Oleh: Akhmad Rofii Dimyati
Sambungan artikel PERTAMA
Intoleransi Barat
DENGAN penggunaan angka-angka Romawi, maka akan banyak memakan waktu dan tenaga untuk mengoperasikan sistem hitungan.
Seandainya dunia Barat masih berkutat dengan menggunakan angka Romawi, tentunya mereka masih gelap gulita sampai sekarang. Hal itu karena angka Romawi tidak memiliki kesederhanaan.
Untung saja ada sumbangan angka-angka Arab, disebabkan sumbangan pemikiran Al-Khawarizmi, maka pengerjaan hitungan yang rumit pun menjadi lebih sederhana dan mudah.
Al-Khawarizmi menulis karyanya dalam bidang matematika tersebut tentu saja berakar dari motivasi agama untuk menyelesaikan persoalan hukum warisan dan hukum jual-beli.

Contoh lain, pemikir Muslim yang sangat berperan dalam toleransi ilmu pengetahuan. Ibn Sina salah satu yang penting dalam ilmu pengetahuan. Ketika baru berusia 21 tahun, beliau telah menulis al-Hasil wa al-Mahsul yang terdiri dari 20 jilid. Selain itu, beliau juga telah menulis al-Shifa(Penyembuhan), 18 jilid; al-Qanun fi al-Tibb (Kaidah-Kaidah dalam Kedokteran), 14 jilid; Al-Insaf (Pertimbangan), 20 jilid; al-Najat (Penyelamatan), 3 jilid; dan Lisan al-’Arab(Bahasa Arab), 10 jilid. Karyanya al-Qanun fi al-Tibb telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di Toledo Spanyol pada abad ke-12. Bukual-Qanun fi al-Tibbdi jadikan buku teks rujukan utama di universitas-universitas Eropa sampai abad ke-17. Disebabkan kehebatan Ibn Sina dalam bidang kedokteran, maka para sarjana Kristen mengakui dan kagum dengan Ibn Sina. Seorang pendeta Kristen, G.C. Anawati, menyatakan: “Sebelum meninggal, ia (Ibnu Sina) telah mengarang sejumlah kurang lebih 276 karya. Ini meliputi berbagai subjek ilmu pengetahuan seperti filsafat, kedokteran, geometri, astronomi, musik, syair, teologi, politik, matematika, fisika, kimia, sastra, kosmologi dan sebagainya.”
Karena ‘the power of cahaya’ keilmuan Islam itulah, maka sebenarnya pada zaman kegemilangan kaum Muslimin, orang-orang Barat meniru kemajuan yang telah diraih oleh orang-orang Islam.
Jadi, kegemilangan Barat saat ini tidak terlepas daripada sumbangan pemikiran kaum Muslimin pada saat itu. Hal ini telah diakui oleh para sarjana Barat. Selain itu, para ulama kita dahulu menguasai beragam ilmu.
Fakhruddin al-Razi (1149-1210), misalnya, menguasai al-Qur’an, al-Hadith, tafsir, fiqh, usul fiqh, sastra arab, perbandingan agama, logika, matematika, fisika, dan kedokteran. Bukan hanya al-Qur’an dan al-Hadits yang dihafal, bahkan beberapa buku yang sangat penting dalam bidang usul fikih seperti al-Shamil fi Usul al-Din, karya Imam al-Haramain al-Juwayni, al-Mu‘tamad karya Abu al-Husain al-Basri dan al-Mustasfa karya al-Ghazali, telah dihafal oleh Fakhruddin al-Razi.
Semua keilmuan itu, biarpun jauh dari kisaran pusatnya, yaitu wahyu, namun semua itu dalam rangka mengembangkan dan melaksakan seruan agar menuntut ilmu dan menghilangkan kebodohan. Semua pengetahuan selalu tersambung dengan Islam walaupun terlihat menjauh dari Islam. Baru kemudian di masa-masa berikutnya, di masa keilmuan itu beralih ke Barat, tiba-tiba banyak sekali keilmuan itu terputus dari pusatnya.
Melalui westernisasi secara sistematis, satu-satu ilmu dipindah ke Barat. Ilmu-ilmu yang asalnya kait-mengait satu dengan yang lainnya tiba-tiba muncul di Barat dengan terputus-putus. Munculnya sains dan teknologi modern yang begitu hingar bingar itu membutakan mata umat manusia. Seakan sains dan teknologi menjadi penyelamat manusia pembawa kesejahteraan. Padahal sains dan teknologi hanya satu aspek saja keilmuan yang diwariskan dari tradisi keilmuan Islam. Di mana di ranah Islam keilmuan tidak saling berhadap-hadapan, saling bertentang antar satu dengan yang lain. Sementara di Barat ilmu menjadi musuh agama.
Begitu pula, proses westernisasi ilmu-ilmu itu berlangsung tidak jujur, kotor dan tentu saja tidak toleran. Sejak zaman Perang Salib hingga penjajahan negara-negara berpenduduk Islam di berbagai belahan dunia, orang-orang Barat gemar mencuri kitab-kitab orang Islam untuk dibawa ke negaranya masing-masing.
Banyak perpustakaan raksasa baik di Inggris, Amerika, Prancis, Jerman, Belanda, Rusia dan lain sebagainya yang menyimpan ribuan kitab-kitab penting para ulama dahulu yang masih tidak diizinkan diakses oleh orang-orang Islam sendiri. Mungkin itu bagian dari sikap yang intoleransi mereka.
Selain itu, tidak seperti ulama Islam yang terbiasa jujur menyebut sumber rujukan, misalnya ketika menyelamatkan karya-karya Yunani, para ulama menyebutkan nama Plato, Aristoteles dan lain sebagainya. Tidak demikian dengan orang-orang Barat. Mereka tidak pernah mau jujur bahwa yang mereka pelajari itu berasal dari Islam yang dibaratkan. Mereka jadikan kitab-kitab ulama yang penting-penting itu sebagai kurikulum pendidikan mereka. Lalu mereka menulis buku versi mereka tanpa merasa perlu menyebut dari mana mereka mempelajarinya. Ini sikap intoleransi lainnya dalam keilmuan Barat.
Begitulah yang terjadi, hingga mereka juga memproduksi keilmuan-keilmuan kontemporer yang penuh onak dan duri. Lalu kini Barat menjajakannya ke dunia Islam. Mereka mau mengajarkan keilmuan-keilmuan itu ke halayak umum Islam. Mereka mau mengajari toleransi keilmuan kepada Islam yang lebih dulu dewasa dalam urusan toleransi. Dengan teknologi, mereka mengatur dunia dengan arus informasi. Pengaturan imej baik dan buruk ada dicorong informasi yang dipegang mereka. Maka bukan kebenaran yang dicari tapi pembenaran yang diimijkam.
Imej yang paling mengerikan adalah Barat itu superior dan Islam itu inferior. Kaum Muslimin dipropagandakan dengan sangat buruk, mulai dari Muslim itu ‘teroris’, ekslusif, intoleran, terbelakang, anti kemajuan dan lain sebagainya. Semua itu adalah paket-paket yang dilemparkan orang Barat ke dunia Islam.
Propaganda-propaganda itu terjadi hampir sama di seluruh tempat, di seluruh negara berpenduduk Muslim. Paket-paket keburukan selalu diciptakan di sana. Seolah ada pesan, di mana ada negara berpenduduk Muslim, di sana kekacauan musti dibuat.
***
Di tengah-tengah intoleransi keilmuan itu, kini kita masih dipaksa belajar toleransi versi Barat. Versi mereka, toleransi itu penyamaan agama-gama (pluralisme agama), kawin beda agama, pengucapan hari raya bepada agama, pemakaian simbol-simbol agama mereka pada penduduk Muslim. Sebenarnya, yang demikian itu over toleransi atau over acting dalam bertoleransi.
Apa saja yang over acting itu pasti negatif. Perbuatan over biasanya menerabas batas-batas kewajaran. Banyak rambu-rambu yang dinafikan demi tercapainya tujuan over acting itu. Contohnya, penyamaan agama-agama harus mendekonstruksi ayat-ayat al-Quran agar bisa mendapatkan dalil-dalilnya. Konsep-konsep yang sudah pasti dinafikan. Perbedaan mukmin dan kafir disamarkan, dan lain sebagainya. Padahal, jika dipikir lebih jernih, justru dengan adanya perbedaan itulah toleransi muncul. Kalau disamakan, apa yang bisa kita toleransikan?.*
Penulis kandidat doktor di bidang filsafat Islam di Suleyman Demirel Universitesi, Isparta, Turkiye