Hidayatullah.com—Di sekitar kita sering terjadi penyesatan makna pluralisme. Pluralisme kerap disesatkan maknanya menjadi bentuk toleransi, padahal konsep Tuhan dalam Islam sangat berbeda dengan konsep Tuhan di agama-agama lain.
“Pluralisme sering dianggap sebagai bentuk keberagaman agama. Bagi para pluralis, semua agama ingin menuju Tuhan yang sama meski caranya berbeda-beda sehingga tidak boleh ada agama yang mengklaim paling benar, maka itulah toleransi menurut mereka,” ujar Direktur PIMPIN Bandung Dr. Wendi Zarman, M.Si. pada Jum’at (05/03) lalu.
Pada pertemuan kelima Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung Angkatan 7 yang dilaksanakan secara daring itu, ia menyatakan penyangkalan terhadap masalah ini. “Bahkan konsep agamanya pun berbeda. Toleransi bukan berarti harus mengakui kebenaran agama lain,” tambah. Wendi sebelum menyampaikan materi tentang ‘Konsep Diin’.
Baca: Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta Dibuka, Kelas Pertama Bahas Ghazwul Fikri
Menurut Wendi, di dunia ini penafsiran tentang ‘agama’ amat beragam sehingga banyak yang menyimpulkan bahwa ‘agama’ tidak dapat didefinisikan. Ada pula yang menganggap ‘agama’ hanya sebagai organisasi belaka. “Sementara itu, Prof. Naquib Al Attas memperkenalkan makna diin (agama) dalam Islam bermula dari keberhutangan kepada Allah atas segala kebaikan yang diberikan-Nya dan dikembalikan dengan penyerahan diri yang sesuai syariat,” tuturnya.
Ini alasan mengapa manusia harus beragama. Selain Islam, tidak ada yang bisa menjelaskan hal seperti ini. Hall ini dibenarkan oleh Sekretaris SPI Bandung, Muhammad Bayu Pamungkas.
Menurutnya, hanya Islam-lah yang layak disebut diin karena ajarannya yang otentik. Setiap Muslim patuh pada perintah Allah untuk tidak mengubah-ubah isi kitabnya, Al Quran. “Berbeda dengan agama lain yang sudah kehilangan keotentikannya sebab terjadi banyak perubahan dalam kitab sucinya. Jelas, umat Islam tidak boleh membenarkan konsep ketuhanan agama lain, namun bukan berarti kita tidak menghargai mereka. Kita menghargai mereka dengan tidak memaksanya untuk memiliki keyakinan yang sama dengan kita,” jelas Bayu.
Baca: Sekolah Pemikiran Islam ITJ Kini Hadir di Bandung
Koordinator #IndonesiaTanpaJIL Chapter Bandung itu juga menceritakan pengalaman dengan temannya yang berbeda agama. “Ketika Natal, kaum Pluralis memaksa umat Islam untuk mengucapkan selamat natal dengan mengatasnamakan toleransi. Bahkan ada yang menyatakan harus hadir dalam agenda natalnya. Saya punya banyak teman yang beragama Kristen dan mereka bilang tidak butuh semua itu,” ungkap Bayu. “Mereka merasa natal adalah acara mereka, tidak butuh mengundang umat agama lain dan tidak butuh ucapan selamat natal dari agama lain. Kita masih bisa bertemu dan bercengkerama satu sama lain tanpa memandang agama yang kita anut,” tambahnya.
Seorang peserta SPI Bandung Angkatan 7 pun menyayangkan fenomena penyesatan makna pluralisme ini. “Ironis sekali, banyak yang tertipu oleh wacana kaum liberal yang menjual agamanya dengan menganggap agama selain Islam harus dibenarkan juga. Padahal Islam punya konsep agama sendiri,” ungkap Fery Krisnanto. “Islam mengajarkan bertoleransi dengan akhlak yang baik kepada umat agama lain tanpa perlu mengakui kebenaran agamanya tersebut,” pungkas Fery.*