Hidayatullah.com—Dalam logika politik, seharusnya peluang memenangkan Pemilihan Presiden AS pada tahun 2000 adalah Al Gore dari Partai Demokrat. Pada waktu itu Gore Wakil Presiden incumbent. Sampai akhir pemerintahan Presiden Bill Clinton bersama Wakil Presiden Gore, ekonomi AS dalam kondisi baik. Sepanjang delapan tahun pemerintahan Clinton, berhasil menciptakan lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi konsisten, tingkat inflasi rendah, dan mampu menciptakan kemakmuran bagi rakyat AS. Nyatanya kursi Kepresiden AS justru diraih George Walker Bush dari Partai Republik –yang di akhir jabatannya telah membuat ekonomi AS bangkrut, dan ekonomi dunia goyang. Apa sebabnya? Dalam Pilpres itu Gore memperoleh 48,38 persen suara pemilih dan 266 suara elektoral. Jika dibandingkan dengan Pilpres tahun 1992, Clinton hanya memperoleh 43,01 suara pemilih, tetapi memperoleh 370 suara elektoral. Ia pun berhasil terpilih menjadi Presiden AS, berdampingan dengan Al Gore sebagai Wakil Presiden. Tahun 1996, suara pemilih untuk Clinton meningkat, 49,24 persen. Suara elektoralnya pun naik, 379. Memang Bush hanya menang tipis atas Gore pada perolehan suara elektoral (kemenangan Pilpres di AS ditentukan oleh suara elektoral, Red). Itu pun kemenangannya harus diputuskan oleh Mahkamah Agung AS akibat berbagai persoalan di dalam penghitungan suara, di antaranya gangguan pada mesin penghitung suara. Untuk perolehan suara pemilih, Gore justru memperoleh 50,1 juta suara rakyat dibanding Bush yang memperoleh 49,8 juta suara. Ternyata kekalahan Gore ini, sebagaimana tercantum pada buku The Cross and the Crescent karya Muhammad Arif Zakaullah (edisi Indonesia berjudul Salib dan Bulan Sabit oleh penerbit Papyrus), berakar dari perubahan suasana hati (mood) masyarakat AS setelah Pilpres tahun 1996. Pada masa pemerintahan kedua Clinton, terjadi sejumlah skandal, di antara kasus perselingkuhan dengan Monica Lewinsky. Dalam menghadapi persoalan ini Gore memang menjaga jarak dengan Clinton. Namun sikap diam Gore atas skandal itu menjadi catatan bagi wilayah-wilayah dengan penduduk yang lebih religius. Kenyataan dalam Pilpres perolehan suara elektoral Gore hanya berasal dari 20 negara bagian, ditambah Washington DC. Ada 11 negara bagian lain yang pada tahun 1996 menyerahkan suara elektoralnya pada Clinton, tetapi kali ini direbut oleh Bush. Kesebelas negara bagian itu adalah Arizona, Arkansas, Florida, Kentucky, Louisiana, Missouri, Nevada, New Hampshire, Ohio, West Virginia, dan Tennessee. Kesebelas negara bagian ini berada di wilayah selatan Amerika Serikat, dan dikenal sebagai wilayah Bible Belt (Sabuk Injil) dan wilayah Sun Belt (Sabuk Matahari). Kedua wilayah itu secara tradisional pendukung kelompok konservatif, dan Bible Belt merupakan pusat kaum fundamentalis dan penginjilan ajaran Protestan. Masyarakat di dua wilayah ini berorientasi pada keluarga dan sangat mempercayai nilai-nilai tradisional dan karakter moral yang baik. Secara emosional, ke-11 negara bagian itu masih memiliki ikatan kuat berdasarkan kondisi geografis dan demografis. Umumnya penduduk wilayah kesejahteraan ekonominya lebih rendah dibanding penduduk wilayah utara. Sebelas negara bagian itu juga merupakan negara-negara bagian yang pernah berniat memisahkan diri dari Amerika Serikat di tahun 1860-an, sehingga menimbulkan perang sipil. Mereka ingin membentuk Negara Konfederasi Amerika. Sampai sekarang, masyarakat di wilayah selatan itu masih mengagumi tokoh-tokoh pencetus Negara Konfederasi Amerika. Dalam Pilpres 2000, 56% kaum Protestan memberikan suaranya pada Bush, dan untuk Gore 42%. Berdasarkan karakter-karakter tertentu pada sejumlah negara bagian di AS, membuat wilayah-wilayah itu harus didekati dengan idiom-idiom dan penunjukan perilaku tertentu oleh para politikus. Wilayah-wilayah tersebut, sebagaimana wilayah Bible Belt dan Sun Belt, pada waktu-waktu tertentu dapat menjadi tambang suara bagi para politikus. Untuk meraih simpati di wilayah itu, kadang para politikus menciptakan Bible idiom. Ketika kemenangan atas wilayah-wilayah itu tercapai, kebutuhan-kebutuhan berdasarkan harapan wilayah tersebut harus dapat dirumuskan. Dengan cepat setelah dua minggu pertama masa Kepresidenan Bush, ia membentuk kantor khusus di Gedung Putih untuk mendorong organisasi berbasis keagamaan memainkan peranan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat, sekaligus memberi kesempatan memperoleh dana Federal demi tujuan tersebut. Rumusan kebutuhan berdasarkan harapan wilayah tersebut tentunya semakin menguat ketika peristiwa 11 September 2001 terjadi, yang tindakan lanjutannya masih tampak saat ini di Iraq dan Afganistan. Dilahirkan Kembali Pada umumnya karena berdasarkan persamaan ideologi, kaum fundamentalis lebih mendukung Partai Republik. Ini sekaligus sebagai strategi lain –di samping menguasai media massa dan lembaga-lembaga pendidikan—agar agenda keagamaan mereka dapat dilaksanakan oleh pemerintah. Tercatat pada paruh kedua tahun 1970-an, sejumlah besar penginjil bergabung dengan Partai Republik. Namun dukungan terhadap para politikus bisa diberikan kepada saja berdasarkan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Ketika masih menguat dalam benak masyarakat Amerika skandal Watergate yang dilakukan Presiden Richard Nixon (dari Partai Republik) –yang kemudian mengundurkan diri di masa jabatannya, digantikan wakilnya Gerald Ford sebagai Presiden (sebelumnya Gerald Ford juga pengganti Wakil Presiden Spiro Agnew pada pemerintahan Nixon akibat tersangkut skandal keuangan), isu-isu moral dan idiom dari Bible digunakan oleh Jimmy Carter dari Partai Demokrat pada Pemilihan Presiden tahun 1976. Tema dasar kampanye Carter adalah anti-Washington. Slogannya: Carter orang luar dan akan membersihkan sampah di Washington. Carter pun menyatakan sebagai orang Kristen yang “dilahirkan kembali.” Bagi para penginjil, idiom “dilahirkan kembali” merupakan prasyarat bagi seseorang menuju spritualitas. Billy Graham lantas menguraikan idiom yang disampaikan Carter kepada pemirsa televisinya, “… kerinduan nasional yang sangat besar, kembali menuju spiritualitas, kerinduan kepada moralitas. Orang Amerika menginginkan lebih dari segalanya pada diri presiden mereka tahun ini, yaitu kualitas spiritual.” Carter memang akhirnya mendapat dukungan besar dari para penginjil. Bailey Smith di hadapan 15 ribu pastor yang hadir pada “Southern Baptist Convention” menyatakan, “negara ini memerlukan manusia yang ‘dilahirkan kembali’ untuk Gedung Putih. Inisial namanya sama seperti Tuhan kita.” Carter juga menerima dukungan dari Pat Robertson, seorang pengkhotbah TV paling populer. Pada Pilpres itu Jimmy Carter berhasil masuk Gedung Putih mengalahkan Gerald Ford. Pada saat masih muda George Walker Bush adalah anggota dari Community Bible Study (Komunitas Pengkaji Injil). Komunitas ini didirikan oleh Francis Schaeffer, dibentuk di seluruh Amerika. Billy Graham berperan penting merekrut Bush muda. Setelah itu, sebagai politikus pun Bush pandai menggunakan idiom-idiom dari Bible. Setahun sebelum pencalonannya sebagai Gubernur Texas, dalam suatu wawancara dengan seorang wartawan (yang kebetulan seorang Yahudi), mengatakan, “Hanya para pengikut Yesus saja yang masuk surga.” Komentar Bush ini menimbulkan kemarahan di surat kabar, tetapi Karl Rove (penasehat politik Bush) justru menyatakan kepuasannya atas komentar Bush itu. Hal ini untuk membangun citra Bush di desa-desa wilayah Bible Belt. Bush pun meraih jabatan Gubernur Texas. Ketika Bush berkampanye untuk Presiden AS di tahun 2000 ia diuntungkan oleh berbagai skandal yang dialami Clinton, utamanya skandal perselingkungan dengan Monica Lewinsky. Lebih dari itu Bush sendiri bagian dari kaum fundamentalis. Ketika ia bersiap-siap bersaing menuju Gedung Putih di tahun 1999, ia mengumpulkan sejumlah pastor di Gedung Gubernuran, kemudian saling “mentautkan tangan.” Ia menyatakan, dirinya telah “terpanggil” untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Dengan demikian dalam perjalanannya sejak dekade pertama abad XX sampai sekarang ini, kaum Protestan konservatif telah berhasil melakukan konsolidasi membangun kepercayaan dan minat masyarakat AS, untuk mengatasi gerakan Social Gospel dan Cooperative Christianity. Secara berharap mereka membangun strategi, sampai akhirnya pengaruhnya menyentuh pusat-pusat kekuasaan. Saat ini penduduk muslim AS berusaha membangun jati dirinya, setelah pada 25 September 2009 melaksanakan shalat Jumat di gedung Capitol Hill, sebuah gedung yang digambarkan sebagai salah satu pusat kekuasaan AS. Barangkali dengan populasi sekitar 7 juta (penduduk AS 307 juta), penduduk muslim AS masih jauh untuk dapat mempengaruhi keputusan-keputusan politik. Tetapi ketika terpanggil untuk memilih berdasarkan moralitas, sudah merupakan salah satu jalan untuk mengambil keputusan terbaik, walaupun sempat tergencet juga –pada tahun 2000 penduduk muslim banyak yang memilih Bush, tetapi posisinya tersudutkan setelah peristiwa 11 September 2001. Paling tidak menunjukkan wajah Rahmatan lil alamin, merupakan cara terdekat bagi penduduk muslim AS dalam memperlihatkan kehadirannya sebagai bagian dari Amerika Serikat. Penduduk muslim yang mencintai perdamaian, persaudaraan, saling kerja sama, dan menjunjung moralitas tinggi. [syaiful irwan/hidayatullah.com]