Hidayatullah.com—Pasalnya, 56 calon peserta telah dinyatakan resmi menjadi peserta program kursus singkat Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta, setelah melalui rangkaian seleksi karya tulis yang ketat. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Jabodebek, dengan latar belakang keilmuan, pendidikan, profesi, dan aktivitas yang berbeda-beda.
Pada tahun ini, SPI kembali dibuka secara luring setelah 2 tahun masa pandemi. Kelas intensif sebanyak 2 semester ini menawarkan program pendidikan non-formal yang mengkompilasi kajian tematik keislaman guna meningkatkan taraf berfikir intelektual yang berlandaskan keilmuan Islam.
Kelas perdana SPI terselenggara pada hari Rabu malam, 21 September 2022 dan bertempat di Aula utama Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Kalibata, Jakarta Selatan. Materi pendahuluan disampaikan oleh Akmal Sjafril, selaku kepala SPI Pusat.
Penulis buku Islam Liberal 101 ini mengungkapkan, kelas SPI merupakan respon intelektual untuk menghadapi tantangan pemikiran umat muslim saat ini. Kelas ini didesain secara terstruktur dalam 20 kali pertemuan dengan harapan dapat mencetak aktivis-aktivis intelektual muslim yang siap berkiprah dalam membangkitkan tradisi keilmuan Islam.
Sebab, belakangan ini tradisi keilmuan Islam sudah mulai surut dan ditinggalkan banyak kaum muslimin. Padahal, melalui tradisi keilmuan Islam diharapkan dapat menjadi jalan kontribusi bagi kebangkitan peradaban Islam di masa depan.
Lebih lanjut, Akmal juga menerangkan gambaran besar tema yang akan dipelajari para peserta SPI angkatan 12 yang akan berlangsung selama kurang lebih 3 bulan, yang sebagian besar berfokus pada pentingnya adab, dinamika perang pemikiran dan cara meresponnya, pembekalan literasi, serta jurnalistik dasar. Terdapat tugas reportase dan karya tulis yang perlu dikerjakan peserta pada tiap pertemuan.
Hal ini bertujuan untuk mengasah keterampilan menulis dan literasi peserta dalam mengemas informasi dan ide-ide keislaman dalam bentuk ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan. Bapak 2 anak itu percaya, musim semi peradaban Islam merupakan suatu keniscayaan.
“Peradaban Islam tidak akan berhenti sebagai catatan sejarah masa lalu, namun akan terulang pada masanya. Sebagaimana bunga yang akan tumbuh bermekaran di musim semi ketika waktunya telah tiba. Untuk itu perlu kontribusi kita di dalamnya, salah satunya melalui kebangkitan tradisi keilmuan,” ungkap Akmal.
Para peserta tampak begitu antusias mengikuti jalannya pertemuan perdana. Salah satu peserta asal Bogor menyatakan, “Program SPI ini merupakan program yang ditunggu-tunggu sejak lama. Penyelenggaraan kelas yang offline membuat kelas ini semakin menarik dan akan membawa suasana berbeda. Pertemuan pertama ini berhasil membuat saya semakin terpacu untuk mau menulis lagi,” ujar Mayang.
Alumnus program studi bimbingan konseling ini menyatakan dirinya merasa senang dapat dipertemukan dengan 55 calon intelektual muslim lainnya yang merupakan saudara sevisi yang sadar akan isu keislaman. Meskipun di awal sempat ragu karena harus menempuh perjalanan yang cukup jauh antara Bogor-Jakarta, namun dirinya sadar bahwa dalam menuntut ilmu memang membutuhkan perjuangan. “Tidak ada hasil memuaskan yang didapat tanpa perjuangan. Harus ada sesuatu yang dikorbankan baik itu tenaga, pikiran, dan usaha”, ujar dara berusia 23 tahun ini.*/kiriman Amrina Husna & Anila Gusfani