Potensi wakaf yang dikelola secara tepat dapat menjadi solusi kemandirian ekonomi umat
Oleh: Prof. Dr. Raditya Sukmana, SE, MM
Hidayatullah.com | Potensi wakaf di masa depan akan semakin berkambang. Hal ini seiiring dengan gagasan para ekonom yang menyampaikan bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi akan membawa kesejahteraan bagi semua orang.
Konsep ini disebut trickle-down effect (efek menetes ke bawah). Artinya, jika pertumbuhan ekonomi terjadi, manfaatnya akan dirasakan oleh semua orang, setidaknya tetesannya akan dirasakan oleh masyarakat terbawah.
Kondisi ini dapat terjadi jika lapangan pekerjaan yang tercipta dari pertumbuhan ekonomi melibatkan seluruh masyarakat hingga yang termiskin. Namun, kondisi di lapangan berbeda dengan teori yang dipakai, termasuk di negara-negara Muslim.
Faktanya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang membawa kesejahteraan, namun hanya bagi golongan yang telah sebelumnya memiliki kekayaan selaku pemilik modal. Di saat bersamaan, kemiskinan masih banyak dijumpai.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi di daerah yang mengandalkan sumber daya alam –hasil hutan maupun tambang– menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana alam. Ini memperberat beban masyarakat yang telah dilanda kemiskinan.
Kesejahteraan dan kemandirian ekonomi umat membutuhkan solusi jangka panjang, bukan semata solusi sesaat.
Teladan Utsman
Diriwayatkan bahwa kaum Muslimin yang baru saja menetap di Madinah membutuhkan air bersih karena kemarau panjang. Bagi kaum Muhajirin yang terbiasa dengan air zam-zam yang terus mengalir sepanjang waktu, tentu hal ini adalah masalah serius.
Saat itu, hanya tersisa satu sumber air bersih di Sumur Raumah. Tetapi, sumur tersebut dimiliki oleh seorang Yahudi yang memaksa siapapun yang ingin mengambil air untuk membeli dan mengantri.
Utsman bin Affan RA, dengan dorongan dari Rasulullan ﷺ, tergerak membeli sumur itu. Awalnya, hak kepemilikannya bergantian antara Utsman dan si Yahudi. Hari ini milik Utsman, esoknya sang Yahudi, lusa Utsman, dan seterusnya.
Rupanya Utsman begitu cerdik. Pas hari gilirannya, ia menggratiskan sumur tersebut. Akhirnya, sang Yahudi pun menjual seluruh kepemilikan sumur. Selanjutnya, Utsman mewakafkannya untuk kepentingan umum.
Dari sebuah sumur yang diwakafkan, kemudian menjadi kebun kurma yang subur. Hal ini melewati generasi ke generasi dan terus dijaga meskipun pemerintahan silih berganti.
Saat ini, lahan wakaf tersebut masih beroperasi dan dilindungi pemerintah Arab Saudi. Lahan itu mampu membiayai fakir miskin dan juga menyediakan dana investasi bagi pembangunan hotel bintang lima.
Ada sejumlah pelajaran penting dari peristiwa bersejarah di atas.
Pertama, kemandirian ekonomi umat sangat ditekankan oleh Rasulullah ﷺ.
Dalam kisah di atas, penguasaan air bersih oleh Yahudi menyebabkan sebagian kaum Muslimin harus mengantri dan membeli. Padahal air bersih sangat penting untuk diminum, mandi, dan bersuci yang merupakan kewajiban agama.
Di sisi lain, ada waktu dan harta yang terbuang untuk mengantri dan membeli. Akan lebih baik jika hal itu dimanfaatkan untuk memperdalam ilmu agama maupun melakukan aktivitas yang lebih produktif.
Kedua, kehadiran wakaf yang dikelola secara tepat dapat menjadi solusi kemandirian ekonomi umat.
Wakaf digunakan untuk penyediaan air bersih bagi masyarakat dengan harga terjangkau. Sebagai pemerintah, Rasulullah ﷺ mendorong sektor swasta (Utsman) untuk membantu penyediaan fasilitas publik (air bersih). Alhasil, masyarakat terbebas dari ketergantungan terhadap pihak lain (Yahudi) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Jadi, wakaf memiliki potensi untuk menjadi skema yang mendukung pembangunan nasional. Potensi wakaf ini bias dikelola untuk kemandirian umat.
Contoh Terkini
Ada banyak contoh penerapan wakaf untuk membangun kemandirian umat dewasa ini, di antaranya:
Pertama, wakaf uang yang baru-baru ini dipopulerkan oleh lembaga wakaf pasca terbitnya UU Wakaf No. 41 tahun 2004. Ini dapat menjadi sumber pendanaan bagi Baitul Maal wat-Tamwil (BMT) untuk kemudian disalurkan kepada anggota yang membutuhkan pembiayaan dengan margin lebih rendah.
Hal ini dimungkinkan karena wakaf uang tidak menuntut return (pengembalian) kepada wakif sehingga margin pembiayaan dapat menjadi rendah. Skema ini sangat dibutuhkan bagi UMKM yang sering menghadapi kendala permodalan. Bahkan umumnya pembiayaan mikro justru memiliki margin paling tinggi akibat risiko yang dianggap tinggi.
Di sisi lain, sumber pendanaan dari BMT atau Koperasi Syariah tidak murah karena berasal dari pihak lain seperti perbankan.
Kedua, penggunaan wakaf tanah yang lebih produktif. Bisa dengan mempertahankan lahan dan bangunan wakaf yang sudah ada atau melakukan istibdal (tukar guling) sehingga didapatkan lahan yang lebih strategis. Hal ini dapat dilakukan mulai dari yang sederhana seperti pembuatan toko yang keuntungannya untuk operasional masjid.
Yang paling penting, pengelolaan wakaf secara produktif haruslah mampu menjawab permasalahan masyarakat. Misalkan suatu wilayah memiliki permasalahan sampah plastik dan hendak dilakukan daur ulang namun kekurangan modal.
Wakaf uang dapat digunakan untuk membeli mesin pengolahan sampah plastik untuk kemudian dikelola secara bersama dan pada gilirannya dapat mendapatkan penghidupan dari pengolahan sampah plastik.
Pengelolaan wakaf di masa mendatang juga harus beradaptasi dengan kondisi masyarakat saat ini yang tengah mengalami proses digitalisasi ekonomi. Digitalisasi wakaf perlu dilakukan agar dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan dan transparansi.
Salah satu upaya digitalisasi wakaf ialah melalui platform blockchain. Sistem ini bisa menghubungkan wakif dan nazhir sehingga memungkinkan transaksi donasi wakaf dilakukan secara simultan dan transparan.
Misalnya seorang wakif mendonasikan uang untuk pembelian mesin jahit bagi penjahit yang kekurangan modal. Ia dapat mengecek dananya telah sampai kepada nazhir dan kemudian nazhir akan membeli mesin jahit sesuai arahan sang wakif.
Jadi, fungsi pengawasan nazhir dapat menjadi lebih efisien melalui teknologi dan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat pada nazhir wakaf.
Ada pelajaran penting dari kisah Utsman. Yakni Rasulullah ﷺ selaku kepala negara memotivasi para Sahabat agar dapat menjadi solusi bagi permasalahan umat. Artinya, meskipun wakaf lekat dengan peran sektor swasta, namun jangan sampai pemerintah berlepas tangan.
Perlu ada regulasi yang mendukung, dorongan, sosialisasi, serta perlindungan hukum atas aset wakaf. Hal ini perlu dilakukan pemerintah untuk mendukung perwakafan yang lebih baik.*
Guru Besar Ekonomi Islam Universitas Airlangga, Surabaya
Tanya wakaf: 0813-1415-2019. www.baitulwakaf.id