Oleh: Ismail Rumadan
KONTROVERSI terkait kepastian pengelolaan dana haji untuk infrastruktur bisa atau tidak kini terjawab sudah dengan pelatikan 14 anggota Badan Pengelolaan. Sebab pada awalnya dana ini mau dikelola namun terkendala dengan belum terbentuknya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagaimana amanat undang-undang.
Namun suara-suara protes terkait dengan penggunaan dana haji ini masih tetap bermunculan, bahkan konon kabarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa haram hukumnya untuk penggunaan dana haji bagi pembangunan infrastruktur karna tidak sesuai peruntukannya.
Jika benar bahwa MUI sudah mengeluarkan fatwa, maka hal ini menjadi peringatan keras bagi Presiden Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar hati-hati dalam menggunakan dana umat tsb. Paling tidak Jokowi harus memberikan alasan yang logis dan mendasar secara hukum kepada masyarakat terutama umat Islam terkait kebijakan penggunaan dana haji tersebut.
Sebab dana haji atau dana abadi umat itu jumlahnya terbilang besar.
Baca: MUI: Dana Haji Tak Boleh Digunakan untuk Kepentingan Lain Tanpa Izin Pemiliknya
Kejelasan penggunaan dana haji ini sangat penting untuk dikemukakan terkait beberapa hal;
Pertama, dana ini adalah dana umat Islam dan peruntukannya harus berkaitan degan kepentingan umat Islam; Pertanyaannya infrastruktur yang mau dibangun adalah infrastruk apa? Harus jelas apakah infrastruktur yang dibangun adalah terkait dengan gedung sekolah Islam, masjid atau yang lainnya?
Kedua, terkait status penggunaan dana tersebut apakah sifatnya pinjaman atau yang lain? Jika pinjamanpun harus dikonfers ke dalam APBN atau APBNP, agar jelas, kemudian bagimana model pengembaiannya?
Bahwa, Pasal 46 ayat(3) UU No. 13 Tahan 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. “Dalam melakukan penempatan dan/atau investasi harus sesuai dengan prinsip syariah.”
Baca: Pimpinan DPR: Penggunaan Dana Haji untuk Infrastruktur Lawan Bermasalah
Oleh karena itu, penggunaan dana haji oleh Presiden dituntut untuk mengedepankan “the right to receive” dan tujuan penggunaan dana tersebut. Konsekuensi yuridis dengan adanya kebijakan yang tidak didasarkan pada tujuan, peraturan perundang-undangan yang jelas akan berakibat terjadinya tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang.
Dapat dipahami bahwa dana haji ini adalah dana yang dikategorikan sebagai dana non bageter. UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara secara tegas melarang seluruh pejabat dan aparatur negara mengelola dana yang tidak tercancum dalam dokumen APBN (non-budgeter). Semua anggaran (pendapatan, pengeluaran, penerimaan, dan pembiayaan) haruslah tercatat dalam APBN sehingga bisa dipertanggungjawabkan.
Tindakan sewenang-wenang dapat terjadi apabila pemerintah tidak memiliki cukup rasionalitas sebagai parameter, misalnya: terhadap perlunya penggunaan dana haji tsb. Pada sisi lain, tindakan ini dapat berakibat penyalahgunaan wewenang yang didasarkan pada parameter tujuan pemberian wewenang yang disalahgunakan. Namun, jika alasannya rasional, maka hal ini bisa diperbolehkan.* >> klik.. (Bersambung)