Oleh: Achmad Fazeri
KONFERENSI Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerjasama Islam atau KTT Luar Biasa OKI telah rampung digelar meski belum genap sebulan. Di mana, dalam KTT tersebut dengan tegas Presiden Jokowi menyerukan aksi boikot terhadap produk-produk Israel serta menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina.
Tetapi, semua seruan tersebut mendadak buyar seperti tak memiliki arti dan nilai sama sekali. Nihil dan percuma, setelah dicoreng dengan ‘tinta hitam’ oleh lima wartawan senior dari beberapa media nasional ternama. Tepatnya, usai mereka menemui Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu pada rangkaian acara undangan dari Kementerian Luar Negeri Israel selama 40 menit itu (Jerussalem Post, 28 Maret 2016).
“Yah betul, setetes ‘tinta hitam’ yang menodai dan akan selalu membekas dalam ingatan dan catatan sejarah kelam bangsa Indonesia.”
Penulis pun bertanya-tanya. Bagaimana bisa? Sebagai makhluk sosial yang tentunya wajib peduli terhadap kondisi sesamanya. Apalagi kepada mereka masyarakat sipil tak berdosa di negeri Palestina yang ditindas, didzalimi habis-habisan bahkan dibantai oleh manusia-manusia yang sejatinya pengecut serta bernyali ciut karena bersembunyi di balik senjata bombardirnya.
Jawaban pertanyaan itu, rasanya hanya bisa ditemukan dalam hati nurani manusia yang benar-benar bersih serta punya rasa simpati maupun empati terhadap penduduk nun jauh di seberang sana (Palestina). Bukan seperti sikap lima wartawan senior dari beberapa media nasional itu. Mahluk miskin empati dan tak punya kepedulian sosial tinggi terhadap kondisi rakyat Palestina yang sampai kini masih terus dijajah dan ditindas oleh tentara Israel.
Negara Palsu
Rasanya pun naif dan sangat lucu, kalau kelima wartawan senior tersebut tidak mengetahui siapa Israel. Benar! Israel merupakan sebuah organisasi penjajah, bukan sekadar pelaku state terrorism. Sebab, Israel adalah teror itu sendiri sejak sebelum diumumkan keberadaannya secara Internasional.
Palestina yang menjadi tempat hidup damai antara kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi sejak dibebaskan oleh Shalahuddin Al-Ayubi tahun 1187 menjadi kacau saat penjajah Inggris masuk tahun 1917. Bahkan, semakin parah saat Inggris menyerahkan Palestina kepada gerakan Zionis Internasional. Untuk kemudian diumumkan secara sepihak yang di atasnya didirikan negara palsu bernama ‘Israel’ pada 14 Mei 1948.
Jamak diketahui, pimpinan organisasi penjajah bernama Israel tersebut ialah Benjamin Netanyahu, yang melakukan pembunuhan, penghancuran dan perampasan tanah milik warga Palestina sejak berdirinya negara ilegal (Israel) itu.
Sebelumnya (1947), ada organisasi teroris Yahudi seperti Irgun, Stern serta Haganah yang melakukan pembunuhan, pengusiran, serta perampasan secara besar-besaran atas warga Palestina, didukung pemerintah Amerika Serikat, Inggris dan Prancis kala itu.
Beberapa track-record kejahatan yang dilakukan Netanyahu di antaranya, serangan besar-besaran yang dilancarkan selama 8 hari ke Jalur Gaza pada bulan November 2012, dan selama 51 hari mulai Juli hingga September 2014. Dari serangan itu sebanyak 3.000 warga termasuk anak-anak di bawah usia 15 tahun terbunuh. Selain itu membuat luka-luka dan juga menyebabkan cacat seumur hidup. Bahkan, yang lebih dahsyat dari itu adalah guncangan jiwa yang dirasakan oleh rakyat Palestina (Hidayatullah.or.id, 29 Maret 2016).
Sementara selama 2015 Kementerian Kesehatan Palestina mengungkapkan setidaknya ada 178 warga Palestina terbunuh dan 16.200 orang lainnya terluka oleh pasukan Israel. Dari sejumlah itu, 143 orang di antaranya tewas selama bentrok dan blokade di Yerusalem Timur, Tepi Barat maupun Jalur Gaza.
PBB melalui Koordinator Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengungkapkan, sebanyak 539 rumah warga Palestina telah dihancurkan pemerintah Israel, dan 742 warga Palestina terpaksa harus meninggalkan rumah mereka selama 2015 lalu. Semua itu untuk pembangunan pemukiman penduduk Yahudi (Anadolu Agency, Rabu 6 Januari 2016).
Jadi, wajar saja kalau Israel disebut sebagai negara paling banyak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena penjajahannya terhadap Palestina yang membabi buta hingga merenggut nyawa puluhan ribu jiwa tak bersalah.
Para wartawan Indonesia tersebut seharusnya bersikap tegas terhadap Israel seperti amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan tegas Indonesia menolak segala bentuk penjajahan sebagaimana yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina serta menuntut untuk segera dihapuskan demi mewujudkan kemerdekaan secara mutlak bagi rakyat Palestina.
Karena itu, sebelum lupa dan terlanjur jauh melangkah, alangkah bijaknya kalau kelima wartawan senior ini meminta maaf kepada bangsa Indonesia, karena telah mengkhinati dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan bahkan bisa disebut telah melanggar Pasal 2 UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Tulisan ini, penulis buat bukan karena benci, dengki atau ingin mencaci maki kelima wartawan senior yang sepak terjangnya mungkin sudah tinggi. Penulis hanya ingin mengingatkan tatkala para seniornya ‘melupa diri’ ataupun mungkin sedang ‘tak sadarkan diri’.
Tak lebih, penulis hanya sekadar ingin mengajak untuk senantiasa bersikap mawas diri serta merenung sejenak bagaimana menumbuhkan sikap peduli, simpati serta empati terhadap sesama. Terlebih kepada rakyat Palestina yang hingga kini sumber daya alam dan manusianya terus menerus dieksploitasi oleh penjajah Israel untuk kepentingannya sendiri. Atau dalam bahasa Prancis yang sering dikutip Bung Karno “Exploitation de I’homme par I’homme”.
Bayangkan, kalau seandainya rakyat Palestina yang terbunuh oleh pasukan Israel di bawah pimpinan Benjamin Netanyahu adalah saudara kita. Entah itu saudara laki-laki atau perempuan, anak laki-laki atau perempuan, bahkan kedua orang tua kita. Lantas, masihkah bersedia untuk ‘berjabat tangan’ dengan tokoh yang tangannya penuh darah dari keluarga kita itu?
Semoga apa yang telah terjadi pada kelima wartawan senior beberapa media ternama ini, hanya karena khilafnya seorang manusia yang memang tempatnya lupa dan keliru. Pun tak terkecuali dengan diri penulis yang bisa juga berbuat salah. Namun, bukan berarti usai berbuat kesalahan terus berdiam diri. Mumpung masih belum terlambat, mari kita sama-sama berbenah diri supaya kejadian serupa tak terulang kembali di kemudian hari. Wa Allahua’lam bishowab.*
Penulis adalah wartawan