Hidayatullah.com—Islam menjadi agama yang tumbuh paling cepat di penjara-penjara Amerika Serikat. Fenomena ini menjadi sorotan dalam laporan mendalam jurnalis Lisa Ling dalam seri “Keadaan Spiritualitas” yang ditayangkan di salah satu jaringan televisi besar AS, CBS Morning.
Melalui peliputan yang menyentuh, Lisa menelusuri bagaimana ribuan narapidana menemukan arah hidup baru melalui Islam—di tempat paling tidak terduga: balik jeruji besi.
Di antara surat-surat yang menggunung di kantor pos, Ramy Nour, pendiri dan direktur Yayasan Taba, menunjukkan tumpukan permintaan dari narapidana di seluruh negeri—Texas, Ohio, Florida, hingga Colorado. Semua berasal dari penjara. “Ini dari mereka yang ingin belajar Islam,” kata Nour kepada Lisa Ling.
Yayasan Taba merupakan organisasi pertama di AS yang menawarkan program pembelajaran jarak jauh tentang Islam khusus untuk narapidana.
“Ketika kami memulai 15 tahun lalu, kebutuhan utama yang kami dengar dari para napi Muslim adalah akses ke pendidikan Islam. Kami mendirikan Taba untuk mengisi kekosongan itu,” tutur Nour.
Menurut laporan Lisa Ling, Islam menjadi agama yang paling cepat berkembang di penjara AS. Diperkirakan puluhan ribu narapidana—kebanyakan pria—berpindah keyakinan setiap tahun.
“Kami telah melayani lebih dari 13.000 orang, dan 90 persen dari mereka adalah mualaf, sebagian besar dari dalam penjara,” kata Nour.
Lisa pun menyoroti sisi psikologis dan spiritual dari keputusan para napi untuk memeluk Islam. “Islam menawarkan struktur, disiplin, dan ketenangan yang tidak mereka temukan sebelumnya. Bahkan ketika fisik mereka dikurung, mereka merasa jiwa mereka bebas,” ujarnya dalam narasi liputannya.
Salah satu kisah yang menggugah adalah perjalanan Muhammad Amin Anderson, yang dulunya bernama Christopher Anderson.
Ia tumbuh sebagai anak seorang pendeta di Philadelphia, tetapi sebagai remaja, ia terjerumus ke dunia narkoba dan kekerasan geng. Ia dijatuhi hukuman lebih dari 30 tahun atas keterlibatannya dalam pembunuhan.
“Saat saya masuk penjara, saya tidak punya rasa kemanusiaan. Tapi justru di penjara saya menemukannya kembali—melalui Islam,” ujar Anderson kepada Lisa Ling.
Ia memeluk Islam satu atau dua tahun setelah ditahan, dan menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari berbagai agama sebelum akhirnya memilih Islam karena menurutnya “satu-satunya yang masuk akal.”
Ia kemudian terhubung dengan Nour dan mulai belajar Islam secara mendalam melalui materi dari Yayasan Taba, juga bimbingan langsung via telepon.
“Saya mengajarinya selama bertahun-tahun, sampai akhirnya ia mampu menjadi guru di penjara,” kata Nour.
Lisa Ling juga mengangkat pertanyaan umum yang sering muncul di masyarakat tentang kemungkinan radikalisasi di penjara. Nour menjawab tegas: “Teori itu tidak benar. Data tidak menunjukkan adanya pola itu. Kalaupun ada kasus radikalisasi, sangat langka—seperti halnya ada ekstremis Kristen. Tapi itu bukan cerminan dari mayoritas.”
Data dari National Institute of Corrections mendukung klaim tersebut, menyatakan bahwa radikalisasi di penjara AS oleh narapidana Muslim sangat jarang terjadi.
Nour menekankan bahwa banyak narapidana tertarik pada Islam setelah melihat perilaku Muslim lain di dalam penjara. “Mereka melihat ada sesuatu yang berbeda—ketenangan, kedisiplinan, dan karakter yang baik. Ketika ditanya, mereka menjawab, ‘Ini karena Islam saya.’”
Muhammad Amin Anderson akhirnya bebas pada Juli lalu, setelah menjalani hukuman penuhnya. Kini ia bekerja di Yayasan Taba.
Dalam wawancara dengan Lisa, ia tampak emosional saat mengenang masa lalunya. “Saya orang yang dulu menghancurkan hidup orang lain. Tapi Tuhan memberi saya kesempatan kedua. Saya percaya saya punya kewajiban—kepada korban, keluarganya, anak-anaknya—untuk menjalani hidup ini dengan makna.”
Lisa Ling menutup laporannya dengan refleksi: “Jarang saya melihat seseorang begitu jujur tentang masa lalunya, dan sekaligus begitu teguh pada perubahan yang ia lakukan. Ketika saya bertanya, ‘Apa arti hidup?’ ia menjawab dengan penuh makna. Itu pertanyaan yang tak semua orang berani hadapi,” tambahnya.*