Diasuh oleh Abdul Kholiq, Lc M.H.I*
Assalamu’alaikum wrwb.
Pengasuh rubrik yang kami hormati, zakat sepengetahuan kami diwajibkan bagi setiap jiwa. Nah, bagaimana jika suami istri bekerja, siapakah yang berkewajiban bayar zakatnya, salah satu atau tetap keduanya? Hitungannya seperti apa, apakah total penghasilan setelah dikurangi kebutuhan atau langsung dikeluarkan zakatnya? Terimakasih
Septi_Jakarta
Jawab:
Waalaikumsalam wr.wb
Mengacu pada watak dasar zakat, yaitu merupakan kewajiban individu yang memenuhi syarat, baik laki-laki maupun perempuan. Pada sisi lain, hubungan perkawinan jelas tidak berarti peleburan hak milik antara suami dan istri. Yang ada adalah suami wajib memberikan sejumlah hartanya yang wajar kepada istri sebagai nafkah. Sebaliknya, istri sama sekali tidak punya kewajiban untuk memberikan sejumlah harta kepada suami.
Dengan demikian, harta istri adalah hak miliknya secara penuh. Konsekwensinya terkait dengan zakat, maka masing-masing merupakan pihak yang dikenai beban hukum (mukallaf) secara terpisah. Namun bila realitanya telah bercampur –dalam satu rekening misalnya-, maka bila masih dapat diperhitungkan secara tersendiri maka sebaiknya dipisah dan jika tidak, maka tidak perlu dipisah.
Bahwa seorang suami wajib berzakat adalah hal yang sudah umum dipahami. Tetapi seorang istri -jika memenuhi syarat- juga harus menunaikan zakat, bahkan tanpa harus izin suami barangkali perlu penegasan. Secara nyata pada masa Nabi terdapat dua peristiwa yang memperkuat kewajiban secara mandiri itu.
Pertama, suatu ketika usai khuthbah Ied Rasulullah SAW menganjurkan para wanita untuk bersedekah dan merekapun langsung melakukannya, tanpa izin dahulu kepada suami mereka. Dalam hadis Ibnu ‘Abbas ia berkata:
”Pada suatu hari Nabi SAW shalat Idul Fithri dua rakaat. Ia tidak shalat sebelum maupun sesudahnya. Kemudian (setelah khutbah) beliau mendatangi tempat para wanita sementara Bilal menyertainya. Beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka mulailah mereka melemparkan perhiasan mereka (ke kain yang dibentangkan Bilal untuk menampung sedekah), ada wanita yang melemparkan anting-anting dan kalungnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kedua, Asma’ binti Abu Bakr diizinkan Rasulullah SAW untuk bersedekah dari harta pemberian suaminya, yaitu Zubair ibn al-’Awwam. Asma’ bercerita: ”Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki harta kecuali apa yang diberikan Az-Zubair kepadaku. Apakah boleh aku menyedekahkannya?’ Beliau bersabda: ‘Bersedekahlah. Jangan engkau kumpul-kumpulkan hartamu dalam wadah dan enggan memberikan infak, niscaya Allah akan menyempitkan rezekimu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berdasar ketegasan dan kesahihan dalil ini, tidak diragukan bahwa zakat pada dasarnya adalah kewajiban individu. Tidak perlu harus izin pihak lain walaupun suami. Bilapun izin, maka yang demikian lebih baik sebagai apresiasi atas kepemimpinannya.
Bila konsep tersebut diaplikasikan pada persoalan Anda, jelas hasil kerja Anda adalah harta anda pribadi, yang terpisah dari harta suami. Sebagaimana anda punya hak sepenuhnya atas harta itu. Begitu pula anda mempunyai kewajiban mandiri atas harta tersebut. Sebaliknya, harta suami adalah miliknya secara penuh kecuali yang jelas-jelas dipindah milikkan kepada anda.
Adapun harta yang berhukum sebagai harta wajib zakat (mal zakawi) adalah apa yang tersisa dari kebutuhan pokok. Sebab zakat pada dasarnya adalah kesalehan sosial dari yang kaya. Padahal yang dikatakan kaya adalah orang yang mempunyai kelebihan dari kebutuhan pokoknya. Oleh karena itulah, di antara syarat umum harta wajib zakat yang ditetapkan para ulama adalah bahwa harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok. Hal demikian mereka pahami dari firman Allah pada QS.al-Baqarah, 219:
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ” yang lebih dari keperluan.”
Rasulullah SAW juga menyatakan:
لَا صَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
“Tidak ada kewajiban sedekah kecuali dari orang yang mampu, dan tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah, dan mulailah dari orang yang kamu nafkahi.”(HR. Ahmad)
Selanjutnya, masing-masing anda dan suami tinggal mengecek akumulasi penghasilan yang tersisa itu, baik yang cash, di tabungan maupun piutang jatuh tempo, dan emas selain perhiasan dalam batas wajar.
Bila mencapai jumlah yang setara dengan harga emas 85 gr atau sering disebut dengan nishab, maka dua kemungkinan. Pertama, bila belum pernah berzakat, maka sejak tanggal itu awal tahun (haul) harta anda dihitung. Artinya, bila satu tahun kemudian anda dan atau suami miliki setara atau lebih dari nilai 85 gr emas, maka wajib menzakatinya saat itu dengan kadar 2,5% dari harta tersebut. Demikian pula jika nyatanya hanya salah satu di antara anda berdua yang mencapai batas itu, maka yang wajib berzakat hanyalah yang nencapai nishab tersebut.Wallahu a’lam
*Ketua Majlis Syariah Hidayatullah
Tonto video Halalkah, Menerima Bantuan dengan Potongan Fee? klik di sini