Hidayatullah.com–Apa yang dilakukan kaum muslim AS melaksanakan shalat Jumat di gedung Capitol Hill memberikan fenomena politik berbeda dari anggapan yang ada selama ini. Selama ini terdapat asumsi, di Amerika melaksanakan pemisahan antara agama (atau gereja –berkaitan mayoritas Protestan di AS) dan negara dalam praktik kenegaraan, sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi AS. Tetapi dengan hadirnya kaum muslim melaksanakan shalat Jumat di Capitol Hill –gedung DPR AS, yang mewakili sebagai gedung pemerintah—asumsi pemisahan agama dan negara dalam praktik kenegaraan di AS tidak sepenuhnya benar. Kenyataan di gedung pemerintah bisa dilaksanakan kegiatan keagamaan.Dengan kegiatan kaum muslim di tempat pemerintahan tersebut, akan memberi aksentuasi bagi kehadiran kaum muslim di AS. Aksentuasi bisa berupa upaya menciptakan suasana sebagai “warga AS” bagi kaum muslim AS, yang seringkali dianggap sebagai pihak luar. Aksentuasi ini sekaligus untuk mewujudkan ungkapan Presiden AS Obama bahwa Islam merupakan bagian dari Amerika. Bisa pula aksentuasi itu untuk menunjukkan wajah riil agama Islam pada warga AS sebagai rahmatan lil alamin. Meluruhkan kesan pada sebagian warga AS bahwa Islam mengembangkan ketidaktoleran, penindasan, dan kekerasan.Namun apakah hanya semacam itu saja kaum muslim AS membangun aksentuasi dengan kehadirannya di Capitol Hill? Tidakkah jumlah kaum muslim –yang merupakan bagian dari Amerika—juga merupakan aset untuk perpolitikan di AS, atau juga aset ekonomis yang bisa memberi nilai tawar? Mungkin saja kaum muslim AS sebagai warga pada saatnya nanti kehadirannya memberi pengaruh signifikan bagi peta politik dan ekonomi di AS, bahkan memberi pengaruh pada proses pengambilan keputusan di pemerintahan.Namun bila hal semacam itu yang akan menjadi tujuan bagi kaum muslim AS, barangkali untuk sementara menunggu momentum itu datang pada waktu dan kondisi yang tepat. Untuk sementara kaum muslim bersabar, sekaligus memahami dari strategi yang jauh lebih awal dijalankan kaum Protestan konservatif dalam upayanya membangun pengaruh pada praktik perpolitikan dan kenegaraan di AS.Tercatat pada tahun 1952 kaum Protestan konservatif telah sukses melaksanakan ambisinya masuk ke Capitol Hill. Tokoh di balik kesuksesan itu adalah Billy Graham yang pada tahun itu memiliki program lima minggu berupa pelayanan doa dan pengajaran di Washington DC. Program itu disebut dengan “Washington Crusade”. Dalam program ini, Graham memberikan khotbah dalam setiap pelayanannya. Puncaknya ia memberi layanan doa di anak tangga Capitol Hill, dengan dihadiri empat puluh ribu jemaat.Ketika menyatakan keinginannya masuk Capitol Hill, Graham sempat diberitahu bahwa hal itu tidak mungkin bisa terjadi. Hal ini disebabkan pada Konstitusi AS terdapat pemisahan antara gereja dan negara. Namun Graham terus berusaha mengatasi halangan tersebut selangkah demi selangkah.Sebagai langkah pertama, ia berhasil membujuk Kongres menyetujui Undang-Undang yang memungkinkan ia mendapatkan izin menyelenggarakan “layanan agama resmi” kali pertama kali di anak tangga gedung Capitol. Dengan diperolehnya persetujuan tersebut, Protestan konservatif (juga digambarkan sebagai kelompok fundamentalis) telah berhasil menunjukkan prestise dan kekuatan untuk mempersempit pemisahan gereja dan negara.Fenomena yang muncul kemudian adalah, hampir dari sepertiga senator dan seperempat dari anggota Dewan meminta tempat duduk khusus selama pelayanan keagamaan di gedung Capitol. Ia pun kemudian bisa mengembangkan persahabatan dengan Lyndon Johnson dan Richard Nixon, yang kemudian menjadi Presiden.Dengan dimilikinya orang-orang kuat di belakangnya, ia pun dengan mudah memperoleh izin berikutnya menyelenggarakan doa di gedung Departemen Pertahanan AS-Pentagon. Meningkatnya dukungan dari para politisi kepada pelayanan yang diberikan Billy Graham, bisa disebabkan dua hal. Pertama, sebagai apresiasi atas pengabdian Graham. Kedua, para politisi memandang Graham dapat menjadi faktor penentu bagi perjalanan karier mereka.Ambil contoh pada saat menghadapi Pemilihan Presiden pada tahun 1952, pada tahun 1951 Graham bersuara mewakili kelompok fundamentalis, “Orang-orang Kristen Amerika tidak akan duduk berpangku tangan selama kampanye presiden. Mereka akan memilih calon yang memiliki kerangka kerja moral dan spiritual paling kuat, apapun pandangannya atas persoalan-persoalan lainnya. Saya percaya kita dapat mempertahankan keseimbangan kekuasaan.”Dalam Pemilihan Presiden tahun 1952 itu, Partai Republik telah menawarkan tiketnya pada Dwight Eisenhower, tetapi ia segan menerimanya. Melalui korespondensi dan beberapa pertemuan, Graham merayu Eisenhower menerima tawaran pencalonan itu. Graham akhirnya berhasil mendorong Eisenhower menerima pencalonan itu. Sejarah kemudian mencatat, terdapat perubahan pada sistem kenegaraan AS. Dalam pemerintahan Eisenhower, pada tahun 1954 kata “Under God” ditambahkan ditambahkan pada janji kesetiaan (pledge of allegiance) kepada bendera AS.“Pemerintah kita tidak akan ada artinya, kecuali didirikan dengan keimanan agama yang mendalam –dan saya tidak perduli (agama) apakah itu,” kata Eisenhower.Lahirnya FundamentalisKaum Protestan adalah pioner dari gelombang imigrasi awal ke tanah Amerika. Mereka itu menganut paham Protestantisme konservatif dan memiliki etos disiplin diri dan kerja keras. Kedua hal tersebut dianggap sebagai kebajikan.Setelah terjadi pertumbuhan industri dan kesejahteraan ekonomi yang cepat, menarik perhatian imigran non-Protestan, seperti penganut Katolik dan Yahudi. Kedatangan mereka ke Amerika umumnya semata-mata dengan motif ekonomi. Ingin mencari peluang ekonomi dan kehidupan lebih baik.Namun demikian sejalan dengan pertumbuhan industrialisasi, dibarengi dengan penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi, menimbulkan tantangan serius bagi Protestantisme konservatif. Pada saat itu lahirnya ide-ide baru dan perubahan sosial, telah menggoyahkan nilai-nilai keagamaan yang mapan. Bahkan paham Darwinisme –yang ditentang kaum Protetantisme konservatif– pun tidak saja diterima secara pemikiran ilmiah, tetapi telah masuk ke dalam kurikulum pendidikan pada berbagai tingkatan.Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan ilmiah, dan teknologi, lahir ajaran dan gerakan baru semacam Social Gospel dan Cooperative Christianity. Social Gospel melakukan reformasi dan perubahan-perubahan sosial berdasarkan rasionalitas. Sebaliknya Cooperative Christianity sebagai bentuk konsolidasi geraja-gereja Protestan atas pertumbuhan imigran non-Protestan. Cooperative Christianity juga melakukan akomodasi terhadap ajaran agama dan ilmu pengetahuan. Kedua gerakan ini disebut dengan Kristianitas Baru atau Teologi Baru.Kaum Protestan konservatif memandang Kristianitas Baru sebagai sebuah ancaman karena telah berhasil mengembangkan pandangan dan daya tarik dalam bentuk doktrin alternatif dalam kerangka kerja Injili (Biblikal) yang berlandaskan pada akal, serta melakukan reformasi sosial berdasarkan rasionalitas.Dalam dekade pertama abad XX keanggotaan gereja-gereja Protestan konservatif berkurang secara serius. Protestantisme Amerika telah terpecah, dan konservatif pun menjadi minoritas. Dalam usaha meraih kembali basisnya yang hilang, kaum konservatif mengumumkan pembelaan ortodoksnya dengan menerbitkan buku The Fundamentals: A Testimony to the Truth pada dekade kedua abad XX.Buku ini terdiri dari 12 volume yang diterbitkan di bawah pengawasan Moody Bible Institute of Chicago dengan dana dari pengusaha minyak California, Lyman dan Milton Stewart. Semua buku itu dikenal sebagai The Fundamentals, berisikan 90 artikel yang memuat dan menjelaskan posisi kaum ortodoks dalam mempertahankan doktrinnya. Istilah fundamental, fundamentalism, fundamentalis yang kita kenal, berasal dari madzhab Fundamentalisme Kristen AS ini. Sebuah filosofi aliran keras dari fundamentalis Kristen Protestan.Dan menyadari gerakan Social Gospel semakin populer, kaum konservatif terus berusaha melawan dan melakukan upaya-upaya politik. Karena tekanan dari kaum konservatif ini, sejumlah negara bagian meloloskan Undang-Undang Anti-Evolusi. UU itu melarang setiap guru sekolah umum mengajarkan “teori yang menolak kisah penciptaan manusia seperti diajarkan dalam Injil”.Selanjutnya dengan memanfaatkan kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan beragama yang dijamin Konstitusi (sekuler) AS, para pemimpin konservatif membangun jaringan radio dan televisi sendiri untuk menyiarkan program-program keagamaan. Jutaan kaum konservatif dan fundamentalis menjadi pendengar dan penonton tetap acara itu, bahkan menjadi penyumbang acara-acara ini. Pengkhotbah terkenal acara ini di antara Jerry Falwell, Billy Graham, Oral Roberts, Pat Robertson, dan Jimmy Swaggart.Sebuah studi yang dilakukan di tahun 1963, 12% kaum Protestan secara teratur mendengarkan siaran agama. Jumlah ini meningkat dua kali lipat pada tahun akhir 1970-an. Untuk media cetaknya, surat kabar Decision milik Billy Graham peredarannya dalam setahun mencapai 24 juta eksemplar.Kepopuleran para pengkhotbah televisi dan besarnya minat pemirsa, membuat Billy Graham untuk pertama kalinya bertemu dengan Presiden AS Truman di tahun 1950. Selanjutnya ia sering diundang ke Gedung Putih oleh Presiden Eisenhower, Johnson, dan Nixon.Kebangkitan kembali kaum fundamentalis pasca-Perang Dunia II ini disebabkan usaha para pemimpin dan pengikutinya yang tertata rapi di sejumlah bidang, seperti tersebarnya pendidikan, penguatan intelektual masyarakat secara keseluruhan dengan menanamkan budaya membaca secara luas, dan menggunakan metode pupoler untuk menarik pengikut, antara lain menggunaan radio, televisi, dan surat kabar.Menurut sigi Gallup pada tahun 1978-1979, sekitar 40 sampai 50 juta orang Amerika dikelompokkan sebagai penginjil. Dari kalangan mereka ini, para misionaris menyebar ke seluruh dunia. [syaiful irwan/hidayatullah.com]