Hidayatullah.com—Anthropologist dan dosen di New York University Ismail Fajrie Alatas mengatakan bangsa Indonesia tidak bisa keluar dari identitas. Adanya stigma dalam politik identitas, sebagaimana banyak dibicarakan akhir-akhir ini, menurutnya adalah problem dari asumsi-asumsi filsafat liberal atau filsafat politik liberal.
Ia mengutik Jurgan Habermas (sosiolog kawakan dari universitas Frankfurt, Jerman), katanya ada ranah publik yang seolah-olah seseorang bisa masuk atau menanggalkan itu semua pertalian primordial kita. Padahal menurut Fajrie, hal itu adalah sesuatu yang mustahil.
“It’s wishful thinking menurut saya,” ujar Fajrie Alatas saat diwawancarai oleh Wakil Ketua DPR RI Fadhli Zon di channel Youtube-nya dengan judul “Ismail Fajrie Alatas, Pakar Sejarah Islam yang Jadi Profesor di New York University”.
Suami mantan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany ini mengatakan, kultur itu adalah sesuatu yang bisa dimasuki dan bisa keluar. Bahwa kita itu bisa masuk dan keluar dari sebuah kultur dan dari sebuah identitas, yang disebutnya “something that you can exit or enter”.
“Kita nggak bisa keluar dari dari kultur (identitas, red). Oke saya kalau misalnya di rumah sebagai orang Jawa atau orang Arab atau orang Padang. Saya menggunakan kultur saya tapi pada saat saya masuk di gedung parlemen sebagai anggota dewan saya bisa meninggalkan kultur itu, termasuk bahasa yang kita gunakan dan lain-lain, semua adalah sesuatu yang membentuk kompleksitas bernama identitas,” ujar dosen Timur Tengah dan sejarah Islam ini.
Nah sekarang tinggal clash antara banyak beragam konflik identity politic saja. Terkadang yang saya suka pikirkan itu, misalnya kita di sini mengatakan bahwa nasionalisme kita berbasis kebangsaan. Tapi juga ada yang bilang tanah air buat bagi kita itu penting.
Pria yang lahir Semarang, 18 September 1983, mengaku sangat kagum dengan gagasan para pendiri Indische Partij (Partai Hindia), partai politik pertama di Hindia Belanda yang berdiri di Bandung pada 25 Desember 1912. Partai yang didirikan tiga tokoh bersejarah yang juga dikenal sebagai Tiga Serangkai (E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat) ini dinilai telah memiliki pemikiran yang sudah jauh, meski usahanya dianggap tidak menang.
“Mungkin satu contoh yang yang saya sangat terkagum ya dari sejarah Indonesia itu adalah imajinasi politik yang sebenarnya kalah dalam sejarah Indonesia adalah imajinasinya Indische Partij (partai politik pertama di Hindia Belanda),” ujarnya.
Mereka (Indische partij), kata Fajrie, mencoba berbicara sangat serius tentang tanah air, meskipun usahnya dianggap kurang berhasil karena kalah. “Di mana orang Indo, orang China, orang Arab, nggak masalah karena masalahnya ini bukan orang asli atau non-asli. Masalahnya adalah tanah air kalau kita memang mau berkomit terhadap tanah air ini,” ujar dia.
Menurut dia, Douwes Dekker, R.M Soewardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoen Koesoemo sudah sangat revolusioner kala itu, yang sudah berfikir luas, tentang kebangsaan. Jadi menurut dia, intinya, kita semua tidak bisa keluar dari identitas.
“Berarti buttom line nya adalah kita tidak bisa keluar sebenarnya dari politik identitas. Itu (stigma politik identitas, red) adalah satu satu konsep dari politik liberal kiri yang mengasumsikan dan mengandaikan bahwa kita bisa keluar dari itu. Bahwa kita bisa menanggalkan itu semua,” tambahnya.
Menurutnya, pemikiran seperti itu khas pemikiran filsuf Jerman Immanuel Kant. “Kalau kita baca karya-karya politik dan etik-nya Immanuel Kant, misalnya, dia mengasumsikan seperti itu bahwa kita bisa menjadi manusia rasional yang tidak terikat dari sekat-sekat itu.”
“Tapi kenyataannya itu wishfull thingking. Faktanya, kita berpikir melalui bahasa dan bahasa itu adalah cultural entanglement (jalinan budaya), “ tambah dia.*