Oleh: Arya Sandhiyudha, Ph.D
APAKAH benar dugaan soal terjadinya kolaborasi antara Pemimpin Amerika Serikat (AS) dan Iran?
Dua Hipotesa Alternatif
Ada beberapa pilihan hipotesa. Pertama, situasi ini memberikan benefit politik domestik Iran dengan ‘tumbal’nya satu Jenderal. Di masyarakat Iran, tren Reformis mulai dapat momentum karena mood rakyat tidak terlalu happy dengan ekonomi yang buruk. Sehingga dicarilah momentum persatuan untuk menghadapi common enemy yakni AS sebagai musuh tradisionalnya. Pilihan hipotesa kedua, rational choice pimpinan Iran untuk menghindari perang besar dengan AS saat ini, setelah mendengar ragam anjuran dalam dan luar negeri.
Terhadap kedua hipotesa manapun kita meyakini, situasi Iran sekarang memang sangat berbeda.
Terkait pengaruh Iran di luar Iran, sangat logis bagi Iran menghindari perang besar dengan AS, karena mencegah pembalikan situasi atau degresi dari proses perkembangan pengaruh Iran yang sedang dibangun di kawasan, seperti di Iraq, Suriah, Pakistan, Lebanon, Yaman, termasuk kedekatan dengan entitas Palestina, serta intensnya komunikasi dengan Turki dan Qatar.
Konstelasi dunia memang tengah berubah. Highly non-linear and unpredictable. Pembunuhan Qassem Soleimani juga sepertinya telah menjadi kontinum perubahan dunia yang sedang terjadi.
Dekade kedua di abad ke-21 ini menjadi masa suram bagi para Mullah dan teokrat Iran. Pada mulanya, Presiden reformis Hassan Rouhani, melaksanakan Rencana Aksi Komprehensif Bersama tentang “kesepakatan nuklir” antara AS dengan anggota Dewan Keamanan PBB plus Jerman – yang menghasilkan harapan normalisasi dan kemakmuran ekonomi di Iran. Akan tetapi, pada Mei 2018, perjanjian tersebut dirobek-robek ketika pemerintahan Trump.
Baca: Mengenal Qassem Soleimani, ‘Arsitek Kekerasan’ di Suriah
Pilihan Ekstrim Trump Menyegarkan Kelesuan Iran
Setelah 40 tahun berjalan, para reformis dalam sistem telah berhasil mendorong rezim untuk mengambil langkah ke arah yang lebih moderat. Itu terjadi seiring dengan krisis ekonomi, pada November 2019, gejolak ketidakpuasan rakyat Iran mulai mencuat ke permukaan. Terekspresi melalui aksi pembakaran spontan oleh rakyat yang protes tentang harga telur. Apalagi sekarang, bensin meningkat dua kali lipat dalam semalam.
Peristiwa semacam itu menandakan bukan hanya keputusasaan ekonomi masyarakat. Mereka menunjukkan surutnya kepercayaan terhadap legitimasi pemerintah Republik Islam Iran.
Rezim kemudian dengan cepat merespons gejolak baru dengan mematikan internet dan mengerahkan polisi anti huru-hara yang didukung oleh kawanan paramiliter berbaju preman. Entah berapa angka pastinya, tapi beberapa media menyebut jumlah ratusan yang tewas dan 7.000 lebih ditangkap.
Sikap rezim terhadap gangguan terlihat sejak Gerakan Hijau 2009. Dimana pada satu dekade berikutnya Desember 2019, pemimpin tertinggi –supreme leader, telah memulai fase baru tindakan yang lebih keras. Legitimasinya menjadi kian menipis di depan umum dengan dugaan korupsi, inefisiensi, depresi ekonomi dan isolasi politik dapat dikatakan berada pada titik tertinggi sepanjang masa.
Kemudian datanglah terpaan badai kencang yang kuat kepada para teokrat Iran yang menjadi momentum kebangkitan dari kelesuan tersebut.
Sebuah drone muncul dari langit biru jernih di atas Bandara Internasional Baghdad yang menembakkan, menghancurkan konvoi yang membawa pemimpin militer paling populer dalam sejarah Republik Islam Iran: Qassem Soleimani.
Qassem Soleimani adalah Komandan Pasukan Quds, pasukan elit luar negeri dari Korps Garda Republik Islam Iran yang sangat dipuji selama perang Iran-Iraq dan kemudian kembali disanjung pada momen sukses mengusir ISIS dari Iran.
Dia disebut “syuhada yang hidup” oleh Supreme Leader Iran dan orang-orang yang mengenalnya karena gaya hidupnya yang sederhana, tidak cacat moral, dan karakternya yang rendah hati.
Soleimani juga terlepas dari ketidaksukaan sebagian masyarakat Iran tentang intervensi pemerintah mereka dalam politik kawasan. Ia hanya dinilai sebagai seorang ‘prajurit’ yang melaksanakan arahan dan mengerjakan tugasnya.
Pembunuhan Soleimani akhirnya telah sukses menggumpalkan masyarakat kembali ke dalam kesatuan kolektif Iran.
Padatnya kerumunan yang mengiringi prosesi pemakamannya, bahkan disebut sebanding dengan kerumunan yang tumpah ke jalan saat Ayatollah Ruhollah Khomeini meninggal tiga dekade lalu.
Kemudian, ditambah dengan Presiden Trump yang mengancam akan mengebom kota-kota Iran dan menghancurkan warisan budaya Persia.
Konon, Pentagon kerap memberikan banyak list opsi, tapi semua tidak menduga Trump mengambil opsi terekstrem: membunuh Soleimani. Akan tetapi, pilihan ini seakan “menolong” situasi Iran, ketika supreme leader tengah merosot popularitasnya, kini kembali menyatu bersama dengan air mata masyarakat Iran yang berduka dan meneriakkan “Kematian bagi Amerika”.
Baca: Puluhan Orang Tewas Terinjak-injak di Pemakaman Soleimani
Tulang Panggung Teokratis Iran
Dalam kasus Iran, tulang punggung teokratis Republik Islam kini menemui momentumnya lagi. Interpretasi Ayatollah Khomeini tentang teologi politik Syi’ah seakan kembali hidup secara domestik, mungkin juga internasional. Apa yang diabadikan dalam konstitusi Republik Islam pada tahun 1979, tiga dekade kemudian mendapatkan momentum sejarah hingga “bendera merah” berkibar pertama kali di kubah Masjid Jamkarān, Qom, Iran.
Teokrasi Republik Islam Iran seakan lahir kembali. Legitimasi beralih dari doktrin agama menjadi populisme revolusioner abad ke-20.
Kekecewaan yang berangsur-angsur, baik terhadap infrastruktur teokratis (dipimpin oleh supreme leader), unsur-unsur demokrasi (parlemen dan kepresidenan) pemerintahan Iran, hingga bahkan krisis legitimasi terhadap para reformis, setidaknya dalam dua tahun terakhir kini ‘tertolong’ sebuah momentum.
Momentum yang menghidupkan kembali itu adalah: Musuh eksternal yang kuat, Amerika Serikat, “Setan Besar”.
Supreme Leader Iran, Ali Khamenei menjelaskan serangan rudal itu sebagai “tamparan ke muka” AS dan pesan agar AS pergi dari Timur Tengah.
Akan tetapi, fakta empirisnya, roket-roket yang jatuh di Zona Hijau Baghdad dikatakan tidak ada laporan tentang kerusakan berarti atau korban jiwa. Ini berkaitan dengan penjelasan Wakil Presiden AS Mike Pence yang mengatakan “intelijen” Iran telah meminta milisi Irak pro-Iran untuk berhenti menyerang AS. Seperti Presiden Trump nyatakan, “Iran tampaknya mundur, ini merupakan hal yang baik untuk semua pihak yang terkait.”
Baca: Iran Tembakkan Lusinan Rudal ke Pangkalan Militer Amerika di Iraq, Washington Siap-siap
Harapan Indonesia
Tentu saja, apapun yang terjadi sebenarnya apakah ada ‘kolaborasi’ atau tidak. Indonesia sangat berkepentingan untuk menjadi bagian yang mendorong semua negara menyadarian pihak-pihak kunci untuk meredakan ketegangan. Untuk stabilitas kawasan dan dunia, demi keuntungan semua pihak, khususnya warga sipil tak berdosa.*
Pengamat Politik Internasional