Oleh: Hanif Fathoni
Sambungan artikel PERTAMA
Sebagaimana diceritakan oleh Syeikh Ali Jum’ah tentang dua guru beliau yang merupakan ahli Qur’an dan Qiro’at di Al-Azhar, Syaikh al-Hamadani dan Syaikh al-Zayyat, keduanya adalah murid Syeikh al-Janaini. Syeikh al-Hamadani mengajar dan menyimak Qur’an di Masjid Azhar setiap hari, dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam.
Ketika Universitas Al-Azhar mendirikan Ma’had(institusi) khusus al-Qur’an dan Qiro’at, Syaikh al-Hamadani mengajukan diri untuk menjadi pengajar, namun sayangnya beliau ditolak karena satu alasan saja yaitu beliau tidak punya sanad ijazah tertulis dari guru beliau, Syaikh al-Janaini, padahal tidak ada satupun orang yang meragukan kemampuan Syekh al-Hamadani, dan semuanya tahu bahwa beliau murid utama Syaikh al-Janaini.Setelah Syaikh al-Hamadani mendapatkan ijazah sanad dari teman seperjuangan dan seperguruan beliau sendiri yaitu Syekh al-Zayyat, barulah beliau mendapat legalitas untuk mengajar di Ma’had baru tersebut.
Ini membuktikan bagaimana lembaga keislaman sekaliber dunia dan sudah berabad-abad berdirinya masih sangat memperhatikan legalitas keotentikan suatu ilmu.
Di Indonesia sendiri, beberapa pesantren tahfidz sangat ketat dalam memberikan ijazah sanad membaca al-Quran, seperti halnya di Madrasatul Quran Tebuireng maupun pesantren tahfidz yang lainnya dalam pemberian ijazah sanad qiraah seorang pencari sanad diharapkan harus hafal al-Quran dahulu dan merepetisi hafalannya selama beberapa kali untuk kemudian menghadap sang penguji dalam suatu waktu tanpa ada salah sedikitpun, barulah ia bisa mendapatkan sanad ijazah tersebut. Sekali lagi hal ini dimaksudkan agar keotentikan ilmu tersebut minimalnya secara tekstual tidak ada yang salah.
Baca: Disiplin, Sabar dan Istiqomah Kunci Sukses Pemegang Sanad Qira’ah …
Mereka tidak menerima selain apa yang diketahui jalurnya dan merasa yakin dengan ke-tsiqah-an (keterpercayaan) dan keadilan (karakteristik kebenaran) para perawinya, yaitu melalui jalur sanad.Imam Muslim salah seorang pioner dalam studi hadits meriwayatkan di dalam pendahuluan Shahih Muslim-nya, beliau menukil dari Ibn Sirin rahimahullah yang berkata, “Dulu mereka tidak pernah mempertanyakan tentang sanad, namun tatkala terjadi fitnah, mereka mengatakan, ‘Tolong sebutkan kepada kami para perawi kalian!’ Lalu dilihatlah riwayat Ahlussunnah lantas diterima hadits mereka.
Kemudian, dilihatlah riwayat Ahli Bid’ah, lalu ditolak hadits mereka.” Demikian pula para muhaditsin (Ilmuwan Hadits) ketika mendengar sebuah hadits, tidak langsung menerimanya. Mereka terlebih dulu menguji kebenaran hadits itu dengan melihat dan mempelajari matan (isi) dan sanad–nya sekaligus.
Berdasarkan metode inilah kemudian mereka menilai apakah sebuah hadits itu otentik dan akurat, atau tidak.
Bertolak dari poin diatas, kajian kelimuan secara sanad riwayah (tekstual) cukup penting, agar teks yang dikaji tidak ada tahrifat (penyelewengan teks) baik berupa pemalsuan teks maupun kesalahan tulisan yang akan berimplikasi terhadap kesalahan makna dan arti teks yang tertulis.
Begitu pula kajian kelimuwan berlandaskan sanad dirayah (kontekstual) juga penting, agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam mengkaji suatu teks keilmuan. Sebagai contoh, dalam memahami hadits yang berisi tentang bagaimana sikap, perangai dan seluruh hal-hal yang berkaitan dengan Rasulullah seperti dalam kitab Syamaail Al Muhammadiyah karya Imam Turmudzi tidaklah cukup dari keterangan tertulis maupun terjemah yang dicantumkan saja namun butuh kejelasan kontekstual baik secara verbal maupun nonverbal dari penulis kitab maupun pensyarahnya minimalnya dari orang yang memiliki dasar dan landasan pemahaman tekstual dan kontekstual dari penulis asli sehingga jelas bagaimana sikap dan perangai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Begitu pula dalam ilmu lain, contohnya Ilmu aljabar, yang berasal dari nama kitab Al Khawarizmi yang berjudul al-Jabr wal Muqobalah.
Pada awalnya aljabar berawal dari keingintahuan Al Khawarizmi tentang ayat-ayat mirots dalam al-Quran yang berisi pecahan-pecahan unik sehingga membuat beliau tertarik untuk mengkajinya. Semisal pula dengan Aljabar, ilmu ukur yang dalam bahasa Arab disebut ilmu hisab juga berlandaskan beberapa kajian yang mendalam dari ayat-ayat maupun hadits-hadits tentang falak dan seterusnya.
Setidaknya dengan mengetahui darimana ilmu tersebut diambil, akan menambah pemahaman tekstual maupun kontekstual suatu ilmu terlebih ilmu agama. Sehingga suatu ilmu yang dipelajari menjadi utuh dan tidak menyeleweng dari pemahaman yang sebenarnya dari sumber asli teks tersebut (pengarang) dari semenjak teks tersebut dituliskan pada generasi awalnya, hingga kepada generasi-generasi setelahnya.
Harapannya pula agar generasi sekarang maupun setelahnya mendapat ilmu secara tekstual dan kontekstual yang utuh dan benar serta tidak memunculkan pemahaman-pemahaman yang dangkal dan parsial dalam mempelajari suatu ilmu. Walaupun tidak semua ilmu harus didasarkan atas sanad, minimalnya dengan memahami dasar landasan ilmu tersebut akan dapat dipahami secara lebih utuh, menyeluruh, otentik dan orisinil. Wallahu a’lamu bishowab.*
Penulis adalah dosen UNIDA – Gontor