Hidayatullah.com–Sejak awal, Buya Hamka memang tidak menganggap lapangan politik sebagai habitat aslinya. Beliau lebih suka memandang dirinya sebagai seorang sastrawan atau budayawan.
Demikian ungkap ahli sejarah, Dr. Tiar Anwar Bachtiar dalam kajian “Napak Tilas Keteladanan Politik Buya Hamka” yang digelar di Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq, Cawang, Jakarta, Ahad (20/01/2019) lalu.
“Pada Pemilu 1955, yang dipilih oleh rakyat ada dua, yaitu anggota DPR RI dan Konstituante. Sejak awal, tugas Konstituante adalah menyusun dasar negara dan undang-undang dasar, sebab Pancasila dan UUD 1945 bentukan BPUPKI memang pada awalnya dianggap sebagai hasil sementara yang disusun hanya dalam waktu beberapa bulan saja,” ungkap Tiar.
“Banyak ulama yang tidak tertarik dengan politik praktis, Buya Hamka adalah salah satunya. Tapi saat diminta menjadi anggota Konstituante, beliau tidak menolak. Sebab tugas Konstituante ini adalah menyusun konstitusi yang sifatnya sangat fundamental bagi negeri ini,” ujar doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Indonesia (UI) ini.
Dalam kiprahnya di Konstituante, terlihat jelas bahwa Buya Hamka adalah ulama yang bukan hanya menguasai ilmu-ilmu agama, tapi juga memiliki wawasan sangat luas dalam persoalan-persoalan kenegaraan dan artikulatif dalam menyampaikan argumen-argumennya.
“Persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh Buya Hamka bukan hanya perdebatan filosofis seputar dasar negara, tapi juga persoalan militer, ekonomi dan sebagainya. Ini membuktikan bahwa beliau memang sangat menguasai permasalahan yang dihadapi oleh negara. Dan itu tidak mengherankan, karena beliau memiliki karir panjang sebagai seorang jurnalis,” tandas Tiar lagi.
Perihal dasar negara, Hamka memiliki pandangan yang sama seperti Mohammad Natsir dan para petinggi Partai Masyumi lainnya, yaitu bahwa dasar negara Indonesia semestinya adalah Islam, sedangkan Pancasila dapat diterima sebagai falsafah dasar bangsa.
“Pancasila hanya kalimat-kalimat singkat yang harus dijelaskan oleh sebuah sistem nilai. Di jaman Orde Baru, Soeharto pernah menggunakan tafsir tunggal Pancasila, yaitu P-4. Itulah yang banyak diprotes orang, yaitu tafsir tunggalnya. Bukan Pancasilanya,” ungkap tokoh muda Persis dari Garut ini.
Menurut Hamka, Pancasila dapat ditafsirkan dengan baik jika menggunakan Islam sebagai sistem nilai dasarnya.
“Kemanusiaan itu bisa ditafsirkan dengan kacamata Islam, sebagaimana bisa pula ditafsirkan dengan perspektif sekuler, liberal, atau komunis. Karena itu, Pancasila ditafsirkan sesuai penguasa. Hanya saja Buya Hamka berargumen bahwa Indonesia ini merdeka karena diperjuangkan oleh para pahlawan Muslim, dan mayoritas rakyatnya juga beragama Islam. Karena itu, jika Islam dijadikan sebagai dasar negara, maka hal itu memang sudah tepat sesuai sejarah dan kepribadian bangsa,” tandasnya.*