Oleh: Akhmad Rofii Dimyati
DI SETIAP menjelang tibanya hari Natal selalu saja kita ‘diganggu’ dengan kata sakti ‘toleransi’. Seakan kalau tidak mengucap “Selamat hari Natal” atau memakai atribut Natal, kita tidak toleransi terhadap penganut agama lain yang dalam hal ini kaum Kristiani. Ini memang fenomena kekinian kita.
Sebagai orang Islam, boleh kita ajukan pertanyaan minimal kepada diri kita sendiri, apakah benar kita tidak toleran? Atau kita hanya dipaksa fenomena kekinian itu demikian? Jangan-jangan kita tidak terjebak pada pemaksaan simbolis belaka?
Bisa jadi fenomena kekinian itu sendiri yang tidak toleran kepada kita, seakan-akan tidak ingin membiarkan kita untuk tidak mengikuti agenda-agendanya. Di sinilah bisa jadi ada ketidaktoleranan dalam menyerukan toleransi. Bagaimana tidak, fenomena itu dihembuskan terus menerus oleh media. Sebab media kini menjadi hakim. Padahal media itu sekedar memberi informasi (khabar), yang dalam khazanah Islam bisa jadi benar atau salah (yahtamil al-sidq wa al-kizb).
Tulisan ini tidak akan membincangkan toleransi hari Natal secara spesifik, namun akan jauh menelisik makna toleransi, terutama dalam konteks keilmuan Islam.
Kita tahu bahwa Islam tidak saja di zaman ini (zaman kekinian) saja bertemu, bersanding bahkan berbenturan dengan agama-agama yang ada. Din kita sudah matang dalam soal bergesekan dengan agama lain. Hanya saja umat Islam barangkali ada yang masih kaku, malu, bahkan enggan untuk bertoleransi.
Mari kita cari dahulu makna semantik kata toleran ini. Dalam sebuah kamus disebutkan, “to tolerate is to allow the existence, presence, practice, or act of without prohobotion or hindrance; permit” (lihat: http://www.dictionary.reference.com). Bisa diartikan bahwa toleransi ini itu adalah membiarkan suatu eksistensi, kehadirannya, prakteknya, atau suatu sikap tanpa pelarangan atau mencegah; yang arti lainnya adalah mengizinkan.
Berarti dengan demikian toleran itu membiarkan, mengizinkan, tanpa mencegah, melarang orang lain melalukan keyakinannya. Sebatas itu batas demarkasinya sudah toleran sejati.
Sebab kalau kurang atau lebih, maka toleran akan berubah makna. Misalkan kita buat negatif saja kata toleran, maka menjadi “intoleran”, yang artinya tidak membiarkan eksistensi agama tertentu. Dengan makna demikian, berarti tidak mengizinkan orang lain mengamalkan keyakinannya di suatu tempat tertentu.
Bisa kita contohkan dengan kasus yang menimpa umat Islam di Rohingya yang diburu, dibakar hidup-hidup, perempuannya diperkosa, bahkan di depan umum menjadi tontonan dianiaya, justru merupakan bentuk intoleransi penganut agama Budha terhadap umat Islam di Myanmar. Faktanya, media massa membisu dengan hal ini. Di mana makna toleran?
Sementara itu, jika kita melebihi batas-batas toleransi, maka bukan toleransi lagi namanya tapi “over toleransi”. Itu kita bisa artikan bahwa ketika kita sudah membiarkan, mengizinkan, membolehkan agama lain nyaman dengan melaksanakan keyakinannya tanpa kita kejar-kejar. Namun justru ingin melebih dari itu semua bisa over acting toleransi. Sebut saja gerakan-gerakan ingin menyamakan agama-agama yang ada sebagaimana gerakan pluralisme agama.
Apakah sesederhana kita tidak mengucapkan “Selamat Natal” lalu kita tidak toleransi? Tentu saja tidak demikian. Bisa jadi dengan tidak mengucapkannya adalah merupakan kecerdasan kita mengamati fenomena kekinian bahwa ada intoleransi terhadap ketoleranan kita.
Kita sudah tahu demarkasi toleransi, sebagaimana di atas, sembari kita cerdas terhadap ketidaktoleranan informasi yang sangat dipaksakan ke tengah-tengah kita. Karena kita tahu posisi kita saat ini, di mana kita tidak ingin over acting dalam toleransi (over tolerance), maka batas-batas toleransi sangat penting.
Islamisasi dan Toleransi
Ketika Islam sudah menyebar luas di semenanjung Arab dan sekitarnya, maka mulai berjumpa dengan ilmu-ilmu ‘baru’ baginya, walaupun bukan berarti tidak ada dalam Islam sebelumnya. Apa yang terjadi, maka interaksi, benturan, gesekan dengan ilmu-ilmu yang ada mampu menyingkap banyak tabir yang asalnya semu menjadi jelas, yang asalnya tertutup menjadi terbuka, yang asalnya simpul-simpul belaka menjadi sambungan-sambungan pengetahuan, dan seterusnya.
Dalam konteks ini, toleransi keilmuan Islam mengikut sifat ilmu itu sendiri yang pada dasarnya mencari kebenaran, mengurai objek-objek ilmu agar terurai yang mana yang salah dan mana yang benar. Sebab, burhan yang dimiliki Islam, akan mendalami setiap yang bersentuhan dan berhadapan dengannya.
Tentu saja Islam datang dengan membawa cahaya ilmu guna menghilangkan kebodohan. Maka cahaya itu untuk menyinari kegelapan, terutama kegelapan keilmuan. Jika kita sudah ada dengan cahaya sebagai penerangnya, lalu tugas kita memberi penerangan kepada kegelapan pengetahuan manusia. Yang pasti di kegelapan-kegelapan itu masih ada banyak yang berharga dan bermutu.
Misalkan, di dunia Arab jahiliyah tidak semua dinafikan secara membabi buta oleh Islam, Islam tidak datang kemudian segala sesuatu dibasmi, tidak. Yang berharga tetap dipertahankan dan kalau perlu diadaptasi atau dimodifikasi. Itulah yang namanya ‘Islamisasi’.
Tentu saja ‘islamisasi’ sangat erat kaitannya dengan toleransi. Sebab itu Islam tidak membabat habis segala sesuatu yang ada di luar kepercayaan selain Islam, melainkan ada proses adaptasi, dengan bahasa ideologisnya “dakwah”. Proses adaptasi ini kental dengan mengenali kebenaran segala sesuatu (haqaiq al-ashya’). Sebab, dengan nur Islam (‘ilm) yang kalau kita ibaratkan lentera tadi, mampu menerangi di kegelapan itu mana batu permata, batu gunung, batu pasir, batu sungai atau batu-batu yang tak berharga lainnya. Usaha menjelaskan sejelas-jelasnya tentang kebenaran fakta itulah sebenarnya juga termasuk toleransi.
Filsafat misalnya, ketika Islam berhadapan dengan refrensi filsafat maka praktik toleransi ini akan kelihatan. Penerangan cahaya Islam lagi-lagi perlu kita apresiasi. Tidak lantas kemudian referensi yang datang dari luar kita bakar, kita musnahkan, kita negasikan. Sebab jika itu yang terjadi, boleh intoleran itu disematkan kepada Islam. Namun faktanya ‘islamisasi’lah yang terjadi, penyinaran dengan cahaya Isalm sehingga cahaya-cahayanya di kemudian hari diserap sampai ke Eropa, bahkan Indonesia di daerah Timur jauh.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Al-Khawarizmi Menjadikan Hitungan lebih Sederhana
Saking toleransinya, telah terjadi penyelamatan yang luar biasa atas karya-karya Yunani oleh ulama-ulama sebagai referensi penting dalam keilmuan. Karya-karya Yunani kuno diedit ulang, dijelaskan kembali, ditafsir dengan bahasa yang lebih dipahami, ditulis dalam uraian-uraian panjang, dibetulkan yang salah-salah, ditambahin yang kurang-kurang, disistematiskan dengan baik, dan yang terpenting tidak pernah berbohong bahwa itu diambil dari karya-karya Yunani Kuno. Itu kebiasaan toleran yang bijak oleh kalangan ilmuan Islam dahulu.
Jadi, toleransi keilmuan Islam sebenarnya ‘islamisasi’ itu sendiri. Sementara ‘islamisasi’ adalah adaptasi keilmuan Islam dengan ilmu-ilmu yang seakan asing di masanya. Adaptasi ini sebetulnya proses mikanis pemikiran Islam dalam memperkaya keilmuan. Sebab, dalam Islam banyak sekali konsep-konsep general yang kala itu perlu diungkap.
Contoh-contoh buah toleransi keilmuan itu adalah seperti Al-Khawarizmi, Bapak Matematika yang dengan gagasan Aljabarnya telah sangat mempengaruhi perkembangan ilmu matematika. Boleh dikatakan, tanpa pemikiran Al-Khawarizmi, tanpa sumbangan angka-angka Arab, maka sistem penulisan dalam matematika masih gelap sampai sekarang. Sebab sebelum memakai angka-angka Arab, dunia Barat bersandar kepada sistem angka Romawi.
Bilangan 3838, misalnya, jika ditulis dengan sistem desimal atau angka Arab, hanya membutuhkan empat angka. Namun, jika ditulis dengan angka Romawi, maka dibutuhkan tiga belas angka, yaitu MMMDCCCXLVIII. Demikian juga ketika dalam bentuk perkalian. 34 kali 35 akan lebih mudah mengalikannya jika dibanding dengan XXXIV dan XXXV. Terbayangkah oleh kita betapa rumitnya dan bertele-telenya sistem penulisan angka Romawi?*/bersambung sumbangan keilmuwan Islam
Penulis kandidat doktor di bidang filsafat Islam di Suleyman Demirel Universitesi, Isparta, Turkiye