TOLERANSI yang dinisbahkan pada ajaran dan contoh konkret nabi seringkali disalahpahami. Dengan menggunakan bingkai “rahmatan lil-‘aalamiin” –oleh sebagian umat-, Islam disebut agama yang sangat toleran, damai dan penuh cinta. Sehingga, unsur-unsur lain yang mengandung ‘kekerasan’ seperti jihad qital dan yang semacamnya cendrung dipandang sebelah mata.
Pandangan demikan selalu mengedepankan cinta daripada murka; mengedepankan perdamaian daripada pertikaian; menonjolkan Islam yang sejuk daripadi Islam yang suka mengutuk; menampakkan Islam yang toleran daripada Islam yang intoleran.
Kisah nabi yang pulang dari Thaif ditawari Malaikat untuk menghancurkan penduduknya akibat perlakuan buruk mereka kepada nabi yang kemudian ditolak dengan halus oleh beliau bahkan menyertakan doa hidayah untuk mereka, seringkali diangkat menjadi dasar kelompok ini. Demikian kisah perilaku nabi yang memilih memaafkan dan perdamaian dalam Fathul Makkah juga dijadikan alasan.
Sepintas, pandangan ini begitu indah dan memukau, utamanya di zaman digital seperti sekarang ini dimana perdamaian menjadi cita-cita kebanyakan orang di dunia yang begitu mengglobal dan pluralistik.
Hanya saja, bila ditilik dari “sirah nabawiyah” (sejarah hidup nabi Muhammad), pandangan semacam itu akan terlihat jelas rapuhnya. Analisis berikut –berdasarkan sejarah nabi Muhammad- akan membongkar titik kerapuhannya.
Pertama, nabi Muhammad adalah nabi yang rahmatan lil-‘aalamiin, meski demikian dalam sejarahnya sekitar 80 lebih jihad fisik digulirkan pada masa beliau. Perang-perang besar seperti Badar, Uhud, Ahzab, Mu’tah dan Tabuk adalah sebagai bukti bahwa kekerasan –asal sesuai dengan syarat dan ketentuan syariat- sama sekali tidak keluar dari bingkai rahmatan lil-‘alamin dan bukan berarti tak toleran.
Kedua, perseteruan antara haq dan batil adalah bagian dari sunnatullah. Maka, orang yang mengambil sisi rahmat saja dalam berislam dan menafikan ajaran jihad dalam medan perang sama saja menafikan sunnatullah yang sudah tetap tersebut.
Bila atas nama toleransi dan “rahmatan lil-‘alamin” kemudian nabi mengurungkan pertempuran Badar dan pertempuran-pertempuran lain, maka umat Islam bisa habis di tangan para musuh.
Ketiga, ketika nabi dan umat Islam memiliki kekuatan mandiri –saat di Madinah- ada perbedaan mencolok dengan yang terjadi saat di Makkah. Ketika pasukan muslim kuat, beliau sama sekali tidak mau menerima tawaran bantuan orang kafir. Saat ada wanita muslimah dilecehkan di pasar oleh salah seorang Yahudi Bani Qainuqa hingga terjadi saling bunuh, nabi bertindak tegas dan memerangi Bani Qainuqa yang menyalahi Piagam Madinah. Pasca perang Khandaq, nabi pernah menyatakan kepada para sahabat, “Sekarang kita yang akan menyerang mereka!”
Pertanyaannya, apakan sikap nabi yang demikian itu disebut tidak toleran dan tak mencerminkan “rahmatan lil-‘aalamiin”? Tentu saja tidak. Perdamaian dan rahmat adalah bagian dari ruh Islam, namun pada kondisi tertentu untuk menjaganya diperlukan tindakan-tindakan tegas untuk menjaganya melalui bentrok fisik.
Keempat, toleransi dan rahmat bukan berarti mengaburkan nilai Islam di hadapan agama-agama yang lain. Bisa diteliti, sepanjang hidup nabi, isinya adalah mendakwahkan kebenaran Islam. Surat-surat yang dikirim pada tahun ketujuh kepada para raja dan penguasa di penjuru dunia, sebagai bukti bahwa kebenaran Islam tetap disuarakan. Tidak ada rendah diri, tak ada kecil hati atau minder dengan agama-agama lainnya. Bendera Islam tetap ditegakkan.
Kelima, nabi dalam menerapkan Islam itu selalu utuh, komprehensif dan tidak sepotong-sepotong. Tidak melulu diambil sisi lembut, namun saat sisi tegas diperlukan maka juga harus diambil. Maka ketika Mutsannah bin Haritsah –saat masih kafir- yang ingin membantu Rasulullah dengan kepentingan parsial duniawi, maka nabi berkomentar, “Sesungguhnya agama Allah azza wajalla tidak akan ditolong oleh-Nya, melainkan bagi orang yang memperhatikan seluruh aspeknya.”
Dengan demikian, pemahaman mengenai Islam –misalnya toleransi dan rahmatan lil-‘aalamiin– tidak bisa dipahami sepotong-sepotong tanpa memperhatikan kondisi dan keadaan yang sedang berlangsung. Jika, umt sedang berjuang di medan tempur, kemudian teriak toleransi dan perdamaian, maka itu tidak relevan.
Kasus terkini misalnya, mengedepankan toleransi dengan melakukan diplomasi dengan Yahudi di tengah penderitaan yang dialami rakyat Palestina yang dijajah, maka toleransi semacam ini bukan pada tempatnya dan bertentangan dengan toleransi dan rahmatan lil-‘aalamiin.
Oleh karena itu, umat Islam seyogyanya lebih berhati-hati dalam memahami toleransi dan rahmatan lil-‘aalamiin. Dengan memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah secara tepat berikut memperhatikan secara saksama petunjuk nabi dalam sirahnya, besar kemungkinan tidak terjebak dalam baju toleransi palsu yang justru menguntungkan pihak-pihak yang benci dan memusuhi Islam.*/Mahmud Budi Setiawan