Oleh: Kholila Ulin Ni’ma, M.Pd.I
Dalam sebuah media, ahli medis untuk Paru di RSUD Pekanbaru Riau, dr Azizman Saat, tidak menampik ketakutan ‘mati perlahan’ Tiara dari kutukan kabut asap di wilayahnya. Bahkan, ia pun menyerukan agar ada upaya evakuasi untuk warga di daerahnya. “Oksigen murni tersisa lima persen lagi. Ini sangat berbahaya. Pemerintah seharusnya mengungsikan warga Riau,” katanya, (viva.co.id, 14/9/2015).
Peringatan ini memang menakutkan. Sebab, dengan jumlah kadar seperti itu, sangat tidak mungkin dihirup oleh warga di Pekanbaru Riau yang mencapai 1,1 juta jiwa. Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting menyatakan, pemerintah tidak menganggap serius dampak pencemaran udara bagi masyarakat terdampak kabut asap dan cenderung meremehkan. Padahal, berdaskan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pencemaran udara pada 2014 menyebabkan tujuh juta kematian dini.
Tata Kelola Gambut Tidak Sesuai Karakternya
Hutan gambut adalah hutan tropis berdaun lebar. Tanah yang terendam air mencegah dedaunan dan kayu terdekomposisi sepenuhnya. Seiring waktu berlalu, terbentuk lapisan gambut yang bersifat asam. Lahan gambut (peat land) memiliki peranan ekologis dan hidrologis yang sangat penting agar kehidupan lestari dan kesejahteraan hidup umat manusia terjaga.
Peran penting hidrologis lahan gambut bagi suatu wilayah bahkan dunia adalah sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang sangat besar. Sehingga pada musim hujan tidak terjadi banjir dan pada musim kemarau tidak terjadi kekeringan. Peran hidrologis ini erat kaitannya dengan karakter tanah gambut yang bagaikan spons dengan kubah-kubahnya berkedalaman hingga puluhan meter.
Begitu besarnya peran gambut bagi kehidupan dan kesejahteraan umat manusia, maka sungguh nikmat Ilahi Rabbi yang sangat patut di syukuri penduduk negeri ini, ketika Allah Subhanahu Wata’ala telah menganugerahkan lahan gambut tropis Indonesia sebagai lahan gambut terluas di dunia. Luasan sekitar 21-22 juta hektar (1,6 kali luas pulau Jawa). Tersebar di Kalimantan, Sumatera dan Papua. Maka nikmat Rabb-mu yang mana lagi yang akan kamu dustakan?
Karakter tanah gambut, yang merupakan cikal bakal batu bara muda, bila keringkan sangat mudah terbakar dan bila sudah terbakar sulit dipadamkan, mengharuskan pemanfaatan lahan dan hutan gambut harus selaras dengan karakter aslinya, yaitu agar gambut selalu basah, demikian pendapat sejumlah pakar gambut dan lingkungan, seperti Prof Azwar M’aas, pakar Gambut dari Universitas Gadjah Mada. Kubah gambut harus dipertahankan, dipilihkan tanaman yang adaptif dengan lahan gambut yang basah, bukan sebaliknya, serta memberikan tanaman penutup. Jika gambut ini dijadikan pada pohonan atau tanaman lahan kering, dengan memaksa gambut yang basah untuk kering. Ini berbahaya. Jangan ekosistem gambut yang harus menyesuaikan diri dengan tanaman. Namun tanamannya yang harus disesuikan dengan lahan
Tata kelola hutan dan lahan gambut (peatland) menjadi fokus perhatian dunia beberapa dekade terakhir sehubungan dengan kebakaran hutan dan lahan yang menghebat dan perubahan iklim dunia yang berujung pada berbagai bencana. Kegagalan tata kelola hutan dan lahan gambut sistem politik demokrasi yang bersifat kapitalistik, neoliberalistik mengakibatkan terjadi kerusakan hutan dan lahan gambut secara massive di berbagai penjuru dunia, utamanya Indonesia sebagai pemilik lahan gambut terluas di dunia. Ini ditandai dengan meluasnya kebakaran hutan dan lahan gambut setiap tahun.
Diberitakan beritasatu.com, 11 September 2015, analisis greenpeace menunjukkan 3,464 titik api tahun ini berada di gambut yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia, dan 75 persen titik api di Sumatera ditemukan di kawasan gambut.
Tahun lalu, menurut pantauan WWF sepanjang Februari 2014 di kawasan gambut terdeteksi 2370 titik api. 95,96% nya di lahan gambut, sisanya di lahan non gambut. Pada kebakaran gambut tahun 2013, titik api terbanyak 2.968 pada bulan Agustus. Ini dinilai sudah merupakan puncak krisis kebakaran hutan.
Penting dicatat sejumlah fakta menunjukkan titik api karhutla nyatanya dari tahun ke tahun terkonsentrasi pada kawasan hutan yang dalam pengelolaan korporasi. Seperti yang dicatat oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, sekitar 80 persen lokasi kebakaran di Provinsi Jambi terjadi dikawasan konsensi perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri.
Ini semua membuktikan terjadinya pengabaian karakter gambut pada tata kelola gambut neolib, dengan pemberian hak istimewa seperti skema konsensi kepada individu tertentu. Lokasi titik api menunjukkan adanya hubungan kuat antara pembukaan hutan dan pengeringan gambut. Jadi bisa dikatakan kebakaran hutan di Indonesia disengaja. Hal ini selaras dengan temuan BNPB, bahwa 99,9% kebakaran hutan dan lahan akibat ulah manusia. BNPB punya data lengkap bahwa yang melakukan pembakaran itu perusahaan. Data-datanya jelas, perusahaan apa saja yang terlibat di dalamnya. Terang saja mereka melakukan pembakaran hutan yang tak terkontrol. Biaya pembukaan lahan dengan cara dibakar hanya membutuhkan Rp 600-800 ribu per hektare, sedangkan tanpa membakar butuh Rp 3,4 juta per hektare untuk membuka lahan.
Upaya yang sudah dilakukan pemerintah?
Pemerintah melakukan terobosan berupa tindakan penyegelan, penyekatan seribu kanal, pemetaan lahan gambut yang tersisa dan berbagai upaya lain. Namun upaya yang dilakukan dalam bingkai neoliberal sungguh diragukan keberhasilannya. Karena persoalan utamanya bukan pada lemahnya penegakan hukum dan lemahnya kepatuhan korporasi.
Sesungguhnya hutan dan lahan gambut adalah harta milik umum, maka apapun alasannya tidak dibenarkan pemerintah memberikan hak-hak khusus kepada siapapun dalam hal pemanfaatan hutan gambut, baik berbentuk konsensi, atau skema batil lainnya meski hanya untuk masa tertentu,dan sekalipun perusahaan atau individu tersebut membayar sejumlah kompensasi kepada negara seperti pajak maupun kompensasi kepada masyarakat berupa CSR (Corporate Social Responsibility).
Kedua, negara wajib hadir sebagai pihak yang diamanahi Allah Subhanahu Wata’ala bertanggungjawab terhadap pengelolaan harta milik umum, dalam hal ini hutan dan lahan gambut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam menegaskan artinya,”Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Pada tataran inilah urgensitasnya dunia kembali pada pokok ajaran Islam, berupaya mengakhiri bencana asap tahunan serta mewujudkan tata kelola gambut yang menyejahterakan. Allahu A’lam.*
Aktivis DPD II Muslimah HTI Tulungagung