Hidayatullah.com—Sejak gempa melanda Sumatera Barat (Sumbar), pemerintah mempermudah bantuan asing. Direktur Jenderal Bea Cukai Anwar Suprijadi mempermudah proses izin masuknya bantuan dari luar negeri bagi korban gempa bumi di Sumatera Barat.
“Saya sudah kirim surat edaran agar (prosesnya) tidak rumit-rumit,” katanya, tanggal 2 Oktober 2009 di sebuah media.
Izin mempermudah itu, menurut Suprijadi, sudah diedarkan dan dikirimkan ke sejumlah bandara dan pelabuhan, seperti Kantor Bea dan Cukai Bandara Soekarno–Hatta dan Bandara Halim Perdanakusumah, Bandara Minangkabau, Bandara Polonia Medan, dan Pelabuhan Tanjung Priok.
Menurut Anwar, pemberi bantuan dari negara mana pun cukup mengantongi surat rekomendasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Seiring izin dari pemerintah, secepat kilat lembaga-lembaga internasional menyalurkan bantuan untuk korban bencana di Indonesia. Ada yang langsung, namun ada yang menggunakan rekanan kerja yang ada di Indonesia.
Christian Aid asal Inggris dan Church World Service asal Amerika Serikat, keduanya adalah anggota dari Action by Churches Together International (ACT International). Di Indonesia mereka memiliki rekan yang juga anggota ACT yaitu, Yakkum Emergency Unit dan Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (YTBI).
Pada penanggulangan bencana Padang, YTBI bekerjasama dengan Dewan Gereja Sumatera Barat, Gereja Protestan Sumatera Barat (GPIB), Gereja Kristen Protestan Batak (HKBP), Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM), Gereja Kristen Protestan Nias (BNKP), Gereja Kristen Protestan Batak Karo (BGKP), dan Gereja Methodis.
Caritas Internasionalist yang berpusat di Roma, mendirikan cabangnya di Indonesia pada tahun 2006. Yayasan Karina yang menjalankannya, bekerja sama dengan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Proyek tanggap bencana mereka yang pertama adalah tsunami Aceh.
World Vision sudah pasti sangat mengenal Indonesia, sebab organisasi bantuan Kristen yang beroperasi di 100 negara dunia ini ada di Indonesia sejak tahun 1960. Itu mengapa ketika bencana tsunami terjadi di Aceh, dua hari kemudian mereka sudah bergerak memberikan bantuan. Demikian pula ketika gempa Padang terjadi.
Kampanye dan Misi
Berabad-abad lalu bangsa Eropa rela menyeberangi samudra demi menjajah Indonesia karena tiga alasan; gold, glory dan gospel. Mereka mencari harta, kejayaan, dan menyebarkan agama Kristen.
Kiranya apakah yang dicari oleh badan-badan amal Kristen itu di lokasi-lokasi bencana sekarang ini?
Valerie Tarico menulis di ExChistian (2/10). “Banyak yang tidak tahu bahwa World Vision membawa misi Kristen,” begitu komentarnya, setelah membaca sebuah laporan dari AP mengenai bencana gempa Padang yang memuat nama World Vision dalam daftar teratas lembaga tempat menyalurkan bantuan.
“Apa yang tidak disebutkan (dalam berita) dan banyak tidak disadari pendonor, adalah bahwa World Vision merupakan sebuah organisasi Evangelis Kristen.”
“Sebagai seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi Evangelis, saya mensponsori seorang anak di India. Saya bahkan mendapat surat dan mengirim beberapa surat kepadanya. Dan saya merasa senang, karena saya ia bisa belajar di sekolah Kristen di sana,” tulisnya lebih lanjut.
Philanthropy Today pernah merangkum berita dari The Seattle Times (25/07) mengenai Richard Stearns, pemimpin World Vision. Dikatakan bahwa ia mendorong agar gereja-gereja berperan dalam memerangi kemiskinan. Strearns membuat sebuah program kampanye nasional agar gereja aktif terlibat dalam gerakan melawan kemiskinan dunia.
Stearns mengajak gereja karena dari sanalah ia berhasil melipatgandakan jumlah donatur dan melipattigakan pendapatan World Vision menjadi USD 1,1 milyar tahun lalu.
Namun, V. K. Shashikumar, seorang jurnalis investigatif Tehelka, telah lebih dulu membuka kedok World Vision di India.
Dalam tulisannya yang dimuat di Hindu Voice, bulan Desember 2008, sebagaimana dikutip situs Hamsa, ia mengatakan, “Namun, apa yang tidak disadari oleh pemerintah dan dunia usaha adalah World Vision India membawa misi Evangelis dalam pembangunan. Pemurtadan adalah bagian integral dari pelaksanaan pembangunan di bawah program pembangunan daerah, yang sering mendapat pujian. Meskipun tidak ada bahan tulisan yang diterbitkan World Vision India yang menyebutkan misi Evangelisnya, namun pada publikasi World Vision di luar negeri, lembaga itu membanggakan komponen “spiritualitasnya.”
Shashikumar memberikan contoh, dari sebuah laporan World Vision New Zealand (4/9/02) mengenai pendanaan program pembangunan daerah di Dahod, Gujarat. Di kepala laporannya tertulis, “Menyelenggarakan sekolah Bibel pada waktu liburan untuk 150 anak-anak dari berbagai desa. Anak-anak berpartisipasi dalam permainan, kuis Bibel, drama, dan kegiatan lain. Menyelenggarakan retreat satu hari untuk 40 orang pemuda dan pesta Natal untuk anak-anak. Setiap desa di Dahod—yang berjumlah 45—memilih 5 orang anak miskin untuk diajak ke pesta. Di Dumaria, distrik Banka, sebelah timur Bihar, program pembangunan daerah memberikan pelatihan kepemimpinan bagi para pastur dan pemimpin gereja.”
Dalam tulisan yang sama ditampilkan komentar dari Dr. Hilda Raja, seorang profesor ilmu sosial yang sudah pensiun dari Stella Maris College di Madras. Ia seorang Katolik, dan sangat vokal dalam menentang pemurtadan oleh misonaris Kristen di India.
“Saya tahu World Vision secara pribadi karena banyak mahasiswa saya yang direkrut untuk bekerja di sana. Tapi saat wawancara, pertanyaan yang mereka ajukan selalu tentang ‘Evangelisasi.’ Bahkan seorang teman saya yang melamar sebagai akuntan –yang informasinya didapat dari iklan–, tidak ditanya mengenai profesi dan keterampilan yang dimilikinya. Malah ditanya tentang Evangelisasi. Ia menceritakannya kepada saya dan ingin tahu apakah World Vision murni sebuah organisasi pembangunan atau salah satu dari Evangelis. Kasihan dia, karena tidak tahu bahwa pembangunan yang dilakukan hanyalah sebuah kedok untuk menutupi misi Evangelis.”
“Mereka pernah menawari seorang murid Katolik saya sebuah pekerjaan dan mengharuskannya meninggalkan gereja Katolik dan pindah ke gereja Protestan. Ia akhirnya pindah agama, karena sangat membutuhkan pekerjaan.”
“Dua orang Brahmana pindah memilih gereja Protestan, dan mereka kemudian diberi jabatan tinggi.”
“World Vision memiliki pandangan picik dan rabun atas dunia, di mana agenda utama mereka hanyalah Evangelisasi. Pemerintah India harus diperingatkan. Saya selalu menyarankan agar bantuan-bantuan asing dilarang. China, Prancis, dan banyak negara lainnya tidak akan mentoleransi, India malah mendukungnya. Perang melawan terorisme akan sia-sia, kecuali dana asing untuk ‘pembangunan’ dipantau dan dilarang,” kata Hilda Raja mengomentari program bantuan World Vision di negaranya yang dijadikan kedok kristensasi.
Apa yang terjadi di India sepertinya tidak berbeda dengan di Indonesia. Pekan lalu Polresta Pariaman menyita 24 buah Bibel, selebaran, dan komik anak-anak berjudul “Si Bodoh” dan “Bagaimana Caranya Menjadi Kaya” yang diduga disebarkan ke sekolah-sekolah.
Pelaku pemurtadan datang dengan membawa uang dan membagikannya, masing-masing Rp 10. 000 untuk orang dewasa dan Rp 5.000 untuk anak-anak. Untungnya, aksi ini tercium setelah video berdurasi 48 menit hasil rekaman ponsel ajakan pemurtadan beredar di Kabupaten Padang Pariaman. [dija dari berbagai sumber/hidayatullah.com]“/>