Oleh: Asih Subagyo
Hidayatullah.com | BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), memperkirakan potensi zakat di Tanah Air pada 2021 mencapai Rp327,6 triliun. Namun, sejauh ini realisasinya baru Rp71,4 triliun. Adapun, lebih dari 85 persen dari zakat yang terkumpul dilakukan melalui Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) tidak resmi.
Angka tersebut terdiri dari zakat perusahaan (Rp144,5 triliun), zakat penghasilan dan jasa (Rp139,07 triliun), zakat uang (Rp58,76 triliun), zakat pertanian (Rp19,79 triliun), dan zakat peternakan (Rp9,52 triliun).
Sementara Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) berjumlah 545 lembaga. Merupakan Amil terbanyak dalam sebuah negara di dunia. Tidak ada negara manapun di kolong langit ini yang memiliki OPZ sebanyak Indonesia.
Data tersebut, terdiri dari badan amil zakat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota. Serta lembaga amil zakat (LAZ), baik tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota.
Sementara untuk Ramadhan 2021 tahun ini, BAZNAS dengan seluruh jaringannya menargetkan penerimaan sebesar 6 Trilyun. Sedangkan LAZ memiliki target masing-masing.
Akan tetapi, berdasarkan pengalaman selama ini, maka penerimaan/penghimpunan zakat di bulan Ramadhan, biasanya meningkat hingga minimal 3 (tiga) kali lipat atau lebih dari penerimaan bulan-bulan biasanya.
Karena kesadaran umat untuk berzakat di bulan Ramadhan memang selalu meningkat. Sementara itu, penerimaan tahunan dari LAZ rata-rata naik di kisaran 25-30 % per tahun, termasuk pada tahun 2020 kemarin, saat pandemi sudah mulai.
Berdasarkan laporan tahunan dari Baitul Maal Hidayatullah, salah satu LAZ Nasional rata-rata pertumbuhannya sekitar 30% per tahun. Sementaramenurut data PUSKAS BAZNAS (2020), skor pemahaman dasar zakat maupun skor indeks literasi zakat masih pada tahap moderat, yakni masing-masing 72,21 dan 66,78.
Untuk skor pemahaman lanjutan zakat tercatat rendah, yakni 56,68. Oleh karena itu, dibutuhkan edukasi untuk meningkatkan literasi zakat. Catatan lainnya, tingkat literasi zakat di kalangan anak muda masih terhitung rendah.
Dari survei tersebut ditemukan data bahwa sumber informasi zakat tertinggi berasal dari ceramah ustadz (46%). Selanjutnya, informasi zakat didapat masyarakat dari kantor atau kampus (17%), media sosial (16%), keluarga (13%), media elektronik (5%), dan media cetak (3%).
Fakta lainnya, 60% masyarakat masih menunaikan zakat di luar lembaga zakat resmi, yakni 37% menyalurkan zakatnya langsung ke masjid dan 23% langsung ke muztahik (penerima zakat). Hanya 40% yang menyalurkannya ke lembaga zakat resmi, yakni melalui Baznas (25%) dan Lembaga Amil Zakat (15%).
Jika merujuk kenyataan bahwa dari data demografi kependudukan yang ada saat ini, dan juga dari survei di atas, ternyata tingkat literasi di kalangan anak muda terhitung rendah. Padahal, jumlah generasi milenial dan sesudahnya, berdasarkan sensus penduduk tahun 2020 saat ini lebih dari 65% dari total penduduk Indonesia.
Sesungguhnya market terbesar dari zakat ini adalah generasi milenial, generasi Z dan sesudahnya itu. Sehingga perlu ada usaha serius untuk menggarap mereka.
Dalam berbagai kesempatan, telah disampaikan bahwa, ada beberapa karakteristik dari generasi milenial ini. Yaitu selain suka berbagi, juga digital native.
Suka berbagi ini, bisa kita lihat berbagai portal/apps crowdfunding yang berhasil menghimpun dana receh dari kalangan anak muda ini. Jika selama ini motivasinya adalah lebih banyak terkait dengan kegiatan dan solidaritas sosial, maka melalui edukasi yang memadai, bisa diarahkan untuk lebih bernuansa ibadah (keagamaan).
Misalnya bisa dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, atau wakaf. Sehingga selain faktor dorongan sosial tersebut di atas, juga ada motivasi untuk beribadah.
Tantangan berikutnya adalah, bagaimana menyiapkan portal/apps yang bisa menarik kalangan muda itu untuk menggunakannya. Sebab sebagai digital native, mereka sebenarnya sangat cepat untuk beradaptasi menggunakan perangkat dan aplikasi digital dalam bentuk apapun juga. Asalkan bisa menarik dan mewakili keberadaan, kepentingan dan eksistensi mereka, maka mereka akan dengan sukarela berbondong-bondong untuk menggunakan aplikasi tersebut. Namun sebaliknya, jika tidak menarik bagi mereka, sangat mudah untuk meninggalkannya.
Dengan demikian maka digitalisasi zakat ini menjadi sebuah keniscayaan. Satu sisi untuk mempermudah dalam proses penghimpunan. Disisi lain adalah untuk melayani generasi muda yang memang digital minded.
Hal ini erat kaitannya dengan inklusi keuangan yang saat ini sudah cukup bagus. Bahkan kecenderungan generasi milenial ini adalah membangun cashless society.
Anak muda milenial lebih menyukai transaksi digital dibanding dengan transaksi tunai. Sehingga saat ini, momentumnya sangat tepat, seiring dengan pandemi yang belum surut, maka umat dapat membayar zakat dengan mudah melalui kanal digital sekaligus mengurangi kontak fisik demi menekan risiko penyebaran virus corona.
Oleh karenanya hal ini menjadi tantangan bagi BAZNAS dan LAZ untuk kemudian membuka kanal digital sebanyak-banyaknya. Dengan melakukan kolaborasi berbagai pihak, provider kanal digital ini.
Sehingga generasi milenial akan mendapatkan kemudahan dalam membayar zakat. Selanjutnya hal ini juga akan men-trigger peningkatan literasi zakat dikalangan generasi muda, yang muaranya adalah peningkatan penghimpunan zakat yang lebih transparan dan akuntabel.
Ini diharapkan akan lebih banyak lagi muzakki muda pembayar zakat dan pendistribusian terhadap mustahik yang lebih merata. Wallahu a’lam.*
Dewan Pengawas Baitul Maal Hidayatullah