Hidayatullah.com— Pernyataan seorang muslim mustahil menjadi warga negara yang baik jika belum bisa mengamalkan syariat secara utuh dan seorang negarawan yang taat, haruslah mau mengedepankan aturan negara daripada aturan tuhan dinilai sama-sama memiliki pandangan yang keliru.
“Dalam pandangan Ahlus Sunnah, dimana saja kita hidup (di negara manapun) kita masih bisa hidup dengan ajaran dari Rasulullah Muhammad ﷺ. Apalagi di Negara Indonesia yang lahirnya akibat perjuangan dari para ulama dan santri. Maka keislaman dan kebangsaan di Indonesia bukanlah hal yang perlu lagi dipertetangkan hari ini,” demikian dinyatakan Ustad Kholili Hasib M.Ud sebagai pembicara utama dalam Kajian Khusus Bedah Buku: Keislaman dan Kebangsaan, Ahad, 26 Agustus 2018 yang diselenggarakan Ikatan Santri Alumni Aqdamul Ulama (IKASA) dan Aswaja Pandaan.
Menurutnya, banyak orang gagal paham mengenai hubungan agama dan Negara (NKRI) di Indonesia ahir-ahir ini.
Pada hakikatnya, Islam hadir telebih dahulu daripada kedaulatan negara (NKRI) kita. Dalam sejarah pendidikan Indonesia, kita lebih mengenal lembaga pesantren lebih dulu ada dibandingkan adanya sekolah umum.
“Islam lebih melekat dengan masyarakat daripada negara itu sendiri karena memang lahirnya kemerdekaan didahului dengan datangnya Islam. Namun hari ini ada upaya dengan sistematik dan untuk mempertentangkan Islam dan bangsa ini,” ujar pria yang akrab disapa Gus Kholili ini.
Indonesia dijajah oleh Belanda 350 tahun. Padahal, sebelum itu, bangsa Indonesia hidup dalam satu kesatuan. Hanya saja kedatangan para penjajah disertai dengan membawa penyebaran Kristen.
Politik divide et empera merekalah yang kini membuat negara menjadi terpecah dan tersekat-sekat, ujar pria yang juga peneliti di Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS)-Surabaya ini.
Ia mengutip pernyataan Imam al Ghazali yang mengatakan bahwa agama dan negara adalah ‘saudara kembar’. Maka menegakkan Islam harus juga dengan melalui negara. Namun Negara sebagai alat, ia bukanlah menjadi hal utama apalagi mengalahkan Islam.
“Oleh karena itu mestinya para ulama dan cendekiawan Muslim kita mengerti benar tentang dasar negara, beliau – beliau tidak lantas mengklaim diri sebagai orang yang paling Pancasilais, karena memang bentuk negara adalah perkara furu’.”
Gus Kholili juga mengatakan bahwa umat Islam hendaknya waspada atas beberapa hal yang membuat gagal paham antara keislaman dan kebangsaan ini.
Diantara beberapa bentuk gagal paham adalah:
Pertama, harus waspadai dengan jargon “Mengindonesiakan Islam” karena Istilah tersebut memiliki arti untuk mengubah Islam menjadi “Indonesia”. Padahal Islam yang universal lagi luas, kemudian akan dipersempit dan akan menimbulkan kesalah pahaman terhadap Islam.
Kedua, sebenarnya saat ini Indonesia sudah banyak menganut kebudayaan dan peradaban Barat. Pendidikan, ekonomi, dan lain-lain bahkan di Universitas Islam mengikut metodologi Barat. Sehingga, ‘mengindonesiakan Islam’ sama saja menjadi Islam setengah western (Barat). Dimana ideologi seperti liberalisme dan pluralisme dari Barat terus dipaksakan masuk kedalam Islam.
Ketiga, Indonesia merupakan nama negara sedangkan Islam nama agama wahyu dari Allah . Sebagai sebuah negara, ia berdiri atas kesepakatan (konsensus). Sedangan Islam lahir dari wahyu Allah. Oleh karena itu, sebuah kesepakatan manusia itu berubah sedangkan sebuah wahyu mustahil untuk diubah. Contohnya UUD 1945, sebagai dasar Negara Indonesia dapat diubah pasal-pasalnya melalui amandemen. Namun merubah rukun Islam tidaklah mungkin. Maka salah jika menempatkan perihal yang relative di atas yang absolut.
Acara yang dipandu Ustad Muhammad Saad S.pdi ini dimulai jam 19:00 – 20:00 WIB dihadiri puluhan santri*/kiriman Rizal Abduh