di ruang remang dan apalagi gelap, khas teroris.
FPI bergerak pada jalur pendidikan, dakwah, sosial dan kemanusiaan khususnya. Sikapnya memang keras, tidak ada kompromi pada kebatilan. Pada kasus-kasus kemanusiaan, FPI selalu berada terdepan. Tidak ada bencana alam di negeri ini, yang tidak ada FPI di sana. Selalu terdepan dan bahu membahu bersama TNI di medan bencana.
Sampai-sampai organisasinya telah dibubarkan pun semangat kemanusiaan dari pribadi-pribadi dengan gen FPI itu tidak pupus. Pada banjir Jakarta yang lalu, gen kemanusiaan dari mereka eks FPI tetap bergerak membantu dengan senang hati. Begitu ikhlasnya FPI hadir di negeri ini, tapi nasibnya sungguh malang. Diperlakukan dengan tidak semestinya.
Pemimpinnya, Imam Besar Habib Rizieq Shihab, menjalani sidang dalam tiga tuntutan sekaligus. Tidak mustahil akan menunggu tuntutan hukum lainnya yang menantinya. Skenario bisa dibuat manusia dengan rapinya, tapi Tuhan pun punya skenario yang lebih dahsyat, yang kita tidak bisa memprediksinya. Wallahu a’lam. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya