Hidayatullah.com–“Saya mengelola Sekolah Pemikiran Islam dengan tangan besi, darah dingin dan gelap mata,” ungkap Akmal Sjafril, salah seorang pengurus Sekolah Pemikiran Islam (SPI) pada agenda perdana untuk angkatan ke-10 yang dilaksanakan pada Rabu (28/08) malam.
Acara ini diikuti oleh 71 orang peserta dari berbagai macam usia dan latar belakang keilmuan.
Saat ditanya apa maksud dari kalimat tersebut, Akmal, yang saat ini sedang menempuh studi doktoral Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia (UI) menuturkan, “SPI ini beda dengan kajian-kajian keislaman lain. Kami menuntut kedisiplinan. Tidak ikut aturan, maka bisa di-DO. Model begini agak asing buat kalangan aktivis dakwah.”
Pada kesempatan malam itu, Akmal juga memaparkan keinginannya bersama pengurus SPI lainnya untuk menghidupkan kembali tradisi menuntut ilmu dalam Islam. Hal ini digambarkan jelas dalam peraturan dan tata tertib yang melarang peserta SPI untuk merekam, memotret, maupun menyalin file presentasi yang digunakan selama perkuliahan dan tidak diperkenankan untuk menyebarluaskan materi perkuliahan ke pihak lain atas nama SPI.
“Peraturan ini dibuat agar kita lebih menghargai ilmu,” lanjut Akmal.
Salah seorang peserta SPI, Desty Rosdianti, berharap dengan mengikuti SPI ini ia dapat berguru dengan para asatidz pengampunya. Selain itu, ia juga ingin meluruskan pemikirannya sendiri, mengingat dulu saat kuliah di jurusan Psikologi banyak bersinggungan dengan teori-teori Barat yang bertentangan dengan Islam.
“Tantangan aku nih, ilmu (yang didapat dari SPI) ini mau diamalkan seperti apa dan ke arah mana. Sejalan dengan perkuliahan di SPI ini kita ‘kan menemukan passion ke arah mana nantinya,” ujar tutor bimbingan konseling di salah satu lembaga bimbingan belajar di Jakarta ini.
Lain halnya dengan Winda Ariyanita, mahasiswi jurusan Akuntansi di Universitas Terbuka. Menurutnya, profesi sebagai akuntan banyak pertentangannya yang juga menyangkut keprofesionalitasan dalam bekerja. Saat ditanya lebih lanjut, ia berkata, “Ketika aku gak paham konsep Islam, aku enggak bisa terbebas dari rasa takutku. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku. Pasang surut keimanan. Masuk SPI aku niatkan untuk meluruskan cara pikirku yang mungkin sudah melenceng jauh.”
Pun ada peserta yang mengatakan bahwa SPI adalah wadah untuk belajar Islam dari dasarnya. “Dulu aku tuh sering melandaskan keputuskan yang enggak berdasarkan Islam, dan aku enggak sadar. Kenapa sih aku Islam dan lain sebagainya,” tutur Nadya Maghfira yang saat ini bekerja di Badr Interactive, Depok. Nadya yang dulunya berkuliah di jurusan Desain Produk di ITB ini mengatakan bahwa selama ini ia hanya belajar Islam karena kedua orangtuanya muslim.
“Aku enggak ingin saat di akhirat nanti ketika ditanya kenapa memilih Islam, aku enggak bisa jawab. Menurutku, penting banget belajar Islam secara fundamental,” tandasnya.
Agenda SPI yang terbagi ke dalam dua semester ini akan berlangsung hingga bulan Februari 2020. Setiap semesternya terdiri dari sepuluh pertemuan, sesuai silabus atau kurikulum materi yang dibuat saling berkaitan.*/Rabiana Nur Awalia