oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | JIKA nama Hadratus Syech KH Hasyim Asy’ari, dicantumkan dalam buku “Kamus Sejarah Nusantara”, pastilah itu hal wajar. Karenanya, tidak akan jadi berita besar. Dibicarakan dalam berita kecil saja rasanya tidak pantas, tidak punya nilai berita.
Tapi “Kamus Sejarah Indonesia” kehadirannya menjadi ramai diperbincangkan, bahkan digugat habis bersih, karena nekat tidak mencantumkan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari. Karenanya, buku itu diberitakan seru hari-hari ini.
Membaca judul tulisan ini pada penggalan …, Patut Disyukuri, pastilah tidak sedikit yang komen, kok patut disyukuri? Itu lah hikmah yang menyembul-menguak, ada apa sebenarnya dengan “keteledoran” absurd itu. Bisa jadi itu pintu masuk dari Tuhan, untuk menguak lebih dalam apa yang sedang terjadi. Karenanya, itu patut disyukuri.
Ada apa di balik tidak masuknya nama KH Hasyim Asy’ari, yang mustahil bisa dilupakan sejarawan, meski sejarawan-sejarawanan, dalam menulis tokoh pergerakan Indonesia, sebagaimana dimaksud.
Kalau lalu alasan yang dikemukakan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, yang mengatakan bahwa itu murni kealpaan, dan bukan unsur kesengajaan. Itu sih alasan yang sulit bisa dinalar, meski nalar sudah coba ditumpulkan. Memangnya lalu orang bisa percaya dengan alasan sumir itu. Itu kealpaan yang mustahal.
Menghilangkan nama tokoh besar Islam semacam KH Hasyim Asy’ari, itu bisa disebut spekulasi coba-coba menganggap umat sedang nyenyak tidur panjang. Justru coba-coba itu mampu membangunkan kesadaran umat, bahwa penulisan buku itu punya misi manipulasi sejarah khususnya tokoh-tokoh Islam dalam arus perjuangan pra dan paska kemerdekaan.
Maka respons umat, bukan saja dari kalangan berlatar belakang NU, tapi seluruh tokoh, termasuk Muhammadiyah, yang lalu meminta hal itu dipertanggung jawabkan. Tidak cuma buku itu ditarik, tapi unsur dibalik penulisan buku itu disidik. Bahkan suara meminta Hilmar Farid dicopot dari jabatannya sudah mulai disuarakan.
Tokoh sekelas KH Hasyim Asy’ari saja “berani” tidak dicantumkan, tapi anehnya tokoh-tokoh komunis, yang membuat rongrongan dan pengkhianatan terhadap negeri ini “tidak alpa” dicantumkan. Setidaknya ada lima nama tokoh komunis, dicantumkan dalam buku itu.

Patut disyukuri, itu pun lalu membuat para politisi Senayan yang tadinya tertidur pulas karena ruangan yang adem ikut tersentak, dan lalu ramai-ramai berbicara soal buku itu. Memang sih belum semua fraksi lewat politisinya menyikapi. Tapi fraksi PKS paling santer menyuarakan keberatan atas buku manipulatif itu.
Bung Fadli Zon dari Partai Gerindra, lalu mengirimkan foto jadul, dalam sebuah diskusi yang memperlihatkan ada di posisi mana Hilmar Farid pada diskusi itu.
Jadi Kesadaran Komunal
Siapa Hilmar Farid itu, maka jejak digitalnya terbuka terang benderang. Videonya viral, yang mengatakan bahwa pembunuhan para jenderal dalam G30S PKI itu bukan kesalahan PKI.
Hilmar Farid adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dipimpin Budiman Sudjatmiko. Partai anak-anak muda anti Orde Baru dan kekiri-kirian. Dan dalam perjalanannya Hilmar memang pro komunis.
Ini bisa ditampakkan dari unggahan Twitter Bung Fadli Zon, 5 Oktober 2020, yang menampilkan sebuah foto dirinya yang pernah berdiskusi dengan Hilmar Farid.
“Foto lawas Diskusi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB UI) sekitar Oktober 2010. Saya n Taufiq Ismail (penyair) di sisi Manifes Kebudayaan (Anti PKI), versus Martin Aleida (mantan wartawan Harian Rakyat/PKI) n Hilmar Farid (aktivis PRD, kini Dirjen Kebudayaan) membela Lekra/PKI.”
Lekra adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (underbouw PKI), yang dipimpin Pramoedya Anantatoer, yang memang tokoh idolah Hilmar. Itu bisa tampak dalam disertasinya, sebuah pembelaan atas tokoh idolahnya itu, “Rewriting the Nation: Pramoedya and the Politic of Decolinization”. Ia menyelesaikan doktoralnya itu di National University of Singapore, 2014.
Di pemerintahan Jokowi, Hilmar mendapatkan panggung untuk sepuasnya mengoreksi sejarah produk Orde Baru. Mengoreksi sejarah yang anti komunis itu dengan versinya yang manipulatif, dan itu tampak dari pernyataannya. Ini semacam balas dendam sejarah.
Maka puncaknya adalah buku “Kamus Sejarah Indonesia”, yang memberi porsi besar pada tokoh-tokoh komunis dari PKI yang dua kali memberontak pada negara (1948 dan 1965) lebih istimewa ketimbang tokoh-tokoh Islam yang jelas-jelas sumbangsihnya bagi keutuhan NKRI.
Mestinya bukan cuma buku “Kamus Sejarah Indonesia” itu yang ditarik dari peredaran untuk direvisi, tapi juga mendesak mencopot Dirjen Kebudayaan dan jajarannya yang terlibat dalam upaya manipulatif sejarah.
Sekali lagi, patut disyukuri, dengan tidak dicantumkan nama KH Hasyim Asy’arie, itu mampu membuka kotak pandora, yang itu menjadi kesadaran komunal bahwa negeri ini memang sedang digiring menuju “kiri”, tanda-tandanya mudah dilihat, seperti melihat ikan menari-nari dalam akuarium. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya