Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Ilham Kadir
Keempat, sains tidak sepenuhnya objektif, netral, dan bebas nilai seperti yang diasumsikan kebanyakan orang (mainstream).
Teori-teori imparsial diasumsikan terbukti oleh fakta-fakta imparsial yang teramati, namun, beberapa perintis metode eksperimental, seperti Claude Bernard mengakui bahwa mereka dapat menafsirkan fakta-fakta hanya dengan bantuan ide-ide yang telah ada sebelumnya (preconceived ideas) yang tanpanya fakta-fakta itu tetap menjadi fakta-fakta kasar yang tidak memiliki makna dan nilai ilmiah, (Rene Guenon, The Crisis of Modern World, edisi ke-4 [Ghen, New York: Sophia Perrenis et Universalis, 1996], halaman 68).
Subjektifitas, agenda tersembunyi, dan niat dapat menyelusup dalam proses ‘observasi’ metode ilmiah dan terutama penafsiran atas hasil-hasilnya, (Paul Feyerband, Against Method, [London: Verso, 1984], halaman 339).
Kajian dan penelitian yang lebih mendalam misalnya atas teori evolusi tentang “mereka yang terlahir sebagai homoseks” akan menyingkap fakta tersebut. Perusahan-perusahan raksasa multinasional seperti industri farmasi membiyai riset yang melibatkan sains ‘gadungan’ alias ‘bogus science’ guna melayani kepentingan mereka untuk meraup laba. Lebih dari itu, bidang fisika kuantum dengan meyakinkan telah memperlihatkan.
Bahwa pengamat partikel-partikel subatomik pada kenyatannya tidak netral, tetapi memengaruhi ‘apa yang diamati’. Perbedaan metodologi yang digunakan masing-masing ilmuan terbukti mengubah jalan yang ditempuh oleh partikel-partikel subatomik.
Kelima, keterbatasan lain metode ilmiah adalah dalam hal asumsi bahwa setiap hipotesis atau teori dapat dibuktikan oleh fakta-fakta yang teramati, padahal, kenyataannya, fakta-fakta yang sama dapat selalu dijelaskan dengan sama baiknya oleh beberapa teori yang berbeda. (Rene Guenon., Op. Cit., halaman 68).
Jarang sekali seluruh hipotesis yang potensial mendapat pengujian. Di sini lagi-lagi agenda terselubung dan motif tersembunyi kerap kali turut bermain. Seperti teori-teori alternatif yang tidak diuji dan dikesampingkan demi sebuah teori yang lebih populer.
Keenam, indra kerap menipu kita, melihat tidak selalu berarti harus memercayai. Diketahui bahwa fenomena seperti ilusi atau deviasi optik dapat menipu penglihatan kita. Rene Descartes (1596-1650) yang menempatkan setiap kepercayaan dan subtansi berhadapan dengan apa yang dikenal sebagai ‘keraguan radikal’, mengakui fakta ini, dan bahkan mengatakan bahwa seluruh hidupnya tidak lebih dari suatu mimpi besar. (Rene Descartes, Meditations on the First Philosophy, Cambridge, 1986).
Dengan demikian, dari perspektif ini kita bahkan tidak dapat 100% pasti bahwa objek-objek yang kita amati, seperti pot bunga di atas meja, benar-benar ada. Lebih dari itu, ada relativitas yang menyertai indra kita, seperti dibuktikan oleh fakta bahwa banyak hewan seperti anjing dan kelelawar memiliki indra lebih kuat yang tak mampu ditangkap oleh persepsi manusia. Juga diketahui bahwa persepsi manusia hanya dapat menangkap porsi yang sangat terbatas dari spektrum elektromagnetis. Di sini, lagi-lagi kita harus ingat bahwa semata-mata karena tidak dapat mendengar, melihat, atau mencium sesuatu, tidaklah berarti sesuatu itu tidak ada.
Ketujuh, sains sampai hari ini belum dapat menyediakan jawaban bagi problem-problem etika dan moral yang begitu kompleks muncul di dunia modern.
Hal ini mungkin tanpak jelas, namun ada cukup banyak orang yang dengan keyakinan buta-nya pada sains dan kemajuan bagitu luas, sehingga membawa mereka pada kesimpulan bahwa mereka akhirnya akan mengatasi segala macam problem yang dihadapi umat manusia.
Ide tentang kemajuan yang berkesinambungan berdasarkan sains ini berakar pada Zaman Pencerahan dan Revolusi Prancis pada abad ke-18. Namun, kebanyakan problem etika dan moral berada di luar wilayah sains.
Selain itu, fakta bahwa problematika moral, etika, dan sosial lainnya belum bisa dikurangi, dan nyatanya meningkat pada era industrialisasi dan informasi ini, sains dan teknologi menjadi bukti yang mencolok bahwa problematika semacam itu belum dapat teratasi dengan baik, (Rujuk misalnya, Saiyad Fareed Ahmad & Saiyad Salahuddin Ahmad, God, Islam, and the Skeptic Mind: A Study on Faith, Religious Diversity, Ethics, and the Problem of Evil, Kuala Lumpur: Blue Nile Publishing, 2004)).
Dengan mengkritik sains modern, tentu saja tidak bermaksud untuk mengabaikan sama skali metode-metode ilmiah. Temuan-temuan sains telah memberikan nilai praktis yang sangat banyak. Namun, perlu juga diakui bahwa temuan-temuan semacam itu memiliki keterbatasan inheren dan tidak dapat dianggap bebas dari kekeliruan atau dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat diragukan.*
Peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) BAZNAS-DDII & Mahasiswa Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor