Hidayatullah.com—Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia mendesak pemerintah merevisi atau mencabut pasal-pasal kontreversi di Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 (PP 28/2024) yang dikhawatirkan menyuburkan praktik seks bebas kalangan pelajar.
“Frasa “penyediaan alat kontrasepsi” yang tercantum dalam Pasal 103 ayat (3) huruf e PP 28/2024 sebagai bentuk pelayanan kesehatan berpotensi menimbulkan miskonsepsi dan multitafsir karena justru dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan terhadap perilaku seks bebas di kalangan anak sekolah dan remaja,” ujar Rita H. Soebagio, Ketua AILA dalam pernyataan resminya yang dikirim ke redaksi, Rabu (7/8/2024).
Pernyataan ini disampaikan menanggapi Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 (PP 28/2024) terkait pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 Jakarta, 6 Agustus 2024 No. 01/G.3/SEKJEN/AILA/VIII/2024 yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo.
PP 28/2024 yang ditandatangani tanggal 26 Juli 2024 lalu itu antara lain mengatur tentang kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja, pelayanan aborsi, dan konsepsi perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 103 ayat (3) huruf e,
Pasal 104 ayat (2) huruf b dan Penjelasannya, serta Pasal 129 ayat (2) huruf d.
Menurut AILA Indonesia banyak pasal di PP 28/2024 yang dinilai bermasalah dan rawan multitafsir. Misalnya dalam frasa “penyediaan alat kontrasepsi” yang tercantum dalam Pasal 103 ayat (3) huruf e, tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut tentang bentuk dan mekanisme penyediaannya.
Juga termasuk ketidakjelasan kategori “anak sekolah dan remaja” yang boleh mendapatkan pelayanan kontrasepsi.
AILA berhararap pencegahan dan penanganan perilaku seks bebas di kalangan usia sekolah dan remaja dapat diupayakan oleh pemerintah dengan memaksimalkan program yang selama ini telah berjalan dengan menggunakan pendekatan konsep “ketahanan remaja” yang dapat dikembangkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan berkeluarga bagi anak sekolah dan remaja.
“Bukan dengan membuat aturan yang justru berpotensi untuk melegalisasi dan menormalisasi “penyediaan alat kontrasepsi”, demikian tulir Rita.
Berkenaan dengan pelayanan aborsi pada korban “kekerasan seksual lainnya” yang tertera pada Pasal 129 ayat (2) huruf d pada PP 28/2024, AILA Indonesia mendesak agar frasa “kekerasan seksual lainnya” dihapus.
Alasannya; pertama, konsep kekerasaan seksual sendiri adalah konsep yang tidak sesuai dengan Pancasila dan norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia, karena asasnya adalah sexual consent (yakni persetujuan dalam perilaku seksual atau suka sama suka).
Kedua, bentuk-bentuk kekerasan seksual sangat beragam dan tidak memiliki definisi yang jelas sehingga dapat menimbulkan multitafsir terkait frasa “kekerasan seksual lainnya”.
Hal ini disebabkan Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sifatnya khusus (lex specialis) yang menjadi rujukan PP 28/2004 tersebut, tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan frasa
Menurut AILA frasa “kekerasan seksual lainnya” justru diatur dalam Penjelasan Pasal 463 ayat (2) KUHP yang sifatnya umum (lex generalis). “Kondisi tersebut tentunya akan mempersulit penegakkan hukum tindak pidana seksual dan berpotensi digunakan untuk menjustifikasi aborsi secara bebas.”
AILA Indonesia menilai bahwa frasa “perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab” yang tertera dalam Pasal 104 ayat (2) huruf b dan Penjelasannya, tidak jelas batasan dan tujuannya.
Selain itu, frasa tersebut juga bersifat kontraproduktif dengan sejumlah pasal dalam PP 28/2024, sehingga dikhawatirkan justru akan menyuburkan perilaku seks bebas karena memfasilitasi penyediaan alat kontrasepsi bagi anak sekolah dan remaja serta memberikan “kelonggaran” dalam pelayanan aborsi.
AILA Indonesia meyakini niat baik pemerintah dalam isu kesehatan bagi generasi muda Indonesia dan mengapresiasi Pasal 98 dalam PP 28/2024 yang berbunyi “upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama”.
“Namun agar tujuan tersebut dapat tercapai dan tidak terjadi penyimpangan dalam implementasinya, maka kami berharap pemerintah dapat merevisi atau mencabut Pasal 103 ayat (3) huruf e, Pasal 104 ayat (2) huruf b dan Penjelasannya, serta merevisi Pasal 129 ayat (2) huruf d pada PP 28/2024,” demikian bunyi pernyataannya.*