Hidayatullah.com– Menteri Luar Negeri Suriah, hari Jumat (25/4/2025), mengibarkan bendera baru negaranya di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, sebagai “proklamasi eksistensi Suriah pasca rezim Bashar Assad”.
Asaad al-Shaibani mengibarkan bendera Suriah dengan tiga bintang (yang lama dua bintang), yang resmi dipakai setelah penggulingan Assad pada Desember tahun lalu.
Dia kemudian berbicara di Dewan Keamanan PBB, di mana dia mendesak masyarakat internasional mencabut sanksi-sanksi atas Suriah dan menekan Israel untuk keluar dari wilayah Suriah.
“Bendera ini bukan sekedar simbol, tetapi juga merupakan proklamasi dari sebuah eksistensi baru,” kata Asaad al-Shaibani dalam pidato perdana di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sejak rezim Bashar Assad digulingkan pasukan oposisi, Zionis Israel mengerahkan pasukan sebuah zona penyangga yang dikawal pasukan perdamaian PBB yang memisahkan pasukan Israel dan pasukan Suriah di wilayah Dataran Tinggi Golan (Golan Heights) sejak 1974.
“Kami memohon Dewan Keamanan PBB untuk melakukan tekanan atas Israel supaya menarik diri dari Suriah,” kata al-Shaibani.
Dia mengatakan bahwa serangan-serangan udara Israel atas wilayah Suriah “tidak hanya merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan kedaulatan Suriah, tetapi juga merupakan ancaman langsung terhadap stabilitas regional.”
“Kami sudah berulangkali mengutarakan komitmen kami bahwa Suriah tidak akan menimbulkan ancaman terhadap negara tetangga manapun atau negara manapun di dunia, termasuk Israel,” tegasnya.
Kunjungan Al-Shaibani ke PBB dilakukan setelah Gubernur Bank Sentral Suriah dan Menteri Keuangan Suriah menghadiri pertemuan musim semi di International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, untuk pertama kalinya sejak lebih dari 20 tahun.
Suara Al-Shaibani didukung oleh utusan khusus PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, yang memperingatkan bahwa tindakan Israel yang melanggar integritas teritorial Suriah mengancam proses transisi yang sedang berlangsung di negara itu.
Dia mengatakan pendekatan Israel yang “sangat konfrontatif” tidak dibenarkan karena adanya ruang untuk diplomasi.
Pedersen juga menyerukan supaya sanksi-sanksi terhadap Suriah untuk dilonggarkan.
Sebagian negara Eropa dan Barat sudah melonggarkan beberapa sanksi atas Suriah, sementara sebagian lain termasuk Amerika Serikat mengatakan akan menunggu sambil melihat bagaimana kinerja pemerintahan Suriah yang baru.
Pedersen juga menyerukan dicabut lnya sanksi yang dijatuhkan atas pemerintahan Suriah sebelumnya.Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, sanksi-sanksi ekonomi memukul keras Suriah, di mana lebih dari 90 persen rakyat sekarang hidup di bawah garis kemiskinan.
Pedersen mengatakan transisi negara tersebut dari tahun-tahun pemerintahan Assad berada pada “titik kritis yang sesungguhnya.”Banyak hal telah dicapai, tetapi “situasinya sangat rapuh,” katanya memperingatkan, sambil menyerukan supaya ada lebih banyak keterlibatan politik dan tindakan ekonomi.
Pedersen, yang belum lama ini berada di Damaskus, juga menyoroti tantangan yang dihadapi komunitas Syiah Alawiyah, yang merupakan basis pendukung Bashar Assad.
Awal Maret, komunitas yang banyak tinggal di kawasan pesisir Latakia itu mengalami serangan.*