Hidayatullah.com – Identitas seorang buronan kasus pedofilia asal ‘Israel’ terungkap setelah 18 tahun bersembunyi dengan identitas palsu di Maroko.
Mordechai Peretz, yang melarikan diri dari ‘Israel’ pada tahun 2007 setelah divonis bersalah atas kasus pelecehan seksual terhadap dua anak di bawah umur, selama ini hidup dengan nama Morad Farhat, seorang anggota komunitas Yahudi di Agadir, Maroko.
Menurut situs berita Mako, Peretz memanfaatkan darah Maroko-nya untuk mendapatkan paspor dan melarikan diri dari pengadilan. Dia kemudian menetap di Agadir, berusaha menjauh dari perhatian publik sebelum akhirnya terkenal sebagai pejabat sertifikasi halal Yahudi atau kosher.
Jabatan itu membuat Peretz secara rutin melakukan perjalanan ke Paris, yang semakin memantapkan posisi dirinya dalam jaringan Yahudi.
Selama 18 tahun, masa lalu Peretz tetap tersembunyi, hingga sebuah foto yang menunjukkan dirinya bersama seorang gadis muda menimbulkan kecurigaan.
Korban ketiga, terdorong oleh munculnya foto tersebut, kemudian angkat bicara. Ia mengaku dirinya menjadi korban pecelehan Peretz saat masih kecil.
Pihak berwenang ‘Israel’ kini bekerja sama dengan badan-badan internasional untuk menemukan dan menangkap Peretz.
Morocco World News mengutip sejumlah sumber yang menyatakan bahwa Peretz telah memalsukan paspornya dengan bantuan seorang penjahat kelas kakap ‘Israel’.
Meskipun telah mengganti namanya, ia tetap berhubungan dengan keluarga dan teman-temannya dan bahkan membuat profil Facebook untuk memamerkan kehidupan barunya. “Dia tidak khawatir akan tertangkap… Dia pasti merasa sangat aman di Maroko,” kata seorang sumber seperti dikutip.
Undang-undang Kepulangan zionis, yang memberikan kewarganegaraan ‘Israel’ otomatis kepada setiap Yahudi di seluruh dunia, telah dieksploitasi oleh para tersangka dan terpidana pedofil yang mencari perlindungan dari dampak hukum di negara asal mereka.
Antara tahun 2014 dan 2020, setidaknya 60 pedofil asal Amerika yang diyakini melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak dilaporkan melarikan diri ke ‘Israel’, menurut Jewish Community Watch, sebuah organisasi yang melacak kasus-kasus semacam itu.*