Hidayatullah.com–Mengawali kiprah perdananya dalam mengembangkan intelektualisme para pelajar yang berada di Negara Yaman khususnya wilayah Hadhramaut, Departemen Pendidikan dan Dakwah DPW Hadramaut Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Yaman menggelar program diskusi Fikroh yang merupakan salah satu dari sekian program kerja kepengurusan DPW periode 2012-2013. Dengan semboyan “kanal penajam intelektual”.
Diskusi yang telah menjadi program tahunan ini mencoba menghidupkan kembali semangat intelektual serta menggali potensi-potensi yang dimiliki pelajar Indonesia di Yaman agar lebih peka dalam menyikapi permasalahan yang terjadi di zaman sekarang.
Zainal Fanani, selaku Ketua Departemen Pendidikan dan Dakwah DPW Hadramaut PPI Yaman periode 2012-2013 serta Abdul Basith selaku Koordinator Diskusi Fikroh mengaplikasikan gebrakan-gebrakan barunya dalam menghidupkan semangat para peserta dalam mengikuti diskusi.
Jika tahun-tahun sebelumnya acara diskusi dipusatkan di kantor DPW Hadramaut PPI Yaman, namun kali ini Departemen Pendidikan dan Dakwah mencoba mencari nuansa baru dengan mengadakan diskusi disetiap institusi yang ada di wilayah Hadramaut khususnya wilayah Tarim, di antaranya Universitas Al-Ahgaff, Perguruan Darul Musthofa, Pesantren Ribath Tarim dan Perguruan Darul Ghuroba’.
“Dengan begini diharapkan minat diskusan (peserta diskusi, red.) dalam menghadiri diskusi semakin besar,” ujar Zainal Fanani.
Acara diskusi perdana yang dihelat pada Rabu di auditorium Universitas Al-Ahgaff Yaman mendapat respon yang luar biasa dari para peminat kajian intelektual.
Dalam sambutannya, Pandi Yusron selaku ketua DPW Hadramaut PPI Yaman sangat mengapresiasi adanya terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan minat intelektual para pelajar.
“Semoga forum diskusi Fikroh DPW Hadramaut PPI Yaman ini mampu berkontribusi dalam dunia pendidikan,” lanjut Pandi Yusron.
Tampil dalam forum diskusi Fikroh perdana yang dihadiri sekitar 80 peserta diskusi, M. Fuad Mas’ud mahasiswa asal Kuningan yang kali ini mengangkat tema “Non-Muslim dan Kebebasan Beragama dalam Kacamata Islam”.
Dalam presentasinya, M. Fuad Mas’ud menjelaskan bahwa benih-benih toleransi itu sebenarnya sudah ada semenjak diutusnya Rasulullah. M. Fuad Mas’ud menandaskan argumentasinya pada surat Al-Baqarah ayat 256 yang menyatakan bahwa tidak ada pemaksaan dalam beragama. Menurutnya, ayat tersebut merupakan pondasi utama dalam Islam tentang kebebasan beragama. Selain menguraikan argumentasi dari Al-Quran dan As-Sunnah, ia juga mengutip statemen dari pakar sejarah Barat, Gustav Labon yang mengatakan, “Apa yang saya teliti dari ayat-ayat Al-Quran menunjukan, sesunggunya konsep toleransi yang diusung Muhammad terhadap orang Nasrani dan Yahudi sangatlah luar biasa. Dan secara spesifik, tidak ada agama lain yang melakukan hal tersebut.”
Acara diskusi semakin seru manakala pembanding yang diundang Departemen Pendidikan dan Dakwah, M. Mahrus Ali (Ketua Organisasi Perkumpulan Pelajar Madura) mengkritisi isi makalah yang disampaikan pemateri.
Dalam penyampaiannya, M. Mahrus Ali mengajak para audien untuk merubah stigma yang tengah berkembang saat ini, di mana banyak dari para pemikir dan intelektual saat ini yang menyerukan untuk “berislam secara toleran”.
M. Mahrus Ali menjelaskan bahwa penggunaan kata ini kurang tepat. Karena dengan begitu berarti yang menjadi hakim adalah toleransi. Akibatnya, maka atas nama toleransi segala sesuatu yang dinilai berlawanan dengan konsep toleransi akan ditolak.
Ia mencontohkan, larangan mendirikan gereja di tengah masyarakat Muslim, konsep jihad, hukuman mati bagi orang murtad, dan lain-lain. Masih menurut M. Mahrus Ali, bahasa yang tepat digunakan adalah “bertoleransi secara islami”. Dengan begitu, maka konsep toleransi tidak mungkin berbenturan dengan ajaran agama Islam.
Diskusi tidak hanya berhenti disitu. Berbagai pertanyaan, sanggahan yang masuk serta perdebatan antar peserta diskusi begitu ramai dengan mengeluarkan argumentasinya masing-masing, menandakan bahwa diskusi kali ini memang benar-benar hidup.
Tapi, lagi-lagi semua berjalan atas dasar perhitungan waktu. Karena waktu yang tak lagi memungkinkan, acara diskusi terpaksa harus diakhiri meskipun semangat para peserta diskusi begitu menggebu bahkan sebagian besar dari mereka menginginkan agar diskusi tetap dilanjutkan.
Rangkaian acara diskusi diakhiri tepat pukul 23.00 malam waktu Yaman. Hadir pula dalam acara tersebut para pelajar dari Universitas Al-Ahgaff, perwakilan pelajar Ribath Tarim dan Pesantren Darul Ghuroba’.*/Kiriman Muhammad Fadhlillah, mahasiswa jurusan syariah dan hukum Universitas Al-Ahgaff, Hadhramaut-Yaman