Banyak Muslimah terpapar kerancuan pemikiran akibat dari westernisasi yang dilakukan oleh peradaban Barat
Oleh: Krisna Wijaya
Hidayatullah.com | DI ERA Society 5.0 – tahapan lanjut sebagai bentuk penyempurna dari proses perkembangan teknologi yang terjadi di era revolusi industri 4.0 – ini, perkembangan teknologi tidak terbendung lagi dan telah banyak merubah tatanan kehidupan manusia.
Bahkan tidak menutup kemungkinan juga bahwa teknologi ini akan menggeser tatanan nilai kehidupan manusia disebabkan penggunaan teknologi yang berlebihan sehingga yang jauh terasa dekat, namun yang dekat terasa jauh. Hal ini jugalah yang kemudian bisa berdampak pada pergeseran nilai di mana yang awalnya baik menjadi buruk dan yang buruk dinilai baik. Hal ini bukan tanpa sebab, era Society 5.0 cenderung berkiblat kepada peradaban Barat, sehingga dimensi agama akan luntur dengan sendirinya.
Hal ini bukan tanpa sebab, Barat sebagai kiblat perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memandang agama sebagai sebuah hal yang tabu karena mereka trauma terhadap sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi Gereja (inkuisisi) di zaman pertengahan dulu.
Perkembangan IPTEK di era society ini apabila dibiarkan begitu saja tanpa ada rambu-rambu khusus dalam upaya meresponnya akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari. Karena jika hanya IPTEK yang diperhatikan, niscaya kehidupan manusia akan kering dan hampa dalam perjalanannya.
Kehampaan ini merupakan salah satu bagian dari permasalahan krisis spiritual yang terjadi pada masyarakat modern saat ini. Krisis spiritual ini merupakan krisis terbesar yang terjadi di dunia modern saat ini, termasuk terjadi juga di negara Indonesia.
Penyebab krisis ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak diimbangi dengan perkembangan kualitas spiritualitas manusia di dalamnya. Oleh karena itu, kita akan menemukan berbagai permasalahan kompleks yang menimpa manusia modern ini, terkhusus generasi yang hidup pada saat teknologi telah berkembang pesat (generasi alfa).
Fokus pembahasan ini akan terpusat kepada manusia generasi Z sampai dengan generasi alfa yang sama-sama hidup di era modern. Dalam konteks keindonesiaan, hal ini perlu diperhatikan dengan seksama karena salah satu upaya memperhatikan masa depan bangsa Indonesia adalah dengan memperhatikan kualitas generasi mudannya.
Indonesia sebagai negara yang berasaskan aspek spiritual – merdeka atas berkat rahmat Allah – ini seharusnya tidak hanya memperhatikan perkembangan IPTEK semata, namun juga kualitas spiritualitas generasi muda di dalamnya. Oleh karena itu, fokus objek pembahasan dalam kajian ini adalah mengenai deislamisasi identitas wanita muslimah Indonesia di era society 5.0.
Muslimah ini menjadi fokus utama dalam pembahasan kali ini karena perempuan adalah sumber sekaligus pusat peradaban manusia. Di tangan merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan. Sebuah pepatah Arab mengatakan, “Al-Mar’ah ‘imad al-Bilad. Idza shaluhat sholuha al-Bilad, wa idza fasadat fasada al-Bilad.”
Hal ini bukan hanya pepatah semata, mereka adalah pilar peradaban yang bisa mencetak kader-kader unggul, anak-anak yang cerdas dan bertakwa. Kader-kader inilah yang di kemudian hari akan menjadi para pembangun bangsa (national builders) dalam upaya pembangunan bangsa (nation building).
Sayangnya perkembangan IPTEK di Indonesia masih belum seimbang dengan perkembangan kualitas spiritualitas muslimah bangsa Indonesia. Secara umum, penulis melihat ada dua permasalahan yang hinggap dalam diri wanita muslimah Indonesia. Pertama, masalah berkaitan mengenai kegagalan dalam meletakkan dan memahami jati dirinya. Kedua, masalah yang berkaitan mengenai ketidakmampuan dalam membangun identitias dirinya.
Permasalahan-permasalahan ini bisa kita lihat bersama seperti kasus bunuh diri muslimah di Jawa Timur akibat hamil di luar nikah, pembuangan bayi akibat hamil di luar nikah, siswi sekolah kecanduan seks, dll. merupakan bukti nyata dari krisis spiritualitas yang terjadi pada diri muslimah Indonesia saat ini.
Di samping kehilangan nilai kemuliaan dalam dirinya, mereka juga kesusahan dalam membentuk jati dirinya sebagai wanita muslimah Indonesia yang merdeka – atas berkat rahmat Allah – di era modern ini. Banyak dari mereka terpapar kerancuan pemikiran akibat dari westernisasi yang dilakukan oleh peradaban Barat. (Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisme Pemikiran Islam: Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis , Ponorogo: CIOS, 2010).
Di dalamnya terdapat program penyebaran pandangan hidup Barat yang terdiri dari nilai, konsep, kultur, tradisi, agama, dll., yang berbeda dengan norma dan kultur masyarakat Indonesia yang agamis. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya muslimah Indonesia yang terpapar virus pemikiran yang bersumber dari peradaban Barat.
Di antaranya seperti muslimah yang menyuarakan paham kesetaraan gender, muslimah mendukung RUU-PKS yang memiliki permasalahan pada aspek sexual consent, dll. Kejadian-kejadian ini lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa betapa permasalahan krisis spiritualitas benar-benar terjadi dalam diri wanita muslimah Indonesia saat ini.
Padahal telah jelas tujuan pendidikan nasional yang ditetapkan dalam konstitusi berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah, “… berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa….” Di samping itu, pemerintah juga telah mengupayakan berbagai upaya dalam rangka mendukung perkembangan kualitas pendidikan Indonesia.
Salah satunya seperti komitmen pemerintah melalui Pasal 31 ayat 4 yang menyatakan bahwaalokasi anggaran pendidikan adalah sebesar 20 persen, berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Berbagai upaya-upaya di atas sayangnya masih belum membuahkan hasil yang maksimal. Krisis moral dan spiritualitas masih melanda remaja-remaja muslimah Indonesia saat ini.
Mereka kehilangan identitias diri sebagai seorang muslimah dan tidak mampu membangun jati dirinya sebagai wanita muslimah Indonesia yang merdeka. Oleh karena itu, penulis menganalisa bahwa salah satu upaya terpenting dalam memperbaiki keadaan ini adalah dengan memperbaiki pembelajaran sejarahnya.*
Mahasiswa UNIDA