Oleh: Rahmat Hidayat Zakaria
ILMU itu sangat luas dan tidak terbatas (unlimited), kian digali kian ditemukan hal-hal yang baru darinya. Dikarenakan ilmu semakin digali semakin melahirkan informasi-informasi yang baru, itu sebabnya kenapa ia tidak pernah lekang dimakan oleh zaman.
Namun sebaliknya, yang terbatas hanyalah manusianya. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia, sudah seyogyanya ia membatasi diri dan kemampuannya untuk mengetahui segalanya. Manusia sememangnya harus mengetahui mana perkara-perkara yang kiranya penting untuk dicapai dan dimiliki dan mana pula perkara yang tidak penting.
Semua manusia pasti menyadari akan keterbatasan dan kelemahan yang dimiliki serta mengakui bahwa ia merupakan makhluk yang kecil dibandingkan dengan sebahagian dari binatang-binatang ciptaan Allah Subhanahu Wata’ala dan alam semesta beserta isinya. Namun, apakah asumsi yang menegaskan keterbatasan dan kelemahan manusia lantaran menjadikannya sebagai makhluk yang hina? Tentu saja tidak!
Di dalam al-Qur’an contohnya, terdapat ayat-ayat yang memuji dan menegaskan bahwa manusia merupakan sebaik-baik penciptaan. Manusia, yang apabila mengoptimalkan fungsi akalnya dengan sebaik-baiknya, maka tidaklah heran ia akan lebih tinggi derajatnya daripada Malaikat. Tetapi sebaliknya, akal tidak didayagunakan sebagaimana mestinya tentu tidak diragukan, manusia akan lebih hina, bahkan lebih sesat daripada binatang.
Selain manusia, banyak sekali kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala kepada makhluk-makhlukNya yang lain. Anjing diberikan kelebihan dalam penciuman, kapasitas penciuman anjing mampu menampung sekitar dua ratus juta reseptor bau, sementara hidung manusia hanya memiliki lima juta reseptor.
Kelelawar diberikan kelebihan untuk berkelana di malam hari, sedangkan di siang harinya ia tidur dan tidak mampu melihat matahari. Mata manusia tidak sebanding dengan ketajaman burung gagak, yang konon katanya cukup menutup salah satu matanya, karena mencukupkan baginya untuk melihat dengan satu mata saja, bahkan lebih daripada itu pandangan gagak mampu menembus tanah sepanjang paruhnya. Manusia tidak mampu berlari sekencang kuda dan kijang. Manusia tidak bisa terbang layaknya burung. Disamping itu pula, ketahanan diri manusia untuk tidak minum tidak se-lama dibandingkan dengan ketahanan diri unta, karena unta mampu bertahan tanpa minum air selama dua bulan berturut-turut, apabila makanan yang dimakannya segar dan berair. Namun apabila sebaliknya, makanan yang dimakannya itu kering, maka ia mampu bertahan selama dua minggu berturut-turut saja, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Kalau di atas telah dipaparkan banyak kelebihan yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala kepada binatang-binatang tersebut yang itu tidak dimiliki oleh manusia, namun apakah hal yang demikian manusia dianggap sebagai hewan yang lemah? Walaupun manusia tidak dapat lari secepat kuda dan kijang, tidak dapat terbang layaknya burung, tidak mampu berkelana di malam hari layaknya kelelawar, tidak mampu mempertahankan diri dari tidak minum layaknya unta, tidak diberikan penciuman tajam layaknya anjing, tidak bisa berenang sehebat ikan, tidak punya taring layaknya singa, dan tidak seganas buaya. Manusia juga dianugerahi telinga tetapi tidak mampu mendengar suara binatang sekecil semut. Manusia diberi mata, namun pandangannya tak setajam pandangan elang yang bahkan berkilo-kilo meter mampu mengintai mangsanya.
Lantas apa hikmah dan rahasia yang perlu ditelusuri dibalik itu semua? Inilah sebenarnya anugerah dan rahmat Allah Subhanahu Wata’ala yang Ia berikan kepada binatang-binatang tersebut. Tentu dibalik rahasia tersebut mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih mulia dan lebih canggih dari apa yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala kepada manusia ketimbang makhluk-makhluk-Nya yang lain.
Dari sini timbul sebuah pertanyaan di dalam benak kita, apakah sesuatu yang mulia dan canggih yang dimiliki oleh manusia itu? Dari sekian banyak kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh binatang-binatang tadi, namun ada yang tidak mereka miliki, yaitu AKAL.
Yang tadinya manusia mempunyai banyak kekurangan dan keterbatasan, sekarang terbantahkan sudah, kini mereka menjadi makhluk “super power” yang dapat berbuat sewenangnya. Dengan kekuatan akal inilah manusia mampu menciptakan teknologi yang jauh lebih bermanfaat dan bahkan lebih berbahaya daripada binatang-binatang buas.
Manusia dapat menciptakan senjata pemusnah masal: bom, granat, nuklir, pistol dan lain-lain. Manusia dapat menciptakan teleskop dan mikroskop yang dapat melihat benda-benda yang jauh menjadi dekat seperti bulan dan bintang maupun partikel yang kecil sekalipun. Manusia dapat menciptakan peralatan yang dapat menyelam sampai ke dasar lautan. Manusia dapat menciptakan mobil dan motor yang kecepatan larinya lebih kencang daripada kuda dan kijang. Dengan dikarunia akal, manusia mampu menciptakan pesawat yang dapat mendarat di bulan dan domain terbangnya jauh lebih tinggi daripada burung.
‘The Power of Reason’
Kendati demikian, akal juga mempunyai kekurangan dan keterbatasan untuk mengetahui segala sesuatu. Secara tidak langsung, objektif daripada artikel ini adalah untuk menyingkap makna yang tersirat dibalik kata “akal”, kemudian meneliti adakah kesamaan maksud antara akal dengan tali pengikat unta.
Antara akal dan tali pengikat unta pada dasarnya mempunyai hubungan yang sangat erat. Barangkali hal yang demikian tidak banyak diketahui, yang bahkan kata akal dianggap tidak mempunyai worldview (pandangan hidup) sama sekali. Pada hakikatnya, kata akal (dari kata ‘aqala) telah digunakan oleh orang Arab dahulu, setidaknya mereka gunakan kata tersebut ketika hendak mengikat unta mereka.
Ungkapan tersebut adalah, عقلت البعير atau عقلت الإبل [aku telah mengikat untaku], (lihat Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, 1990, v. 4, 3046-7).
Kata ‘aqala inilah mereka ekspresikan dengan tali untuk digunakan sebagai alat pengikat unta mereka.
Berkenaan dengan tali tadi, lalu apa kaitannya dengan akal dan apa pula fungsinya?
Sejatinya, akal sama seperti tali. Kata ‘aqala ketika dialamatkan kepada hewan yang tak dapat berfikir, ini bermaksud untuk mengikat lehernya ataupun kakinya supaya ia tidak dapat lari dan lepas berkeliaran. Berbeda halnya dengan manusia, disebabkan manusia dianugerahi akal untuk berfikir, lalu fungsi akal yang ditujukan kepadanya adalah untuk mengikat pola pikirannya agar tidak lari kemana-mana alias berpikiran bebas. Akal merupakan pengontrol pikiran manusia agar tidak menyimpang dari kebenaran dan menolak unsur-unsur yang menjerumuskan kepada kesesatan. Akal juga merupakan pengikat pikiran manusia agar tidak memikirkan sesuatu yang di luar jangkauan pengetahuan dan nalarnya.
Dari pemaparan singkat di atas dapat kita rumuskan bahwa bahasa Arab, terlebih lagi al-Qur’an ketika menggunakan kata untuk menunjukkan sesuatu [dalam hal ini akal], tanpa kita sadari dibalik itu ia mustahil tidak mengandung pesan sama sekali. Ini mengindikasikan bahwa betapa saintifiknya perbendaharaan yang dimiliki oleh bahasa Arab. Disamping itu pula, terdapat pelajaran untuk kita ketahui bahwa hakikat manusia dengan hewan [binatang] tentu tidaklah sama dan penggunaan yang dialamatkan kepada keduanya pun berbeda. Inilah sebenarnya peran akal, yang apabila dialamatkan kepada hewan [unta], bertujuan untuk mengikat lehernya atau kakinya supaya ia tidak lari dan lepas berkeliaran.
Kendatipun sama-sama mengikat, namun manusia yang sering dijuluki ‘hewan yang dapat berfikir’ tentu fungsi akalnya berbeda dengan hewan, yaitu sebagai pengikat dan pengontrol pola pikirannya, agar pikiran tersebut tidak keluar dari wilayah-wilayah yang bukan semestinya. Wallahu A’lam Bishshawab.*
Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana di Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation – Universiti Teknologi Malaysia (CASIS – UTM)